Sukses

Wacana Vaksin COVID-19 Dosis Keempat, Perlukah?

Kenaikan kasus COVID-19 membuka wacana vaksin booster COVID-19 dosis keempat.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 sedang menunjukkan peningkatan lagi, meski tidak separah 2020 dan 2021. Namun, muncul wacana apakah perlu booster vaksin dosis keempat, sebab kemanjuran vaksin maupun antibodi alami bisa menurun seiring berjalannya waktu. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Minggu (19/6/2022), angka kenaikan kasus perlahan mulai merangkak naik akibat dari subvarian omicron BA.4 dan BA.5 yang pertama kali terdeteksi di Indonesia pada 6 Juni.

Dengan berbagai kemunculan varian atau subvarian dari COVID-19 tersebut sejumlah pihak menyarankan agar masyarakat segera diberikankan vaksinasi dosis keempat. Namun, apakah pemberian booster kedua ini sangat mendesak?

Ketua Kelompok Penasihat Teknis Indonesia Tentang Imunisasi/ Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Sri Rezeki Hadinegoro mengungkapkan Indonesia saat ini masih fokus untuk mengejar capaian vaksinasi dosis ketiga atau booster hingga 70 persen.

Menurutnya, ini strategi yang cukup baik agar cakupan vaksinasi COVID-19 dapat merata di seluruh kalangan masyarakat, terutama masyarakat rentan yakni lansia, dan yang mempunyai penyakit bawaan atau komorbid.

“Jadi kita sekarang masih konsetrasi pada meningkatkan yang vaksinasi ketiga. Kalau dosis keempat di luar negeri itu diberikan karena sudah mencakup 70 persen untuk yang ketiga, makanya mereka lanjut ke yang empat," katanya kepada VOA.

Jika pemerintah memaksa untuk melakukan vaksinasi dosis keempat, padahal ada pihak yang belum mendapatkan vaksin COVID-19 sama sekali, menurut Sri Rezeki, malah bisa membahayakan.

Lebih jauh Sri menjelaskan, apabila cakupan vaksinasi dosis ketiga sudah mencapai 70 persen dari target populasi, maka akan diteliti lebih lanjut apakah memang pemberian dosis keempat tersebut diperlukan atau tidak. Masing-masing negara, ujarnya, udah pasti memiliki keadaan epidemiologi yang berbeda-beda. Maka dari itu, kebijakan dan penanganannya pun dipastikan akan berbeda satu sama lain.

“Kita memberikan strategi imunisasi tergantung dari keadaan epidemiologi, tergantung keadaan penyakit itu di suatu negara. Negara kita katakanlah dibandingkan dengan Singapura saja sudah beda, jadi tiap negara tentu mempunyai strategi tersendiri, kita tidak bisa mengikuti orang lain, tetapi panduan umum oleh WHO, itu yang kita pakai” jelasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Puncak Kasus Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan kasus COVID-19 di Tanah Air dipastikan akan naik akibat perebakan BA.4 dan BA.5 ini, di mana angkanya saat ini sudah mencapai sekitar 1.000 kasus per hari. Ia pun memprediksi puncak kasus di Indonesia akan berada pada kisaran 20 ribu kasus per harinya nanti yang akan terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3 pada Juli.

“Kita amati di Afrika Selatan sebagai negara pertama yang muncul BA.4 dan BA.5 masuk puncaknya itu 1/3 dari puncaknya omicron atau delta sebelumnya. Jadi kalau kita delta dan omicron puncak kasusnya di 60 ribu kasus per hari, kira-kira nanti estimasi berdasarkan data di Afrika Selatan mungkin puncaknya kita di 20 ribu kasus per hari, karena kita penah sampai di 60 ribu kasus per hari paling tinggi,” ungkap Budi. 

Meski begitu, berdasarkan data di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kematian yang diakibatkan oleh kedua subvarian siluman omicron tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan varian delta dan omicron sebelumnya, yakni kira-kira 1/12 atau 1/10 dari delta dan omicron. Meski begitu, masyarakat tetap diimbau untuk menerapkan protokol kesehatan terutama pemakaian masker dan segera mendapatkan vaksinasi hingga dosis ketiga atau booster bagi yang belum mendapatkannya.

“Level satu transmisi WHO itu 20 kasus per 100 ribu penduduk per hari, atau kalau di translate untuk penduduk Indonesia sekitar 7.700 per hari, yang itu adalah level threshold petama di mana level transmisi berdasarkan WHO Indonesia akan naik ke level dua. Sekarang kita masih 1.000, jadi kita monitor ketat,” pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Digitalisasi jadi Kunci Pemulihan Ekonomi RI Pasca Pandemi Covid-19

beralih ke dampak ekonomi, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menekankan digitalisasi sebagai salah satu kunci masa depan ekonomi Indonesia pascapandemi COVID-19.

“Kami ingin membawa digitalisasi Indonesia ke ASEAN, lalu ke ranah global, pada G20 di Indonesia,” kata Perry dikutip dari Antara, Minggu (19/6).

Perry menyebut digitalisasi berkembang amat cepat di Indonesia dan pemanfaatan digitalisasi penting untuk pengembangan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan di masa depan.

Digitalisasi, utamanya digitalisasi pembayaran adalah salah satu dari enam agenda prioritas jalur keuangan pada Presidensi Indonesia di G20 2022 pada Juli mendatang.

Poin tersebut ditegaskannya saat menghadiri Indonesia-Singapore Business Forum 2022 di Singapura, Selasa (14/6) lalu.

Saat ini, tuturnya, Indonesia dan negara-negara lain di ASEAN di antaranya sedang bersiap mengembangkan inisiatif sistem pembayaran lintas batas negara, termasuk dengan melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). BI mencatat sebanyak 18 juta UMKM di Indonesia telah terdigitalisasi.

“18 juta adalah angka yang besar, tapi sebetulnya kecil, karena kita memiliki 65 juta UMKM yang perlu dihubungkan (secara digital),” ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Tantangan

Perry juga menyampaikan bahwa Indonesia memiliki pasar ritel yang amat besar dan perlu dirangkul untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Dalam kesempatan yang sama CEO dan co-founder Blibli Kusumo Martanto mengatakan para konsumen di Indonesia menggunakan platform e-commerce untuk membeli kebutuhan sehari-hari baik dari UMKM maupun perusahaan-perusahaan besar selama pandemi COVID-19.

“Selama pandemi, bagaimana orang-orang mendapatkan sanitizer, masker, obat-obatan, di situlah kami memainkan peran besar,” ujarnya.

Berdasarkan penelitian pada tahun 2021 yang dilakukan oleh Blibli dengan Boston Consulting Group dan Kompas, UMKM yang beralih ke online bisa memiliki pendapatan 1,1 kali lebih tinggi dari UMKM yang hanya beroperasi offline.

Sementara UMKM yang online juga 2,1 kali lebih mungkin untuk menjual berbagai produk dalam skala nasional dan 4,6 kali lebih mungkin untuk mengekspor produknya ke luar negeri.

Namun berdasarkan studi Sirclo, 74,5 persen konsumen masih berbelanja baik offline dan online selama pandemi. Sehingga Kusomo melihat masa depan ritel di era pasca pandemi sebagai integrasi antara kanal online dan offline, atau omnichannel.

Oleh karenanya, Blibli terus memperkuat ekosistem omnichannel-nya di antaranya melalui Blibli InStore, Click and Collect, dan Blibli Mitra, yang menghubungkan operasi bisnis online dan offline dalam ekosistem yang terintegrasi bagi mitra ritel Blibli.

“Belanja omnichannel telah menjadi norma yang baru. Kita harus bisa siap untuk memberikan layanan omnichannel yang cepat dan tanpa cela,” kata Kusumo.

Sementara itu CEO Tiket.com George Hendrata menyatakan bahwa pelatihan untuk sumber daya manusia masih diperlukan untuk merealisasikan potensi digitalisasi.

Begitu juga dengan kepala Deputi Teknologi dan Konsumen untuk Temasek Fock Wai Hoong yang menyampaikan bahwa talenta sumber daya manusia memang menjadi hambatan besar untuk perkembangan teknologi.

“Ini menjadi tantangan untuk kita semua, bagaimana untuk berfokus untuk reskilling dan upskilling populasi pekerja kita sementara kita bersiap untuk berpartisipasi di internet economy,” ucap dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.