Sukses

Pengamat Nilai Sanksi Terhadap Rusia Tak Efektif Redakan Perang dengan Ukraina

Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai bahwa sanksi-sanksi yang dijatuhkan Barat terhadap Rusia tidak cukup efektif.

Liputan6.com, Jakarta - Berbagai pihak di dunia telah berupaya untuk menjalin komunikasi dengan Rusia guna mencegahnya meningkatkan potensi perang lebih jauh lagi dengan Ukraina. Misalnya saja Presiden AS Joe Biden yang telah memborbardir dengan banyak sanksi usai Presiden Putin memerintahkan serangan militer kepada Ukraina. 

Ditambah lagi respons dari PBB hingga sejumlah pemimpin dunia seperti PM Inggris Boris Johnson juga mengutuk Rusia dengan nada yang sama.

Namun, menurut Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, sanksi tersebut tidak efektif menghentikan perang Rusia-Ukraina karena sejumlah alasan.

"Pertama, sanksi ekonomi baru akan terasa di level masyarakat Rusia dan para elit dalam waktu 6 bulan bahkan satu tahun ke depan," ujarnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (25/2/2022). 

Selain itu, alasan lainnya adalah bahwa Rusia harus dibedakan dengan Iran ataupun Korea Utara yang masih sangat bergantung pada banyak negara.

Kemudian, Rusia akan dibantu oleh sekutu-sekutunya, bahkan oleh China yang melihat potensi keuntungan secara finansial.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tidak Cukup Efektif

Hikmahanto Juwana juga berpendapat bahwa penyelesaian melalui Dewan Keamanan PBB pun akan tidak membuahkan hasil mengingat di dalam DK PBB ada Rusia yang merupakan Anggota Tetap yang memiliki hak veto. 

Apapun draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto oleh Rusia.

Menurutnya, satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui Majelis Umum PBB. Dalam MU PBB semua tidak ada hak veto dan semua negara anggota memiliki satu suara yang sama. Disamping dalam MU PBB semua negara anggota bisa berperan.

Dalam sejarahnya, MU PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian..pada tahun 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea, MU PBB mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting For Peace. 

Dalam resolusi tersebut, MU PBB dapat meminta negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata. Bila seruan ini tidak digubris maka MU PBB dapat memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tidak mematuhi gencatan senjata.

Namun, Hikmahanto menegaskan bahwa tentu proses di MU PBB harus diinisiasi oleh sebuah negara anggota PBB.

Indonesia dapat mengambil peran ini mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G-20 dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia.

Ia menambahkan bahwa Presiden Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.

Menlu Retno juga perlu melakukan pembicaraan dgn Menlu berbagai negara di Asia Afrika Eropa Timur hingga Amerika Latin mengingat bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal Perang Dunia III.

3 dari 3 halaman

Infografis Anak Muda Sayangi Lansia, Ayo Temani Vaksinasi Covid-19:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.