Sukses

AS Frustasi dengan Sikap Netral India Terkait Invasi Rusia di Ukraina

India mencoba untuk mempertahankan hubungan dengan Barat dan menghindari permusuhan dengan Rusia, tetapi justru menimbulkan kekhawatiran AS karena India terus membeli minyak Rusia.

, Washington D.C - Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan PM India Narendra Modi "bertukar pandangan secara terang-terangan" tentang krisis Ukraina. Washington merasa frustasi atas sikap netral New Delhi terhadap invasi Rusia.

Pembicaraan selama satu jam antara Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Perdana Menteri India Narendra Modi berlangsung "hangat dan produktif", kata seorang pejabat senior administrasi AS. Dalam pembicaraan itu Biden tidak meminta tuntutan besar dari India dan tidak ada indikasi kemajuan signifikan untuk bersatu dalam konflik.

India mencoba untuk mempertahankan hubungan dengan Barat dan menghindari permusuhan dengan Rusia, tetapi justru menimbulkan kekhawatiran AS karena India terus membeli minyak Rusia, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Rabu (13/4/2022).

Biden menekan para pemimpin dunia untuk mengambil sikap tegas terhadap Moskow, meskipun tidak ada "pertanyaan dan jawaban konkret" tentang impor energi selama pertemuan puncak virtual tersebut.

"Kami sudah sangat jelas bahwa kami dapat melarang impor minyak dan (gas) dan batu bara dari Rusia, tetapi negara lain harus membuat pilihan mereka sendiri," katanya.

Sebelumnya, Biden memulai pertemuan dengan memberi hormat dan mengutarakan keinginannya melanjutkan pembicaraan mengenai perang.

Perdana Menteri India Modi menggambarkan krisis Ukraina sebagai kondisi yang "sangat mengkhawatirkan" dan mengingatkan bahwa India telah mendukung pembicaraan damai antara Ukraina dan Rusia, sambil memberikan bantuan medis ke Kyiv.

Pada awal Maret lalu, Joe Biden dan Modi gagal mencapai keputusan bersama untuk mengecam invasi Rusia ketika mereka terakhir berbicara dalam pertemuan yang disebut aliansi "Quad", yang beranggotakan Amerika Serikat, India, Australia, dan Jepang.

New Delhi abstain ketika Majelis Umum PBB membuka pemungutan suara untuk menangguhkan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sanksi Internasional

Amerika Serikat telah memperingatkan bahwa negara mana pun yang secara aktif membantu Rusia menghindari sanksi internasional akan menerima "konsekuensi".

Namun, ancaman tersebut tidak menghalangi India bekerja sama dengan Rusia dalam mekanisme pembayaran rupee-rubel untuk menghindari sanksi perbankan, sambil memanfaatkan potongan harga minyak yang ditawarkan oleh produsen Rusia.

Sementara itu, India telah membeli setidaknya tiga juta barel minyak mentah dari Rusia sejak dimulainya invasi pada 24 Februari, meskipun ada embargo oleh negara-negara Barat.

Biden mengatakan pada 21 Maret lalu, bahwa New Delhi masuk dalam pengecualian di antara sekutu Washington.

Menurut para ahli, Rusia tetap menjadi pemasok senjata utama terbesar India dan sebaliknya, India juga merupakan pelanggan terbesar Rusia.

AS belum berniat jatuhkan sanksi untuk India

Biden dan Modi juga berbicara tentang mengakhiri pandemi COVID-19, melawan perubahan iklim, dan memperkuat keamanan dan demokrasi di kawasan Asia-Pasifik, di mana India dipandang sebagai penyeimbang penting bagi pertumbuhan kekuatan Cina.

Namun, hal lain yang diperdebatkan adalah pembelian sistem pertahanan rudal S-400 Rusia oleh India, yang bertentangan dengan larangan AS.

AS telah memberikan sanksi kepada Cina pada tahun 2018 karena membeli sistem tersebut, tetapi hingga saat ini belum berkomitmen melakukan hal yang sama untuk India.

3 dari 4 halaman

WTO: Krisis di Ukraina Pangkas Pertumbuhan Perdagangan Global hingga Setengah Tahun 2022

Konflik yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina telah memberikan pukulan telak bagi ekonomi global.

Diperkirakan ini akan mengurangi perkiraan pertumbuhan perdagangan global untuk 2022 dari 4,7 persen yang diperkirakan Oktober lalu menjadi antara 2,4 persen dan 3 persen.

Proyeksi tersebut berdasarkan model simulasi ekonomi global, dibuat oleh Sekretariat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam sebuah catatan yang dikeluarkan pada Senin (12/4).

Menurut model yang sama, krisis dapat menurunkan pertumbuhan PDB global sebesar 0,7-1,3 poin persentase, membawanya ke suatu tempat antara 3,1 persen dan 3,7 persen untuk tahun 2022.

Konflik telah mendorong harga pangan dan energi, dan mengurangi ketersediaan barang yang diekspor oleh Rusia dan Ukraina, kata catatan Sekretariat.

Rusia dan Ukraina keduanya merupakan pemasok penting produk-produk penting, terutama makanan dan energi, menurut catatan tersebut.

Kedua negara memasok sekitar 25 persen gandum, 15 persen jelai, dan 45 persen ekspor produk bunga matahari secara global pada 2019. Rusia sendiri menyumbang 9,4 persen dari perdagangan bahan bakar dunia, termasuk 20 persen pangsa ekspor gas alam.

Rusia adalah salah satu pemasok global utama paladium dan rhodium, yang merupakan elemen penting dalam produksi catalytic converter untuk mobil.

Sementara itu, produksi semikonduktor sangat bergantung pada neon yang dipasok oleh Ukraina.

 

4 dari 4 halaman

Gangguan Lain

Gangguan pada pasokan bahan-bahan ini dapat memukul produsen mobil pada saat industri baru saja pulih dari kekurangan semikonduktor, WTO menyoroti.

Eropa, tujuan utama ekspor Rusia dan Ukraina, kemungkinan akan mengalami dampak ekonomi terberat. Pengurangan pengiriman biji-bijian dan bahan makanan lainnya juga akan menaikkan harga barang-barang pertanian.

Afrika dan Timur Tengah adalah wilayah yang paling rentan, karena mereka mengimpor lebih dari 50 persen kebutuhan sereal mereka dari Ukraina dan/atau Rusia. Secara total, 35 negara di Afrika mengimpor pangan dan 22 mengimpor pupuk dari Ukraina, Rusia atau keduanya.

Beberapa negara di Afrika Sub-Sahara menghadapi potensi kenaikan harga hingga 50-85 persen untuk gandum, sebagai akibat dari dampak krisis pada pengiriman biji-bijian, kata catatan itu.

"Krisis saat ini kemungkinan akan memperburuk kerawanan pangan internasional pada saat harga pangan secara historis sudah tinggi karena pandemi COVID-19 dan faktor lainnya," demikian peringatannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.