Sukses

Puasa Saat Taliban Berkuasa, Begini Nasib Banyak Keluarga di Afghanistan

Ramadhan 2022 adalah bulan puasa pertama bagi Afghanistan sejak Taliban kembali berkuasa.

Liputan6.com, Kabul - Ramadhan 2022 adalah pertama kalinya masyarakat Afghanistan berpuasa sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021. Masalah ekonomi pun menerpa Afghanistan atau yang kini disebut Emirat Islam, pasalnya negara-negara Barat memberikan sanksi.

Organisasi internasional Save the Children menyorot nasib keluarga-keluarga di Afghanistan yang sulit membeli makan. Mereka hanya bisa membeli roti dan air saja. Tentunya hal itu berbeda dari situasi di negara-negara mayoritas Muslim ketika Ramadhan memiliki aneka kuliner menarik.

Dilansir TOLO News, Rabu (27/4/2022), Save the Children menyebut angka keluarga yang pengangguran dan miskin meningkat. Mereka pun melakukan tindakan putus asa demi memberi makan keluarga.

Laporan Save the Children menyebut biaya hidup dan makanan meroket sejak Taliban mengambil alih Afghanistan. Laporan itu juga mencatut laporan Bank Dunia bahwa pendapatan masyarakat Afghanistan merosot sepertiga pada bulan-bulan terakhir di 2021.

Save the Children mewawancara para wanita Afghanistan yang mengeluhkan tingginya harga makanan, sehingga mereka sulit memberikan makanan.

Anak-anak lantas berada dalam posisi yang rentan karena krisis kelaparan. Kurangnya nutrisi bisa memicu penyakit, infeksi, stunting dan kematian.

Kasus Jual Anak

Sebelumnya dilaporkan bagaimana kasus jual anak terjadi karena masalah ekonomi. 

Ekonomi Afghanistan yang sebelumnya telah babak belur kini dihantam kekeringan berkepanjangan dan berkuasanya kembali Taliban. Masa depan negara itu tampak suram.

Taliban hingga kini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan internasional setelah merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus 2021. Demikian seperti dikutip dari laman DW Indonesia pada November 2021.

Di dalam negeri, mereka juga berjuang untuk memahami dan mengendalikan situasi Afghanistan yang memburuk. Namun rakyat miskinlah yang harus membayar harga paling mahal.

"Pandemi COVID-19, krisis pangan yang telah berlangsung, dan datangnya musim dingin semakin memperburuk keadaan," menurut laporan yang baru diterbitkan oleh UNICEF, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kepada anak-anak di seluruh dunia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Terhimpit Situasi

Lebih lanjut, Mohammad Ibrahim, penduduk Kabul, adalah salah satu dari banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain menawarkan putrinya yang berusia tujuh tahun bernama Jamila untuk dijual. Uang hasil penjualan Jamila akan dipakai untuk membayar utang-utang keluarganya.

"Seseorang datang dan mengatakan kepada saya untuk membayar utang atau 'Saya akan membakar rumah Anda hingga jadi abu,'" kata Ibrahim kepada DW. Namun dia mendapat tawaran untuk "menyerahkan putrinya" guna melunasi utang.

"Pria itu orang kaya," lanjut Ibrahim.

"Dan saya tidak punya pilihan lain dan saya menerima untuk menukarkan anak saya untuk membayar utang sebanyak 65.000 Afghani (sekitar Rp10 juta)."

Di Provinsi Badghis di Afganistan barat, warga telah lama mengalami kekeringan dan terpaksa meninggalkan rumah dan desa mereka. Najeeba, perempuan muda yang tinggal di sebuah kamp, telah diperdagangkan oleh keluarganya dengan harga 50.000 Afghani, atau sekitar Rp7,7 juta.

"Di malam hari sangat dingin dan kami tidak punya apa-apa untuk menghangatkan rumah kami. Kami ingin LSM membantu kami," kata Najeeba kepada DW.

"Saya masihlah seorang anak perempuan. Saya punya dua saudara laki-laki, satu saudara perempuan dan seorang ibu. Saya belum mau menikah dan ingin belajar dan mengenyam pendidikan," tambahnya.

Gul Ahmad, ayah dari Najeeba, tidak melihat ada pilihan lain selain menjual putri-putrinya yang lain untuk memenuhi kebutuhan.

"Saya tidak punya pilihan lain dan jika kami ditinggalkan, saya terpaksa menjual putri saya yang lain seharga 50, 30 atau bahkan 20 ribu  Afghani."

3 dari 4 halaman

WFP Turun Tangan

Program Pangan Dunia (WFP) di bawah PBB memperkirakan bahwa lebih dari separuh penduduk Afganistan hidup di bawah garis kemiskinan. Kerawanan pangan meningkat, sebagian besar karena konflik dan ketidakamanan yang mengisolasi seluruh komunitas di sana.

WFP mengatakan bahwa sekitar 22,8 juta dari hampir 35 juta penduduk Afganistan diidentifikasi rawan pangan akut. Angka ini termasuk ratusan ribu warga yang mengungsi akibat konflik sejak awal tahun.

"Sulit rasanya menukar anak untuk membayar utang. Kami tidak punya apa-apa untuk ditawarkan kecuali anak kami sendiri,” kata Nazo, ibu Jamila.

Menyusul runtuhnya pemerintah Afganistan, upaya bunuh diri juga meningkat dan warga bahkan lebih rentan terhadap penyakit psikologis dan mental. Kemiskinan meningkat. Tidak adanya warna-warni dan keramaian dari jalan-jalan Kabul yang sebelumnya cerah dan ramai, membuat situasi suram ini makin kentara.

4 dari 4 halaman

Menlu Retno Marsudi Minta Taliban Penuhi Janji

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan pentingnya Taliban untuk memenuhi janji-janji yang telah disampaikan jika ingin mendapatkan kepercayaan dari dunia.

"Penting bagi Taliban untuk memenuhi janji-janjinya," ujar Retno Marsudi dalam konferensi pers virtual, Kamis (31/3).

"Karena pemenuhan janji tersebut atau pemenuhan komitmen tersebut akan menciptakan enabling environment bagi dukungan internasional terhadap pembangunan ekonomi Afghanistan," tambahnya.

Menurutnya, penting membangun kepercayaan antara Taliban dengan dunia internasional.

"Saya sampaikan trust atau kepercayaan ini tidak jatuh dari langit. Namun harus dibangun dan dipelihara," ujar Retno Marsudi.

"Trust akan tercipta apabila Taliban melakukan langkah maju dan memenuhi semua komitmen yang telah disampaikan pada Agustus tahun lalu." 

Saat menghadiri Doha Forum, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat negara, salah satunya adalah Taliban.

Dalam pertemuan itu, Retno Marsudi menyikapi keputusan Taliban yang tidak mengizinkan perempuan bersekolah di secondary school.

Dalam pertemuan tersebut, saya juga sampaikan concern Indonesia atas kebijakan penutupan akses terhadap sekolah tingkat atas bagi perempuan di Afghanistan," ujar Retno Marsudi dalam pernyataan pers, Senin (28/3/2022).

"Saya menegaskan bahwa pendidikan perempuan sangat penting bagi masa depan Afghanistan."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.