Sukses

Aborsi Terancam Dilarang Mahkamah Agung AS Usai 15 Minggu

Mahkamah Agung berpotensi melarang aborsi usai 15 minggu di kasus Roe v. Wade.

Liputan6.com, Washington, DC - Masalah aborsi mendadak kembali menjadi sorotan di Amerika Serikat usai muncul kabar Mahkamah Agung akan mencabut aturan aborsi dalam keputusan Roe v. Wade dan Planned Parenthood v. Casey. Perdebatan di MA sudah dimulai sejak 1 Desember 2021 antara advokat hak reproduksi dan jaksa Mississippi. 

Mississippi menjadi sorotan karena negara bagian itu memiliki aturan pelarangan aborsi usai 15 minggu. Argumen Mississippi disebut berbahaya oleh hak reproduksi Julie Rikelman. Ia menyebut pembatasan itu bisa menyulitkan wanita yang butuh akses aborsi. 

Beberapa hal yang disorot Rikelman adalah kemungkinan perpisahan, kehilangan pekerjaan, penyakit di keluarga, kemiskinan, hingga anak-anak muda yang telat menyadari kehamilan. Hal itu bisa terjadi selama 15 pekan tersebut, sehingga konsekuensi pembatasan aborsi bisa berdampak negatif pada hak perempuan.

Namun, laporan dari Politico menunjukkan bahwa Mahkamah Agung berpotensi memutuskan untuk mencabut Roe v. Wade. Kabar itu bocor pada sebuah draf yang diungkap Politico. Draf itu menunjukkan bahwa lima dari sembilan Hakim Agung MA mendukung pencabutan.

Hakim Agung Samuel Alito berkata aturan aborsi harus dikembalikan ke masing-masing negara bagian. Ia juga menyebut ketika Roe v. Wade diputuskan pada 1973 masih ada 30 negara bagian yang membatasi aborsi. Berkat keputusan Roe v. Wade, maka aborsi legal secara nasional.

Hal itu dinilai Alito menerobos proses politik yang terjadi. Aborsi juga dinilai tak dibahas konstitusi, sehingga ia mendukung agar isu ini diserahkan ke masing-masing negara bagian.

"Waktunya untuk mengikuti Konstitusi dan mengembalikan isu aborsi ke perwakilan-perwakilan yang dipilih rakyat," tulisnya dalam draf tersebut.

Bila keputusan di draf itu dijalankan, maka Mississippi bisa melanjutkan aturan aborsinya, dan ada potensi negara-negara bagian lain membatasi aborsi. Namun, aborsi tetap legal di AS.  

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ditolak Pimpinan Partai Republik dan Demokrat

Politico melaporkan bahwa Ketua DPR Nancy Pelosi dari Partai Demokrat telah memberi pernyataan untuk mendukung aturan aborsi. Pelosi merilis pernyataan bersama Senator Chuck Schumer, sosok pimpinan Partai Demokrat di Senat.

"Hakim-hakim yang diangkat (Partai) Republik melaporkan memvoting untuk mencabut Roe v. Wade akan menjadi sebuah kekejian, salah satu keputusan yang merusak di sejarah modern," ujar Pelosi dan Schumer.

Dua politisi itu berkata keputusan MA bisa sangat mengekang hak aborsi selama 50 tahun terakhir.

Di Mahkamah Agung AS, lima hakim diangkat oleh pemerintahan konservatif. Yang terbaru adalah Hakim Agung Amy Coney Barrett yang dipilih Donald Trump. Sejak awal terpilih, kehadiran Hakim Agung Barrett sudah diprediksi akan berdampak ke hak aborsi.

Anggota DPR Sean Patrick Maloney dari Partai Demokrat berkata keputusan dari MA ini akan menjadi bagian penting dalam pemilihan legislatif 2022.

Sementara, Gubernur Gretchen Whitmer dari Michigan berjanji akan menjaga akses aborsi di daerahnya. 

"Pekerjaan kita lebih penting dari sebelumnya. Saya akan berjuang keras untuk melindungi akses aborsi di Michigan," ujar wanita itu.

 

 

3 dari 4 halaman

Komnas Perempuan Minta Pemerintah-DPR Pastikan Pemerkosaan dan Aborsi Diatur di RKUHP

Di dalam negeri, Komnas Perempuan menyambut baik meminta agar DPR dan pemerintah memastikan aturan soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi diatur dalam KUHP. Pasalnya, pemerkosaan dan aborsi saat ini belum diatur secara rinci dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

"Komnas Perempuan merekomendasikan agar DPR RI dan Pemerintah kedepannya memastikan aturan pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi yang komprehensif dalam RKUHP," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dikutip dari siaran persnya, Selasa (12/4).

"Beserta pasal jembatan yang akan memungkinkan korban perkosaan dan pemaksaan aborsi dapat mengakses hak-hak selama penanganan kasus dan pemulihan sebagaimana dimuat dalam UU TPKS," sambungnya.

Menurut dia, Komnas Perempuan akan terus mendukung upaya implementasi UU TPKS dalam mendorong perumusan peraturan turunan. Andy pun mengajak semua pihak mengawal pelaksanaan UU TPKS.

"Kita semua perlu mengawal pelaksanaan UU TPKS sehingga dapat mencapai tujuan pembentukannya, dan juga memastikan perubahan hukum dan kebijakan lain yang relevan dapat segera mengikuti, termasuk RKUHP," ujarnya.

Adapun UU TPKS memuat terobosan hukum yaitu dengan mengatur tindak pidana kekerasan seksual, pemidanaan (sanksi dan tindakan), hukum acara khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban.

4 dari 4 halaman

Yang Tidak Ada Dalam RUU TPKS

Pemerkosaan tidak masuk dalam Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurut Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya, alasannya karena pemerkosaan dan aborsi tidak diatur dalam draf RUU TPKS.

Willy menyebut, pemerkosaan sudah diatur dalam undang-undang lain yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kenapa kita tidak masukan pemerkosaan. Satu, karena sudah ada di KUHP. RKUHP itu lebih komplet lagi," ujar Willy pada wartawan, Rabu (6/4).

Meski demikian, menurutnya pemerkosaan masih dicantumkan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual lainnya dalam RUU TPKS.

"Memang kita tidak memasukan pemerkosaan dan aborsi. Dari 9 jenis kekerasan seksual yang kita sebutkan di atasnya, pemerkosaan kita sebutkan jenis kekerasan seksual lainnya, itu di bawahnya ada," ujar Willy.

Sementara aborsi, menurut Willy juga sudah diatur dalam undang-undang lain yaitu UU Kesehatan. "Kenapa aborsi tidak kita masukan. Itu ada dalam UU Kesehatan. Jadi, itu sudah cukup," jelas Willy.

Karena alasan itulah, lanjut Willy, Panja memutuskan tidak memasukkan dua jenis kekerasan seksual tersebut. "Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua UU, karena akan terjadi overlapping," ujar Willy.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.