Sukses

HEADLINE: Misi NASA Tabrak Asteroid, Efektif Lindungi Bumi?

DART merupakan misi NASA meluncurkan pesawat ruang angkasa yang diskenariokan menabrak asteroid agar tidak menghantam Bumi.

Liputan6.com, Jakarta - Hitungan mundur dari angka 10 menjadi penanda keberangkatan roket SpaceX Falcon 9 di Vandenberg Space Force Base, California, Amerika Serikat. Beberapa menit sebelum diluncurkan, gumpalan asap putih tebal sudah terlihat dari misi NASA bernama DART tersebut.

"Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu, nol, siapkan posisi, lepas landas," kata seorang pria di ruang kontrol dalam siaran langsung dari akun Youtube NASASpaceflight pada Selasa, 23 November 2021, pukul 10.21 Pacific Time.

DART merupakan misi NASA meluncurkan pesawat ruang angkasa yang diskenariokan menabrak asteroid agar tidak menghantam Bumi. Roket SpaceX Falcon 9 ini akan berada di jalurnya untuk menabrak asteroid lebih dari 6 juta mil jauhnya. 

Dikutip dari Fortune, Kamis (25/11/2021), para ilmuwan berharap dapat mengamati bagaimana dampak tabrakan roket akan mengubah lintasan asteroid.

Jika misi Double Asteroid Redirection Test (DART) terbukti berhasil, itu akan memberikan wawasan tentang bagaimana para ilmuwan mungkin dapat mengarahkan asteroid masa depan, terutama yang menimbulkan bahaya yang lebih langsung ke Bumi.

"Jika suatu hari sebuah asteroid ditemukan di jalur tabrakan dengan Bumi, maka kita akan memiliki gagasan berapa banyak momentum yang kita butuhkan untuk membuat asteroid itu meleset dari Bumi," Andy Cheng, ketua tim investigasi DART, mengatakan kepada CNN.

Meskipun ukuran dan jarak asteroid khusus ini mencegahnya menjadi ancaman tingkat 'Armageddon' bagi Bumi, peluncuran pekan ini adalah yang pertama dari upaya pertahanan NASA untuk memahami bagaimana mencegah skenario terburuk di planet manusia.

Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, uji coba ini dilakukan NASA pada salah satu asteroid kembar.

"Pada saat uji coba, posisi asteroid sangat jauh dari Bumi, sekitar 11 juta km. Uji coba dilakukan dengan menabrak asteroid kecil (berukuran 160 m) yang mengorbit asteroid besar (berukuran 780 km)," tutur Thomas saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/11/2021).

Nama asteroid dengan ukuran lebih kecil dan menjadi tujuan misi ini adalah Dimorphos. Asteroid tersebut mengitari asteroid yang lebih besar bernama Dydimos.

"Asteroid akan ditabrak wahana DART dengan kecepatan 6,6 km/detik. Dengan tabrakan itu, diharapkan orbit asteroid kecil akan berubah. Skenario seperti itu yang akan dilakukan jika nantinya ada asteroid yang mengancam Bumi," tutur Thomas menjelaskan lebih lanjut.

Dihubungi secara terpisah, Peneliti bidang astronomi/astrofisika Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Rhorom Priyatikanto menuturkan, asteroid kembar itu dipilih karena NASA ingin mengetahui efek tabrakan DART terhadap orbit Dimorphos yang mengitari Dydimos.

Ia mengatakan, efek itu lebih mudah diukur ketimbang perubahan orbitnya mengitari Matahari. Sebab, menurut Rhorom, jika mengukur perubahan orbit asteroid mengitari Matahari butuh bertahun-tahun melihat efek pembelokan akibat tabrakan DART yang ukurannya relatif kecil.

"Jadi, kalau ditanya efektivitasnya (saat ini) dalam menghalau asteroid yang akan masuk ke Bumi, maka jawabannya masih amat rendah. Namun, DART menjadi uji coba teknologi yang akan melindungi Bumi di masa depan," Rhorom menjelaskan.

Oleh sebab itu, sambungnya, DART dapat menjadi metode untuk menghalau asteroid yang dapat membawa malapetaka bagi Bumi di masa depan. Terlebih, ada potensi asteroid yang membahayakan Bumi.

Rhorom menuturkan, apabila melihat sejarah, asteroid memang bisa memiliki dampak yang membahayakan bagi Bumi. Ia mencontohkan, dinosaurus yang punah karena malapetaka akibat kejatuhan asteroid.

"Belakang ini ada kejadian dashyat di Chelyabinski atau Tungushka (Rusia). Ledakan meteor di Bone, Bali, Lampung juga terbilang ekor dari fenomena benda jatuh antariksa," tuturnya melanjutkan.

Untuk itu, asteroid yang menghantam Bumi merupakan suatu keniscayaan. Namun hal itu memang tidak terjadi dalam waktu dekat.

"Kejadian yang memusnahkan dinosaurus adalah kejadian jutaan tahun sekali. Kejadian yang lebih ringan tentu lebih sering dan upaya NASA (disusul ESA) merupakan upaya planetary defense," ujarnya menutup perbincangan.

Misi DART akan mengirimkan pesawat antariksanya menuju dua asteroid bernama Didymos dan Dimorphos. Yang lebih kecil dari keduanya. Dimorphos, akan terkena roket seukuran kereta golf yang bergerak dengan kecepatan 15.000 mil per jam.

Tetapi jika Anda berharap melihat asteroid itu tertabrak dalam waktu dekat, maka harus perlu lebih bersabar. Pesawat ruang angkasa NASA diperkirakan akan menyerang Dimorphos pada musim gugur 2022. 

Organisasi antariksa global mengikuti upaya NASA untuk mencari cara paling efektif untuk mencegah asteroid yang berpotensi menimbulkan bencana menghantam bumi. The European Space Agency akan mengirim misi sendiri di 2024 untuk mengamati kawah pada Dimorphos dari DART. 

Para ilmuwan baru mengidentifikasi sekitar 40% objek kecil di ruang angkasa, termasuk asteroid, yang berpotensi menghancurkan sebuah kota. NASA berencana untuk terus mencari dan mengidentifikasi objek yang dekat dengan Bumi yang mungkin menjadi ancaman. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Gagasan Senjata Nuklir

Ide untuk mengatasi bahaya ini, sebelumnya sudah pernah dibahas. Salah satunya yaitu menggunakan senjata nuklir.

Beberapa ahli sebelumnya mengatakan bahwa perangkat nuklir, jika digunakan dengan cara yang benar bisa menjadi salah satu dari beberapa alat konseptual dalam kotak peralatan pertahanan Bumi.

Untuk setiap asteroid kecil dan jauh yang dapat mengancam Bumi dalam beberapa dekade mendatang, misi seperti DART "memiliki kemungkinan yang cukup bagus untuk menyelesaikan pekerjaannya," kata Brent Barbee, seorang insinyur ruang angkasa di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, demikian dikutip dari New York Times.

"Tetapi jika asteroid lebih besar dari itu, atau jika waktu peringatan lebih pendek dari itu, maka di situlah Anda bisa beralih di luar dari penggunaan perangkat nuklir," kata Barbee.

Para astronom dan pejabat dari berbagai badan antariksa telah mensimulasikan pembelokan asteroid dari Bumi dengan kekuatan ledakan nuklir.

Simulasi penghancuran asteroid lainnya telah menunjukkan bahwa bahan peledak nuklir dapat digunakan untuk memusnahkan beberapa asteroid kecil dengan jarak dua bulan sebelum menabrak, dan ini dianggap mampu menimbulkan sedikit risiko bagi Bumi.

"Ada banyak aspek yang menantang dari misi nuklir dan bagaimana perangkat ini akan berinteraksi dengan asteroid," kata Barbee.

Perjanjian yang melarang penggunaan senjata nuklir, dan Perjanjian Ruang Angkasa soal landasan hukum internasional yang ditandatangani pada 1960-an, melarang penempatan atau penggunaan senjata nuklir.

Itu menunjukkan bahwa penggunaan darurat pesawat ruang angkasa bersenjata nuklir di negara mana pun untuk menangkis asteroid pembunuh akan sama dengan belanggar perjanjian yang ada.

Tapi kesulitan hukum itu bisa diselesaikan dengan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB.

3 dari 5 halaman

Dipertanyakan Para Ahli

Apa yang direncanakan NASA kemudian dipertanyakan para ahli, seperti dikutip dari laman Nature.com.

Peneliti mempertanyakan apakah pesawat NASA ini dapat mengubah lintasannya dari asteroid yang benar-benar berbahaya.

"Kemungkinan sesuatu yang cukup besar dapat menjadi masalah, yang semestinya bisa kita belokan," kata Andy Rivkin, seorang ilmuwan planet di Laboratorium Fisika Terapan Universitas Johns Hopkins (JHU-APL) di Laurel.

Diluncurkan dari California pada 23 November 2021, pesawat ruang angkasa itu disebut Double Asteroid Redirection Test DART1.

Targetnya adalah sepasang asteroid yang bergerak bersama melalui ruang angkasa.

Pada akhir September atau awal Oktober tahun depan, DART diprediksi akan menabrak Dimorphos dengan kecepatan 6,6 kilometer per detik.

Tabrakan itu seharusnya mengecilkan orbit Dimorphos. Dimorphos dinamai menurut bahasa Yunani yang berarti 'memiliki dua bentuk', yang kemudian jadi niat NASA untuk mengubah orbit asteroid tersebut.

Para astronom yang menggunakan teleskop di Bumi akan mengamati Didymos mencari tanda-tanda perubahan orbital itu.

4 dari 5 halaman

Meningkat Sejak Zaman Dinosaurus

Selama 290 juta tahun terakhir, jumlah asteroid yang menabrak Bumi disebut telah meningkat sebanyak tiga kali, menurut sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Science pada Kamis 17 Januari 2019.

Meski terdengar seperti skala waktu yang panjang, itu adalah peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 700 juta tahun sebelumnya. Temuan baru itu, menurut penulis jurnal, mengubah cara ilmuwan dalam meninjau kembali sejarah Bumi.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah mencoba untuk menentukan tingkat dampak asteroid terhadap Bumi. Mereka mempelajari kawah tumbukan di Bumi dan usia bebatuan di sekitar mereka. Tetapi penelitian itu punya masalah terbesar: kawah hasil asteroid jatuh yang paling awal telah hilang.

Sebelum studi itu ada, para ilmuwan percaya bahwa mereka tidak dapat menemukan kawah tumbukan tertua di Bumi karena erosi atau proses geologis lain yang menghapusnya dari permukaan. Dan dibandingkan dengan planet lain di tata surya, Bumi memiliki lebih sedikit kawah tumbukan yang lebih tua dari yang diperkirakan.

Jadi mereka memutuskan untuk mempelajari Bulan sebagai gantinya, analogi yang sempurna untuk Bumi, karena keduanya terkena dampak yang sama dari waktu ke waktu. Kawah juga lebih terawetkan di Bulan karena tidak mengalami proses gangguan yang sama seperti Bumi.

"Satu-satunya kendala untuk melakukan ini adalah menemukan cara yang akurat untuk melakukan penanggalan kawah besar di Bulan," William Bottke, rekan penulis studi dan pakar asteroid di Southwest Research Institute.

Lunar Reconnaissance Orbiter NASA, yang memulai misinya mengelilingi Bulan satu dekade lalu, mengumpulkan data dan gambar termal yang dapat digunakan oleh para peneliti.

Data termal menunjukkan berapa banyak panas yang terpancar dari permukaan Bulan. Batuan yang lebih besar mengeluarkan lebih banyak panas daripada regolith, atau tanah halus di permukaan.

Rebecca Ghent, rekan penulis studi dan ilmuwan planet di University of Toronto, menentukan tingkat di mana batu terurai menjadi tanah. Dia juga menemukan bahwa kawah yang lebih tua ditutupi oleh lebih sedikit batu dan kerikil daripada kawah yang lebih muda.

Itu karena, meteorit kecil yang mengenai Bulan membantu untuk menghancurkan bebatuan dari waktu ke waktu.

Apa yang mereka temukan adalah bahwa kawah hasil tabrakan asteroid paling awal di Bumi bukannya hilang, tapi memang tidak ada. Dan mereka juga tidak ada di Bulan.

"Bumi memiliki lebih sedikit kawah berusia tua di daerah yang paling stabil bukan karena erosi, tetapi karena tingkat dampak tabrakannya lebih rendah sebelum 290 juta tahun yang lalu," kata Bottke.

"Bulan seperti kapsul waktu, membantu kita memahami Bumi. Kami menemukan bahwa Bulan memiliki sejarah tabrakan asteroid yang sama, yang berarti jawaban untuk tingkat dampaknya di Bumi ada di depan wajah kita sendiri," ia memungkasi.

5 dari 5 halaman

Infografis Asteroid-Asteroid Pengancam Bumi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.