Sukses

World Press Freedom: Kebebasan Pers di Era Digitalisasi, Diuntungkan atau Dirugikan?

Memperingati hari kebebasan pers dunia atau World Press Freedom, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia mengadakan diskusi bertajuk Press Freedom in the Digital Era.

Liputan6.com, Jakarta - Catatan yang dilakukan lembaga pemantau pers dunia menujukkan bahwa peringkat kebebasan pers di Indonesia merosot.

Ada 180 negara yang dipantau. Indonesia mengalami penurunan. Kalau di 2021 di urutan 113, di tahun 2022 anjlok menjadi 117.

Memperingati hari kebebasan pers dunia atau World Press Freedom, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia mengadakan diskusi bertajuk Press Freedom in the Digital Era, Rabu (18/5/2022) secara virtual.

Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim, penurunan yang sangat luar biasa terjadi dalam indeks kebebasan pers.

"Jika dilihat dari indikator, ada politik, ekonomi, hukum, sosial dan terakhir keamanan. Hal paling buruk adalah terkait keamanan," ujar Sasmito Madrim.

"Banyak masalah keamanan yang dialami oleh rekan-rekan jurnalis bahkan 2021. AJI mencatat ada 43 kasus kekerasan yang dialami jurnalis di seluruh Tanah Air dan ada satu kasus saja yang dibawa ke pengadilan dan pelaku divonis bersalah. Pelakunya adalah polisi (ironis) korban jurnalis Tempo."

Sasmito Madrim menyebut, dari sisi politik masih jadi catatan. Di periode Jokowi, Papua sampai hari ini masih belum terbuka untuk jurnalis asing.

"Data dari AJI yang didapat dari Kementerian Luar Negeri itu ada sekitar 69 permohonan yang diajukan jurnalis asing ke wilayah Papua dari tahun 2016 sampai 2022," ujar Sasmito Madrim.

"Ini 14 di antaranya ditolak. 55 yang diperbolehkan. Jika dicheck lebih dalam lagi, 14 permohonan yang ditolak, itu ada 4 di tahun 2016 dan 1 permohonann 2018, 9 permohonan di tahun 2019."

"Artinya kalau kita lihat di tahun 2019 ada demo besar-besaran anti rasisme di seluruh wilayah Papua."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tanpa Alasan Jelas

AJI menyebut telah melakukan konfirmasi ke Kemlu, Polhukam, Kantor Staf Presiden, belum ada alasan yang jelas. Tak hanya itu, tahun 2019 dilihat dari kebijakan politik pemerintah juga memutus akses internet, yang justru menghambat teman-teman jurnalis dan publik mendapatkan informasi.

"Sehingga mereka termakan hoaks. dan mendapat informasi dari mulut ke mulut," kata Sasmito Madrim.

"Sisi hukum, salah satu paling garis bawahi UU ITE. Beberapa waktu terkahir ada 3 jurnalis yang divonis bersalah atas UU ITE."

"Di luar itu, sebeneranya kita mencari data dewan pers dari pengaduan masyarakat ke polisi. Dewan Pers catat 2021, 40 kasus yang dikordinasikan terkait UU ITE."

Sasmito Madrim menyebut, artinya UU ITE jadi musuh bagi teman jurnalis yang dipenjara atas UU ini.

"Di era digital seperti dua mata pisau. Di satu sisi kita harus mengakui dia mempermudah teman-teman jurnalis. Satu sisi jadi ancaman dan perusahan media."

"Serangan-serangan itu jauh lebih mudah di era digital. Di era ini mudah dikriminalisasi dengan menggunakan UU ITE dan serangan ini dampaknya sangat luar biasa bagi jurnalis dan perusahaannya."

 

3 dari 4 halaman

Kebebasan Pers Tak Hanya Milik Jurnalis

Sementara itu, akademisi dan pakar jurnalisme dari Universitas Muhammadiyah Papua, Nahria juga hadir sebagai panelis dan menyebut bahwa kebebasan pers, bukan hak milik bagi jurnalis saja namun juga merupakan hak milik yang harus dimiliki masyarakat.

"Kebebasan pers harus menjamin hak publik menerima informasi," ujar Nahria.

Dalam perjalanannya, mewujudkan kebebasan pers terutama di Papua, tidak berjalan mulus, kata Nahria. Artinya, membutuhkan waktu yang panjang karena ada banyak hambatan.

Nahria menyebut, terutama bagi jurnalis yang ada di wilayah konflik seperti Papua yang dihadapkan pada era digital.

"Jika ada kebebasan pers di Papua terwujud, maka akan memberikan kontribusi indeks kebebasan pers nasional," kata Nahria.

"Tugas jurnalis tidak kecil, mengancam keselamatan jiwa, terutama di Papua. Ternyata kondisi yang saya temukan di 2014 dalam disertasi tidak banyak berubah dengan apa yang terjadi di 2021 lewat penilaian Dewan Pers."

"Kemudian di tahun 2013-2014, saya lakukan penelitian, di Papua belum berjalan baik. Dari faktor internal dan eksternal. Internal, pers belum sehat. Kemudian rendahnya profesionalisme. Eksternal, rendahnya pemahaman masyarakat pada kebebasan pers itu sendiri."

Nahria menyebut kondisi di Papua, belum berjalan baik ditunjukkan dalam data AJI Indonesia. Dari 2017-2021, tindak kekerasan bagi jurnalis Papua masih ada.

Bahkan di tahun 2021-2022, juga masih ada 3 kasus kekerasan. Menunjukkan kebebasan pers di Papua belum berjalan baik.

"Bentuk kekerasan misalnya, kekerasan seksual berbasis gender. Memberikan maki-makian pada jurnalis perempuan yang sedang bekerja. Juga ada ancaman-ancaman dialami oleh beberapa jurnalis di Papua," kata Nahria.

"Tidak kalah menarik perhatian adalah teror dan intimidasi, serangan digital, doxing dan lainnya dialami oleh jurnalis senior Papua yaitu Victor Mambor."

4 dari 4 halaman

Peluang di Era Digitalisasi

Era digital ini tak bisa menutup mata, peluang kebebasan pers bisa diraih terutama Papua. Ternyata, kebebasan pers di era digital ada peluang-peluang yang bisa diperoleh, kata Nahria.

"Yang pertama, jurnalisme data. Salah satu trend era digital dan jadi peluang saat ini, karena makin banyak infomasi semakin sulit menentukan yang penting dan betul-betul berarti."

"Kedua, efisiensi tempat kerja di dunia pers. Ada citizen journalism. Jika dulu membutuhkan jurnalis yang banyak, kini efisiensi di lokasi kerja bisa terjadi."

"Ketiga, ada potensi kebebasan berekspresi. Masyarakat bisa mengeluarkan pendapatnya. Bisa melaporkan hal yang terjadi."

Sementara itu Wakil Atase Pers Kedubes AS di Jakarta, Nicholas Geisinger menyebut bahwa penting bagi masyarakat untuk memahami kebebasan pers.

"Media yang bebas, mendukung prinsip-prinsip demokrasi," kata Nicholas Geisinger.

"Memberi informasi kepada para penduduk, melibatkan secara aktif dan memfasilitasi pertukaran informasi secara terbuka dan juga ide-ide. Dan hal itu penting bagi Amerika dan juga Indonesia."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.