Sukses

Kasus COVID-19 di Korea Selatan Mulai Turun, Omicron Reda?

Kasus COVID-19 di Korea Selatan dilaporkan turun, Omicron mulai berkurang?

Liputan6.com, Seoul - Kasus COVID-19 di Korea Selatan dilaporkan terus menurun. Penyebaran varian Omicron dianggap sudah mulai reda.

Data Kementerian Kesehatan Korea Selatan, Senin (23/5/2022), menunjukkan bahwa kasus harian turun hingga 9.975. Pada Maret 2022, kasus harian sempat tembus 600 ribu. Pekan lalu, kasus harian juga masih di atas 30 ribu.

Menurut Yonhap, kasus harian yang di bawah 10 ribu ini adalah yang terendah selama 17 pekan terakhir. Namun, ada tambahan 22 orang meninggal karena virus corona, sehingga ada 23.987 pasien meninggal karena pandemi ini. 

Kasus terbanyak di Korea Selatan berada di luar area Seoul dan Provinsi Gyeonggi. Total kasus di Seoul adalah 20 persen, sementara Busan menyumbang enam persen.

Di sisi lain Semenanjung Korea, angka suspek COVID-19 justru terus bertambah di Korea Utara. Pada Senin ini, rezim Kim Jong-un mencatat 167 ribu kasus suspek, dan satu pasien meninggal. 

Pada Sabtu lalu (21/5), kasus harian di Korea Utara sempat tembus 200 ribu, tetapi kini kasus harian mulai menurun ke bawah 200 ribu.

Media pemerintah di Korea Utara meminta agar masyarakat dengan ketat mematuhi protokol kesehatan dari pemerintah untuk mencegah penyebaran virus. Kim Jong-un juga telah menetapkan darurat maksimal dan lockdown akibat virus ini. 

Selama dua tahun lebih, Korea Utara mengaku tidak kedapatan virus corona. Kini, negara itu masih belum mengikuti program vaksinasi COVID-19 untuk masyarakat seperti negara-negara lain.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Korea Utara Masih Belum Terima Bantuan

Hingga kini, Korea Utara masih belum responsif dalam hal penerimaan bantuan COVID-19. Korea Selatan sudah menawarkan bantuan. Masalah ini sempat dibahas Presiden Amerika Serikat Joe Biden ketika datang ke Korea Selatan.

Ledakan kasus COVID-19 di Korea Utara juga menjadi perhatian dari kedatangan Presiden Biden ke Korea Selatan. Pihak Amerika Serikat dan Korea Selatan berkata siap bekerja sama dengan komunitas internasional untuk membantu pengiriman bantuan ke Korea Utara untuk melawan COVID-19. 

Kini, Korea Utara bahkan berusaha melawan corona dengan obat tradisional. 

Sebelumnya dilaporkan BBC, media pemerintah Korut telah merekomendasikan berbagai pengobatan tradisional untuk mengatasi gejala Covid-19 seperti demam. Bagi mereka yang tidak sakit parah, surat kabar partai penguasa Rodong Sinmun merekomendasikan pengobatan tradisional seperti teh jahe atau honeysuckle dan minuman daun willow.

Minuman panas dapat meredakan beberapa gejala Covid-19, seperti sakit tenggorokan atau batuk, dan membantu hidrasi saat pasien kehilangan lebih banyak cairan dari biasanya.

Jahe dan daun willow juga dapat meredakan peradangan dan mengurangi rasa sakit. Tapi tentu saja mereka bukan pengobatan untuk virus itu sendiri. Media pemerintah Korut juga merekomendasikan penderita Covid-19 untuk berkumur dengan air garam pagi dan malam. Ribuan ton garam pun telah dikirim ke Pyongyang untuk membuat solusi antiseptik, lapor kantor berita negara.

Beberapa penelitian menunjukkan berkumur dengan air garam memerangi virus yang menyebabkan flu. Tetapi ada sedikit bukti bahwa mereka memperlambat penyebaran Covid-19. Obat kumur bisa membunuh virus di laboratorium, sebuah penelitian menemukan. Tapi itu belum secara meyakinkan terbukti membantu pada manusia.

Covid-19 terutama menginfeksi orang lewat droplet di udara yang masuk melalui hidung dan juga mulut, sehingga berkumur hanya mengatasi satu titik masuknya virus. Dan begitu virus masuk, ia bereplikasi dan menyebar jauh ke dalam organ, di mana tidak ada jumlah kumur yang bisa dijangkau.

3 dari 4 halaman

Antiobiotik

Sementara itu televisi pemerintah telah menyarankan pasien untuk menggunakan obat penghilang rasa sakit seperti ibuprofen serta amoksisilin dan antibiotik lainnya. Ibuprofen (dan parasetamol) dapat menurunkan suhu dan meredakan gejala seperti sakit kepala atau sakit tenggorokan. Tetapi mereka tidak akan membersihkan virus atau mencegahnya berkembang.

Antibiotik, dimaksudkan untuk infeksi bakteri bukan virus, tidak dianjurkan. Dan penggunaan antibiotik yang tidak perlu berisiko mengembangkan serangga yang resisten.

Penelitian laboratorium menunjukkan beberapa dapat memperlambat penyebaran beberapa virus, termasuk Covid-19. Tapi ini belum direplikasi di dunia nyata. Dan sebuah studi tentang antibiotik azitromisin menemukan bahwa itu membuat sedikit atau tidak ada perbedaan pada gejala Covid, kemungkinan masuk rumah sakit atau kematian.

Ada beberapa obat yang disetujui untuk mencegah orang dengan Covid berakhir di rumah sakit antivirus paxlovid, molnupiravir dan remdesivir, terapi antibodi yang meniru sistem kekebalan tubuh tetapi efektivitasnya bervariasi.

4 dari 4 halaman

Risiko Varian Baru

Kasus COVID-19 di Korea Utara tengah melambung dan membawa berbagai kemungkinan yang merugikan.

Salah satu yang mungkin terjadi adalah terlahirnya varian baru dari virus Corona penyebab COVID-19. Seperti disampaikan ahli epidemiologi, Dicky Budiman.

“Kalau bicara potensi adanya atau lahirnya varian baru tentu ya ada karena bagaimanapun ketika virus itu bersirkulasi dengan bebas ya dia mudah untuk menginfeksi dan akhirnya bermutasi. Yang pada gilirannya menghasilkan varian baru,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.

Ia juga membahas alasan mengapa kasus COVID-19 di Korea Utara menjadi sangat buruk. Pertama, pada dasarnya Korea Utara adalah negara yang rawan terhadap ancaman wabah.

“Korea Utara yang saya juga pernah melakukan kunjungan ke sana, adalah negara yang sebetulnya sangat rawan dari sisi ancaman wabah,” ujar Dicky.

“Karena apa? Bicara respons wabah ini bicara transparansi data, bicara transparansi data ini juga bicara bagaimana sistem kesehatan yang ada bisa mendeteksi dan berkolaborasi secara global. Ini salah satu yang lemah pada negara-negara dengan sistem sosial seperti Korea Utara.”

Korea Utara adalah negara dengan sistem sosial dan pemerintahan yang tertutup. Dan ini diperparah dengan adanya keterbatasan atau akses yang sangat minim pada vaksin. Bahkan cakupan vaksinasi mereka saat ini sangat rendah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.