Sukses

Bangladesh Tutup Sekolah Bagi Pengungsi Rohingya Myanmar

Polisi bersenjata menggerebek kantornya di sekolah swasta terbesar untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Liputan6.com, Dhaka - Kepala Sekolah Kayaphuri Mohammad Showife sedang mencetak pertanyaan untuk ujian kelas sembilan ketika polisi bersenjata menggerebek kantornya di sekolah swasta terbesar untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Showife yang berusia 32 tahun mengatakan kepada VOA bahwa polisi menyita komputer dan printernya, dan keesokan harinya kembali untuk mengambil bangku dan papan tulis serta mengunci pintu sekolah.

“Polisi menanyakan apakah kami memiliki izin resmi untuk sekolah tersebut. Kami tidak memilikinya dalam format tertulis. Pemimpin kami, Mohib Ullah, mendapat izin lisan dari penanggung jawab kamp untuk membuka sekolah. Sekarang tiba-tiba, pemerintah Bangladesh memutuskan untuk menutupnya,” ujar Showife.

Sekolah menengah, yang didirikan pada tahun 2019 oleh seorang pemimpin Rohingya yang terbunuh tahun lalu itu adalah yang terakhir dari sekitar 30 lembaga sejenis itu di kamp-kamp Rohingya yang ditutup oleh polisi, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (15/4/2022).

Dengan penutupan Sekolah Kayaphuri di kamp pengungsi Rohingya Kutupalaung di Bangladesh selatan pada 24 Maret lalu, maka kini tidak ada lagi sekolah seperti itu yang masih beroperasi.

Sekolah yang menggunakan bangunan darurat dari bambu dan terpal ini menjadi penyelamat bagi ribuan anak Rohingya yang memiliki akses sangat terbatas ke sekolah-sekolah di kamp-kamp pengungsi Rohingya.

Namun, Kantor Komisaris Bantuan dan Repatriasi Pengungsi Bangladesh, yang bertanggung jawab atas bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Rohingya, mengatakan pada 13 Desember bahwa semua sekolah swasta semacam itu di kamp Rohingya “harus ditutup” karena “ilegal.”

Setelah perintah itu, polisi bersenjata mulai menggerebek sekolah dan menyita aset sekolah, termasuk bangku, papan tulis dan, dalam beberapa kasus, komputer, kata berbagai sumber kepada VOA.

Kantor UNICEF di Bangladesh mengatakan dalam sebuah email kepada VOA bahwa lebih dari 350.000 anak pengungsi Rohingya terdaftar di 3.200 pusat pembelajaran di kamp-kamp pengungsi Rohingya, Myanmar di Cox's Bazar, 2.800 di antaranya didanai oleh UNICEF.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Muslim Rohingya Puji Pengakuan AS

Dipaksa melarikan diri dari penganiayaan yang berlandaskan etnis dan agama di negara sendiri, para pengungsi Rohingya di Bangladesh menyambut baik pengakuan resmi Amerika Serikat (AS) tentang genosida yang dilakukan oleh rezim militer Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim tersebut.

“Sudah 60 tahun, mulai 1962, pemerintah Myanmar menyiksa kami dan banyak komunitas lain termasuk Rohingya,” ujar Sala Uddin, 60, pengungsi di satu kamp di Bangladesh, kepada kantor berita Associated Press.

"Menurut saya, jalan bagi komunitas internasional untuk bertindak terhadap Myanmar telah terbuka karena deklarasi tersebut."

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, pada Senin (21/3), mengumumkan keputusan Amerika untuk mengakui kekejaman rezim militer di Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Deklarasi resmi genosida itu - yang merupakan deklarasi kedelapan yang pernah dibuat oleh pemerintah Amerika – dibuat setelah penyelidikan dan pengkajian bertahun-tahun.

Min Aung Hlaing, komandan militer Myanmar pada 2016 dan 2017 dan pemimpin pemerintahan sejak kudeta Februari 2021, disebut dalam pidato Blinken.

 

3 dari 4 halaman

Pihak yang Bertanggung Jawab

Deklarasi pada Senin (21/3) itu mengatakan angkatan bersenjata di bawah komando langsung Hlaing bertanggung jawab atas pembunuhan lebih dari 9.000 orang Rohingya dan larinya 840.000 warga Rohingya lainnya ke negara tetangga Bangladesh dalam periode dua tahun.

Panglima angkatan bersenjata Myanmar, yang juga dikenal sebagai Birma, itu sejak Desember 2019 telah dikenai sanksi Amerika atas perannya dalam kekejaman tersebut.

Kementerian Luar Negeri Myanmar, pada Selasa (22/3), merilis pernyataan yang mengatakan bahwa "Myanmar tidak pernah terlibat tindakan genosida" dan tidak memiliki "niat melakukan genosida" terhadap kelompok mana pun.

Pernyataan itu menyebut komentar Blinken "bermuatan politik dan sama saja dengan mencampuri urusan dalam negeri dari negara berdaulat."

Berbagai kelompok HAM juga telah mendokumentasi dan melaporkan apa yang mereka sebut pembunuhan sistematis dan meluas, pemerkosaan dan pemindahan minoritas Rohingya di Myanmar, yang sebagian besar mengungsi ke Bangladesh.

Sekitar 4,3 persen dari 54 juta populasi Myanmar adalah Muslim.

 

4 dari 4 halaman

AS Pastikan Itu Genosida

Amerika Serikat, Senin (21/3), secara resmi menyatakan bahwa kekerasan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya yang menyebabkan lebih dari 700.000 orang mengungsi merupakan tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pernyataan AS ini menandai babak terbaru dalam sejarah panjang dan penuh gejolak kelompok tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia itu.

Sekitar satu juta orang Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine, di bagian barat Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, sebelum banyak dari mereka terpaksa lari dari wilayah yang bergolak itu selama penumpasan militer tahun 2017.

Tetapi pertanyaan tentang asal usul dan identitas mereka diperdebatkan sengit. Menurut beberapa catatan, Rohingya adalah keturunan pedagang dan tentara Arab, Turki atau Mongol yang pada abad ke-15 bermigrasi ke negara bagian Rakhine, yang sebelumnya disebut Kerajaan Arakan.

Sejarawan lain mengatakan mereka bermigrasi dari Bangladesh dalam beberapa gelombang, pandangan yang dipegang secara luas oleh banyak orang di Myanmar.

Menurut sejarawan, selama berabad-abad kelompok minoritas Muslim itu hidup damai bersama umat Buddha di kerajaan independen tersebut. Beberapa dari mereka bahkan menjadi penasehat sejumlah bangsawan Buddha,

Namun, pergolakan terjadi pada akhir abad ke-18 ketika kerajaan itu ditaklukkan oleh Burma – nama negara itu sebelum diubah menjadi Myanmar - dan kemudian oleh Inggris.

Sebagai bagian dari kebijakan devide et impera (mengadu domba) mereka, Inggris yang lebih menyukai Muslim, merekrut mereka sebagai tentara selama Perang Dunia II dan mengadu mereka dengan umat Buddha yang bersekutu dengan Jepang saat konflik berkecamuk di tanah Burma.

Status kependudukan Rohingya diperkuat pada tahun 1947 ketika sebuah konstitusi baru dirancang dan memberi mereka hak hukum dan suara penuh, namun itu hanya berlangsung singkat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.