Sukses

Indonesia Larang Eskpor Sawit, Bakal Perparah Kelangkaan Global?

Kelapa sawit mewakili 60 persen perdagangan minyak nabati di dunia, dan sepertiganya berasal dari Indonesia. Kini RI melakukan pembatasan ekspor produk tersebut.

, Jakarta - Minyak sawit tidak hanya digunakan untuk memasak, tetapi juga untuk membuat berbagai jenis produk, mulai dari kosmetika hingga cairan pembersih. Sawit mewakili 60 persen perdagangan minyak nabati di dunia, dan sepertiganya berasal dari Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan larangan terbatas ekspor sawit (Crude Palm Oil/CPO), dengan tujuan menjaga persediaan di dalam negeri. Kebijakan larangan ekspor CPO itu dianggap sebagai kesempatan bagi Malaysia untuk menarik para pelanggan Indonesia. 

Kebijakan ini diambil Jokowi setelah munculnya berbagai pemberitaan soal kelangkaan minyak.

"Keputusan pemerintah Indonesia membatasi ekspor (kelapa sawit) dinilai tidak cuma akan berdampak pada ketersediaan minyak sawit, tapi juga terhadap ketersediaan minyak makan di seluruh dunia,” kata James Fry Direktur LMC International, sebuah perusahaan konsultan komoditas seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (27/4/2022).

"Kelangkaan terjadi ketika volume ekspor di semua negara produsen terbesar mendapat tekanan: minyak kacang kedelai karena musim kering berkepanjangan di Amerika Selatan, minyak bunga rapa karena buruknya hasil panen di Kanada, serta minyak bunga matahari karena invasi Rusia terhadap Ukraina," tutur Fry.

Sejak enam bulan terakhir, harga minyak nabati meningkat 50 persen menyusul kelangkaan tenaga buruh di Malaysia atau kemarau ekstrem di Argentina dan Kanada, serta yang terakhir perang di Ukraina. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tanpa Alternatif yang Memadai

Anjloknya kapasitas produksi di kelima negara ini, mendorong importir berharap besar pada Indonesia untuk menutupi permintaan minyak nabati. "Namun harapan itu pupus seiring munculnya larangan ekspor dari Jakarta yang menjadi ledakan ganda bagi pasar dunia", kata Atul Chaturvedi, Presiden Asosiasi Industri Ekstraksi Pelarut India (SEA).

Sebagai konsekuensinya, sejumlah supermarket di Turki, Spanyol, Italia dan Inggris, sudah menetapkan batasan jumlah pembelian minyak makan. Jerman sudah mengalami kelangkaan sejak beberapa pekan. Di Kenya, perusahaan listrik negara mewanti-wanti warga terhadap minyak makan palsu, terbuat dari cairan beracun yang dicuri dari transformator listrik miliknya.

Negara-negara seperti India, Bangladesh atau Pakistan berusaha membeli minyak sawit dari Malaysia untuk menggantikan anjloknya impor dari Indonesia. "Tapi negara produsen sawit terbesar kedua dunia itu pun tidak mampu menutupi gap yang ditimbulkan Indonesia", kata Chaturvedi lebih lanjut.

Indonesia menyuplai 50 persen kebutuhan minyak sawit India. Sementara pangsa di Pakistan dan Bangladesh masing-masing sebesar 80 persen. 

"Tidak ada yang bisa menggantikan volume minyak sawit yang menghilang dari Indonesia. Semua negara akan menderita,” kata Rasheed Jan Mohd, Direktur Asosiasi Minyak Makan Pakistan (PEORA).

 

3 dari 4 halaman

Kerentanan Suplai di Masa Depan

Bulan Februari lalu, harga minyak nabati mencatatkan rekor baru, sebelum melonjak lagi sekitar 23 persen pada Maret, akibat anjloknya suplai minyak bunga matahari dari kawasan Laut Hitam. 

Menurut Bank Dunia, harga minyak kedelai yang berkisar USD 765 per ton pada 2019 silam, diperdagangkan dengan harga USD 1.957 pada Maret 2020. Adapun harga minyak sawit melonjak 200 persen dalam kurun waktu yang sama. 

Dalam jangka panjang, kerentanan suplai minyak nabati akan berdampak terhadap pengembangan bahan bakar rendah emisi. Amerika Serikat saat ini menggunakan 43 persen minyak kedelai sebagai bahan campuran biodiesel. 

 

4 dari 4 halaman

Sempat Ada Penundaan

Belum lama ini, pemerintah Indonesia menunda rencana meningkatkan kadar campuran minyak sawit dalam bahan bakar nabati menjadi sebesar 40 persen.

Adapun Uni Eropa mengaku akan mendukung negara anggota yang ingin mengurangi kuota bahan bakar nabatinya.

Indonesia sendiri sudah mengindikasikan, larangan ekspor memiliki batas waktu, lantaran minimnya kapasitas penyimpanan minyak sawit yang ada di dalam negeri. Dengan daya serap pasar dalam negeri yang terbatas, surplus produksi minyak sawit itu harus cepat dioper ke luar negeri, kata seorang pejabat Kementerian Perindustrian kepada Reuters.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.