Sukses

Usai Tembak Mati Mahasiswi Keperawatan, Pria di Yordania Bunuh Diri

Pria di Yordania tembak mahasiswi keperawatan di dalam kelas.

Liputan6.com, Amman - Seorang mahasiswi keperawatan di Yordania yang masih berusia 18 tahun tewas ditembak oleh seorang pria. Mahasiswi keperawatan itu ditembak berkali-kali di dalam area kampus Applied Science University di Amman, Kamis (23/6). 

Menurut laporan Arab News, Senin (27/6/2022), polisi Yordania berhasil melacak pelaku pada Minggu kemarin (26/6) waktu setempat. Pelaku bernama Oday Khaled Abdallah Hassan yang berusia pertengahan 30 tahun.

Pelaku ditemukan di kota Balama yang berada di utara Amman. Ketika pelaku dikepung polisi, ia menolak menyerah, dan memakai pistol di tangannya untuk menembak kepalanya sendiri. 

Polisi berupaya meminta agar pelaku tidak bunuh diri, tetapi upaya itu tidak berhasil. Pelaku tewas di rumah sakit. 

Kasus pembunuhan mahasiswi bernama Iman Ersheid itu membuat geger Yordania. Netizen mendukung agar pelaku dihukum mati. 

Iman Ersheid ditembak sekitar pukul 10 pagi usai ia meninggalkan ruang ujian. 

Ayah dari korban berkata terakhir kali mereka berkomunikasi pada pukul 10 pagi juga di hari yang sama, sehingga Ersheid ditembak tak lama setelah komunikasi terakhir dengan sang ayah. 

Dua jam kemudian, ayah dari korban dihubungi pihak RS bahwa anaknya dirawat.

Pelaku diketahui masuk dari pintu depan universitas. Awalnya, pasukan keamanan mengira suara tembakan itu adalah petasan, tapi ternyata seorang mahasiswi tertembak.

Tidak jelas apa motif pelaku penembakan itu. Kepolisian telah meminta masyarakat agar tidak menyebarkan rumor-rumor tak berdasar di media sosial, kecuali yang dirilis resmi. Pasalnya, sudah ada kabar-kabar beredar yang ternyata informasi salah. 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pelaku Sempat Lepaskan Tembakan ke Udara

Seorang saksi mata melihat ketika pelaku masuk lewat gerbang utama kampus sambil membawa senjata. Saksi itu mengaku tidak paham kenapa pelaku bisa masuk ke dalam area kampus.

"Normanya adalah hanya mahasiswa yang dapat masuk dan terkadang diminta menunjukkan ID mahasiswa mereka ke pihak keamanan," kata saksi mata itu.

Ia juga diberitahu bahwa tersangka lari dari kampus sambil menembakan peluru ke udara.

Pihak universitas telah memberikan ucapan dukacita kepada pihak keluarga.

Setelah kejadian, pihak kampus menyerahkan kamera-kamera pengawas yang berada di kampus kepada polisi. Ada 800 kamera pengawas di kampus tersebut.

Dekan urusan mahasiswa, Zakaria Mubasher, juga mengkonfirmasi bahwa pelaku menembak ke arah udara, sehingga petugas keamanan kesulitan untuk menangkap pelaku.

Sosiolog Kamal Mirza berkata kasus penembakan yang terjadi tidaklah menunjukkan bahwa fenomena penembakan di kampus telah memburuk di Yordania.

"Mungkin psikologi bisa diterapkan untuk menganalisis kejahatan ini. Mungkin bahwa pembunuhnya mengidap gangguan perilaku," jelasnya.

3 dari 4 halaman

Joe Biden Teken RUU Anti-Kekerasan Senjata Dipicu Rentetan Kasus Penembakan di AS

Beralih ke Amerika Serikat yang kerap menghadapi masalah penembakan massal, Presiden Joe Biden pada Sabtu menandatangani RUU kekerasan senjata paling luas dalam beberapa dekade, sebuah kompromi bipartisan yang tampaknya tak terbayangkan sampai serangkaian penembakan massal baru-baru ini, termasuk pembantaian 19 siswa dan dua guru di sebuah sekolah dasar Texas, Amerika Serikat.

"Nyawa akan diselamatkan," katanya di Gedung Putih. sebagaimana dikutip dari MSN News, Minggu (26/6). 

Mengutip keluarga korban penembakan, presiden mengatakan, "Pesan mereka kepada kami adalah melakukan sesuatu. Nah hari ini, kami melakukannya."

DPR memberikan persetujuan akhir pada hari Jumat, setelah pengesahan Senat pada hari Kamis, dan Biden bertindak tepat sebelum meninggalkan Washington untuk dua KTT di Eropa.

Undang-undang tersebut akan memperketat pemeriksaan latar belakang bagi pembeli senjata termuda, menjaga senjata api dari lebih banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan membantu negara-negara bagian menerapkan undang-undang bendera merah yang memudahkan pihak berwenang untuk mengambil senjata dari orang-orang yang dinilai berbahaya.

Sebagian besar biaya $ 13 miliar akan membantu meningkatkan program kesehatan mental dan sekolah bantuan, yang telah ditargetkan di Newtown, Connecticut, dan Parkland, Florida, dan di tempat lain dalam penembakan massal.

Biden mengatakan kompromi yang dipalu oleh sekelompok senator bipartisan "tidak melakukan semua yang saya inginkan" tetapi "itu termasuk tindakan yang telah lama saya serukan yang akan menyelamatkan nyawa."

"Saya tahu ada lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dan saya tidak akan pernah menyerah, tetapi ini adalah hari yang monumental," kata presiden, yang bergabung dengan istrinya, Jill, seorang guru, untuk penandatanganan tersebut.

Dia mengatakan mereka akan menjadi tuan rumah acara pada 11 Juli untuk anggota parlemen dan keluarga yang terkena dampak kekerasan senjata.

4 dari 4 halaman

Aturan Baru, Remaja AS Akan Makin Sulit Beli Senjata Api

Senat Amerika Serikat (AS) meloloskan RUU baru terkait senjata api yang bisa mempersulit pembeli usia 21 tahun ke bawah. RUU ini lolos setelah penembakan massal di sebuah SD di Texas. Akibat tragedi itu ada 19 anak-anak yang kehilangan nyawa. 

Senator Chris Murphy dari Partai Demokrat berkata RUU ini merupakan kompromi dengan Partai Republik yang terus-terusan memperjuangkan hak memiliki senjata api. Pendukung senjata api menilai jaminan memegang senjata adalah bagian Amandemen Kedua (Second Amandement) di konstitusi AS, meski sudah banyak kasus penembakan sekolah.  

"(RUU) ini tidak melakukan semua yang saya inginkan. Tetapi apa yang kita lakukan akan menyelamatkan ribuan nyawa tanpa melanggar hak Amandemen Kedua siapapun," ujar Senator Murphy, dikutip NPR, Jumat (24/6/2022). 

RUU ini bisa memperluas background check bagi remaja usia 18-21 tahun yang ingin membeli senjata api, dan memberikan insentif bagi hukum "red flag". 

Hukum "red flag" itu adalah bagian dari intervensi yang dapat mengizinkan pihak berwenang menyita senjata api dari orang-orang yang dianggap mengancam orang lain.

Time menyebut hukum itu sudah ada di 19 negara bagian, termasuk Washington DC.

"Di bawah RUU ini, setiap negara bagian akan bisa menggunakan jumlah baru dolar yang signifikan dalam memperluas program-program mereka untuk menyetop orang-orang berbahaya, orang-orang yang ingin melakukan pembunuhan massal atau bunuh diri, sehingga tak bisa mendapat akses senjata yang membuat mereka melakukan kejahatan itu," ujar Murphy.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.