Sukses

Lonjakan COVID-19 dan Protes Lockdown Soroti Para Penolak Vaksin di Eropa

Dengan infeksi yang melonjak lagi meskipun hampir dua tahun pembatasan, krisis kesehatan semakin mengadu warga negara melawan warga negara – yang divaksinasi dengan yang tidak divaksinasi -- di Eropa.

Liputan6.com, Wina - Akhir tahun ini seharusnya menjadi penanda dimulainya momen perayaan Natal dan Tahun Baru di Eropa, di mana keluarga dan teman-teman sekali lagi bisa merangkul perayaan liburan dan satu sama lain. Sebaliknya, Benua Biru telah menjadi episentrum global pandemi COVID-19 karena kasus melonjak ke tingkat rekor di banyak negara.

Dengan infeksi yang melonjak lagi meskipun hampir dua tahun pembatasan, krisis kesehatan semakin mengadu warga negara melawan warga negara – yang divaksinasi terhadap yang tidak divaksinasi.

Pemerintah yang putus asa untuk melindungi sistem perawatan kesehatan yang terbebani memberlakukan pembatasan bagi yang tidak divaksinasi dengan harapan bahwa hal itu akan menaikkan tingkat suntikan, demikian seperti melansir AP, Minggu (21/11/2021).

Austria pada hari Jumat melangkah lebih jauh, membuat vaksinasi COVID-19 wajib pada 1 Februari.

"Untuk waktu yang lama, mungkin terlalu lama, saya dan yang lainnya berpikir bahwa itu harus mungkin untuk meyakinkan orang-orang di Austria, untuk meyakinkan mereka untuk mendapatkan vaksinasi secara sukarela," kata Kanselir Austria Alexander Schallenberg.

Dia menyebut langkah itu "satu-satunya cara kita untuk keluar dari lingkaran setan gelombang virus ini dan diskusi lockdown untuk selamanya."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Negara Eropa Mulai Mendesak Orang-Orang untuk Segera Divaksin

Sementara Austria sejauh ini berdiri sendiri di Uni Eropa dalam membuat vaksinasi sebagai hal wajib, semakin banyak pemerintah negara Benua Biru untuk melakukan hal serupa.

Mulai Senin, Slovakia melarang orang-orang yang belum divaksinasi dari semua toko dan pusat perbelanjaan non-esensial. Mereka juga tidak akan diizinkan untuk menghadiri acara publik atau pertemuan dan akan diminta untuk melakukan tes COVID-19 dua kali seminggu hanya untuk pergi bekerja.

Slovakia, di mana hanya 45,3% dari 5,5 juta penduduk sepenuhnya divaksinasi, melaporkan rekor 8.342 kasus virus baru pada hari Selasa.

Bukan hanya negara-negara Eropa tengah dan timur yang menderita. Negara-negara kaya di barat juga terpukul keras dan memberlakukan pembatasan pada populasi mereka untuk kesekian kalinya.

Kanselir Jerman Angela Merkel pada Kamis 18 November mengatakan perlu mengambil tindakan. Dengan tingkat vaksinasi 67,5%, negaranya sekarang mempertimbangkan vaksinasi wajib bagi banyak profesional kesehatan.

Yunani juga menargetkan yang tidak divaksinasi. Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis mengumumkan serangkaian pembatasan baru Kamis malam untuk yang tidak divaksinasi, menjauhkan mereka dari tempat-tempat termasuk bar, restoran, bioskop, teater, museum dan pusat kebugaran, bahkan jika mereka telah dites negatif.

 

3 dari 3 halaman

Penolakan Vaksin Memicu Penolakan Luas di Eropa

Pembatasan itu membuat marah Clare Daly, seorang legislator Uni Eropa Irlandia yang merupakan anggota komite kebebasan sipil dan keadilan parlemen Eropa. Dia berpendapat bahwa negara-negara menginjak-injak hak-hak individu.

Bahkan di Irlandia, di mana 75,9% dari populasi sepenuhnya divaksinasi, suara-suara penolakan itu masih cukup bergema.

"Hampir ada semacam ujaran kebencian bagi mereka yang tidak divaksinasi," jelasnya.

Dunia telah memiliki sejarah vaksin wajib di banyak negara untuk penyakit seperti cacar dan polio. Namun meskipun jumlah kematian COVID-19 global melebihi 5 juta, meskipun ada banyak bukti medis bahwa vaksin sangat melindungi terhadap kematian atau penyakit serius dari COVID-19 dan memperlambat penyebaran pandemi, oposisi terhadap vaksinasi tetap kuat di antara bagian-bagian populasi.

Sekitar 10.000 orang, meneriakkan "kebebasan, kebebasan," berkumpul di Praha minggu ini untuk memprotes pembatasan pemerintah Ceko yang diberlakukan pada yang tidak divaksinasi.

Protes di Belanda yang berujung ricuh pada pengujung November 2021, juga sebagian dipicu oleh pembatasan beraktivitas bagi mereka yang belum divaksin, dengan pemerintah mewajibkan semacam bentuk sertifikat bukti vaksinasi sebagai syarat untuk mengakses beberapa fasilitas hiburan publik.

Namun banyak pakar dan epidemiologis menganjurkan dengan sangat agar orang-orang segera divaksin. Argumentasi soal kebebasan diri, yang kerap dilontarkan para kelompok anti-vaksin, tak relevan pada masa pandemi global yang menyerang seluruh lapisan masyarakat, di semua tempat.

"Tidak ada kebebasan individu tunggal yang mutlak," kata Profesor Paul De Grauwe dari London School of Economics. "Kebebasan untuk tidak divaksinasi perlu dibatasi untuk menjamin kebebasan orang lain untuk menikmati kesehatan yang baik," tulisnya untuk think tank Liberal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.