Sukses

Jepang Akan Pakai Reaktor Nuklir Agar Tak Ketergantungan dengan Sumber Energi Rusia

Jepang telah menjadi semakin mengandalkan gas Rusia sejak menutup reaktor-reaktor nuklir setelah bencana Fukushima 2011.

Liputan6.com, Tokyo - PM Jepang Fumio Kishida pada Kamis (5/5) mengatakan negara itu akan menggunakan reaktor-reaktor nuklir untuk membantu mengurangi ketergantungannya sendiri dan negara-negara lain pada energi Rusia.

Jepang telah menjadi semakin mengandalkan gas Rusia sejak menutup reaktor-reaktor nuklir setelah bencana Fukushima 2011. Gempa bumi dan tsunami ketika itu memicu bencana reaktor, menghancurkan wilayah timur lautnya.

Namun, menghadapi pemilu pada bulan Juli dan meningkatnya harga energi yang mengetatkan anggaran pemilih, Fumio Kishida mengatakan nuklir akan menjadi bagian dari kebijakan energi Jepang pada masa mendatang, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (7/5/2022).

Ia mengatakan Jepang akan mengatasi "kerentanan swasembada energi kami" dengan meluaskan tempat di mana Jepang membeli energi, mendorong penggunaan energi terbarukan dan menggunakan energi nuklir untuk mendiversifikasi sumber-sumber pembangkit listriknya.

"Kami akan memanfaatkan reaktor nuklir dengan jaminan keamanan untuk berkontribusi bagi pengurangan ketergantungan pada energi Rusia di seluruh dunia," kata Kishida kepada hadirin di distrik finansial London.

"Memulai kembali hanya satu reaktor nuklir yang sudah ada akan memiliki efek yang sama seperti memasok satu juta ton gas alam cair (LNG) baru per tahun ke pasar global."

Lebih dari satu dekade setelah gempa dan tsunami Maret 2011 memicu krisis nuklir terburuk di dunia setelah Chernobyl, energi nuklir masih menjadi isu sulit di Jepang, di mana hanya segelintir dari 30 PLTN-nya yang masih beroperasi sekarang ini.

Namun, mayoritas masyarakat dan bisnis menghendaki pemerintah memulai kembali reaktor nuklir untuk mengatasi masalah keamanan energi, dengan krisis Ukraina dan kenaikan harga energi menambah momentum pada perubahan pendapat tersebut.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Rusia Larang Masuk 63 Warga Jepang ke Negaranya, Termasuk PM Fumio Kishida

Sejumlah orang kembali ditorehkan dalam daftar larangan masuk Rusia. Moskow mengatakan pada Rabu 4 Mei 2022, telah melarang masuk beberapa puluh pejabat Jepang, termasuk Perdana Menteri Fumio Kishida.

Langkah pencekalan terhadap PM Jepang dilakukan setelah Tokyo bergabung dengan banyak negara di dunia memberlakukan sanksi terhadap Moskow terkait invasi militernya di Ukraina.

"Pemerintahan Fumio Kishida melancarkan kampanye anti-Rusia yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan membiarkan retorika anti-Rusia, termasuk fitnah dan ancaman langsung, berkembang," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataannya seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (5/4/2022).

"Sikap ini juga digaungkan oleh tokoh-tokoh masyarakat, para pakar, media-media. Mereka sepenuhnya mendukung sikap Barat terhadap negara kami," tambah kementerian itu.

Pernyataan itu menyebutkan, Tokyo mengambil "langkah-langkah praktis yang bertujuan untuk merusak hubungan bertetangga yang baik, menghancurkan ekonomi Rusia dan citra internasional internasionalnya.”

Kementerian tersebut mengatakan larangan masuk bagi 63 warga negara Jepang itu -- termasuk perdana menteri, anggota kabinet, anggota parlemen, jurnalis dan profesor – berlaku tanpa batas waktu.

 

3 dari 4 halaman

Sebelumnya Larangan Sejumlah Tokoh AS dan Kanada

Rusia pada Kamis 21 April 2022 memberlakukan larangan perjalanan pada Wakil Presiden AS Kamala Harris, kepala Facebook Mark Zuckerberg dan lusinan orang Amerika serta Kanada terkemuka. Hal itu dilakukan sebagai pembalasan atas sanksi yang dijatuhkan terkait invasi Rusia ke Ukraina.

Kementerian luar negeri Rusia mengatakan pembatasan perjalanan pada 29 orang Amerika dan 61 warga Kanada - yang juga termasuk pejabat pertahanan, pemimpin bisnis dan jurnalis dari kedua negara - akan tetap berlaku tanpa batas waktu.

Mengutip AFP, Jumat 22 April, Kementerian luar negeri Rusia mengatakan daftar 90 orang yang dilarang itu terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab atas kebijakan "Russophobia" kedua negara.

Di Washington, salah satu pejabat yang menjadi sasaran, juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price, mengatakan bahwa larangan bepergian adalah "suatu kehormatan."

"Saya harus mengatakan itu tidak kurang dari sebuah penghargaan untuk mendapatkan kemarahan dari pemerintah yang berbohong kepada rakyatnya sendiri, membuat brutal tetangganya dan berusaha untuk menciptakan dunia di mana kebebasan dan kebebasan dikejar, dan jika mereka memilikinya jalannya, akhirilah," kata Price kepada wartawan.

Ditanya apakah dia harus membatalkan rencana perjalanan ke Rusia, Price menyindir: "Untungnya saya tidak punya rubel dan bahkan jika saya melakukannya, itu tidak akan berguna sekarang."

 

4 dari 4 halaman

Sanksi Untuk Rusia

Amerika Serikat telah memimpin upaya internasional untuk menjatuhkan sanksi besar-besaran terhadap Rusia atas operasi militernya di Ukraina, yang menyebabkan gejolak dalam ekonominya.

Amerika Serikat dan Uni Eropa secara pribadi telah memberikan sanksi kepada sejumlah orang Rusia termasuk Presiden Vladimir Putin, putri-putrinya, dan oligarki yang dianggap penting bagi kekuasaan pemimpin Rusia.

Orang Amerika lainnya yang masuk daftar larangan ke Rusia pada hari Kamis termasuk presenter televisi ABC News George Stephanopoulos, kolumnis Washington Post David Ignatius dan editor situs berita Meduza yang berfokus pada Rusia Kevin Rothrock.

Para pejabat pertahanan AS termasuk juru bicara Pentagon John Kirby dan Wakil Menteri Pertahanan Kathleen Hicks.

Daftar warga Kanada dipimpin oleh Cameron Ahmad, yang menjabat sebagai direktur komunikasi untuk Perdana Menteri Justin Trudeau, dan Komandan Pasukan Operasi Khusus Kanada Steve Boivin.

Rusia sebelumnya telah melarang Facebook dan Instagram, yang merupakan bagian dari kerajaan Meta Zuckerberg, menyebut mereka organisasi "ekstremis". 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.