Sukses

Pemerintah Jerman Berupaya Tak Bergantung pada Rusia soal Sumber Daya Energi

Pemerintah Jerman tengah berupaya untuk tak lagi bergantung terhadap Rusia soal pasokan energi.

Liputan6.com, Jakarta Jerman ingin segera terlepas dari ketergantungannya terkait sumber daya energi terhadap Rusia. 

"Kami perlu mempercepat dan kami bekerja untuk mempercepat transisi energi kami untuk menjadi independen dari minyak, batu bara, dan gas Rusia secepat mungkin," ujar Jennifer Morgan, selaku Utusan Khusus Jerman untuk Aksi Iklim Internasional dalam konferensi pers terkait isu iklim internasional bersama awak media pada Rabu (11/5/2022).

Ia juga menambahkan bahwa pemerintah Jerman saat ini sedang mengupayakan mengurangi ketergantungan terhadap Rusia. 

"Kami tentu menolak agresi yang terjadi dan ingin agar ini semua secepatnya selesai," tambahnya.

Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Jerman Frank Walter Steinmeier pada Rabu (4/5) saat berkunjung ke Bucharest.

"Ketergantungan Jerman pada sumber daya energi Rusia telah berkurang secara signifikan," katanya. 

Ketergantungan Jerman pada minyak Rusia saat ini 15 persen. 

Steinmeier kala itu mengatakan pada konferensi pers bersama dengan timpalannya dari Rumania Klaus Iohannis.

Presiden Rumania mengatakan bahwa negaranya mendukung larangan yang diusulkan Komisi Eropa terhadap minyak Rusia, yang akan dilaksanakan melalui periode penghentian selama enam bulan.

Pihak berwenang di Bucharest sekarang sedang mengerjakan solusi berkelanjutan yang dapat dimobilisasi dengan cepat, kata Iohannis.

"Rumania ingin berperan aktif dalam mencapai tujuan strategis UE untuk mendiversifikasi pasokan gas alamnya," katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sebelumnya Jadi Pembeli Terbesar

Jerman disebut menjadi pembeli terbesar untuk bahan energi dari Rusia selama dua bulan pertama terjadinya konflik di Ukraina. 

Hal itu diungkapkan dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh kelompok penelitian independen yang berbasis di Finlandia, Centre for Research on Energy and Clean Air. 

Dikutip dari laman Associated Press (AP), Kamis (28/4/2022) studi tersebut menghitung bahwa Rusia telah memperoleh 63 miliar euro dari ekspor bahan bakar fosil sejak 24 Februari, yang merupakan tanggal hari pertama terjadinya konflik Rusia-Ukraina.

CREA menjelaskan, pihaknya melakukan studi ini dengan menggunakan data pergerakan kapal, pelacakan aliran gas secara real-time melalui jaringan pipa dan perkiraan berdasarkan perdagangan bulanan secara historis.

Para peneliti CREA juga mengungkapkan, Jerman membayar Rusia sekitar 9,1 miliar euro untuk pengiriman bahan bakar fosil – sebagian besar gas alam – dalam dua bulan pertama tahun ini.

3 dari 5 halaman

Impor Energi

Tahun lalu, Jerman membayar total sekitar 100 miliar euro untuk impor minyak, batu bara, dan gas — di mana seperempatnya datang dari Rusia, kata Kemfert.

Sementara itu, pemerintah Jerman mengatakan tidak dapat mengomentari perkiraan biaya yang sudah dikeluarkan untuk impor energi, dan mengatakan hal tersebut harus bersumber dari perusahaan yang menyediakan pasokan energi.

Centre for Research on Energy and Clean Air, yang didanai melalui hibah dan kontrak penelitian, mengungkapkan bahwa importir terbesar kedua bahan bakar fosil Rusia dalam dua bulan sejak pecahnya konflik adalah Italia dengan pengeluaran hingga 6,9 miliar euro.

China menjadi importir bahan bakar fosil Rusia terbesar ketiga di dunia, dengan pengeluaran sebesar 6,7 miliar euro.

Korea Selatan, Jepang, India, dan Amerika Serikat juga masih membeli energi Rusia setelah pecahnya konflik di Ukraina, meskipun jauh lebih sedikit daripada Uni Eropa.

4 dari 5 halaman

Negara yang Bergantung pada Rusia

Secara keseluruhan, 27 negara menyumbang 71 persen dari total pendapatan Rusia dari minyak, gas dan batu bara, yang nilainya sekitar 44 miliar euro, menurut laporan CREA.

Analis utama CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan perbandingan tahun-ke-tahun sulit dilakukan, tetapi dia memperkirakan bahwa ekspor Rusia ke Eropa pada periode yang sama tahun 2021 bernilai 18 miliar euro.

"Jadi 44 miliar euro mewakili dua kali lipat dari tahun lalu," bebernya.

"Pendorong utamanya adalah harga pasar untuk gas naik dari sekitar 10 euro per MWh tahun lalu menjadi di atas 100," terang Myllyvirta.

5 dari 5 halaman

Rusia Putus Pasokan Gas Alam ke Polandia dan Bulgaria

Rusia dikabarkan memutus pasokan gas alam ke Polandia dan Bulgaria setelah kedua negara itu menolak membayar dengan mata uang rubel. 

Sebagai informasi, Rusia sebelumnya telah mengumumkan kepada negara-negara yang dianggapnya 'tidak bersahabat,' bahwa mereka harus membayar energi yang diimpor dari Rusia dalam mata uang rubel mulai 1 April.

Perusahaan gas yang dijalankan Polandia, yaitu PGNiG mengatakan pihaknya akan sepenuhnya menangguhkan pasokan gas di sepanjang pipa Yamal (aliran gas Rusia ke Eropa) mulai Rabu pagi waktu setempat.

"Pada 26 April, Gazprom memberi tahu PGNiG tentang niatnya untuk sepenuhnya menangguhkan pengiriman berdasarkan kontrak Yamal pada awal hari kontrak pada 27 April," terang PGNiG dalam pernyataannya.

Sementara itu, pihak Gazprom tidak mengkonfirmasi pasokan gas Rusia ke Polandia telah dihentikan, menurut laporan kantor berita Rusia TASS , mengutip juru bicara perusahaan Sergey Kupriyanov.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.