Sukses

Mark Zuckerberg Tegaskan Perubahan Nama Jadi Meta Tak Terkait Facebook Papers

Zuckerberg bantah perubahan nama Facebook menjadi Meta yang dicurigai banyak kritikus sebagai taktik penghindaran.

Liputan6.com, Menlo Park - Facebook Inc resmi berubah nama menjadi Meta. Nama baru itu merupakan rebranding untuk perusahaan induk dari layanan media sosial Facebook, Instagram, dan aplikasi chat WhatsApp.

Mark Zuckerberg yang kini menjadi Founder dan CEO Meta menyatakan, rebranding ke Meta menjadi tanda Facebook yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan media sosial kini telah bergeser jadi perusahaan yang fokus pada metaverse, yang dilihatnya sebagai masa depan internet.

Metaverse diharapkan jadi masa depan baru Facebook, sumber uang baru bagi perusahaan. Perusahaan sudah menggelontorkan setidaknya USD 10 miliar atau setara Rp 141,6 triliun untuk membangun metaverse.

Perubahan nama menjadi Meta diumumkan Zuckerberg pada Jumat (29/10/2021) waktu Jakarta, dalam konferensi tahunan, Connect. Perubahan nama ini sebelumnya merupakan rahasia sejak proyek ini dimulai lebih dari enam bulan lalu. Segelintir karyawan yang terlibat diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan terpisah.

Dilansir The Verge, Jumat, (29/10/2021), Mark Zuckerberg menyadari bahwa rebranding ini mencurigakan. Selama beberapa minggu terakhir, perusahaan telah dilanda rentetan kritik tanpa henti berkat bocornya dokumen internal yang diberikan kepada media oleh mantan karyawan bernama Frances Haugen.

Facebook mungkin adalah perusahaan paling diteliti di dunia saat ini, dan mereknya telah memburuk di mata anak muda. Bagi banyak kritikus, menjauhkan merek perusahaan dan Zuckerberg dari nama Facebook akan dilihat sebagai taktik penghindaran.

Zuckerberg menegaskan, perubahan nama menjadi Meta tidak ada hubungannya dengan kebocoran Facebook Papers.

"Tidak ada hubungannya dengan ini. Meskipun saya pikir beberapa orang mungkin ingin membuat hubungan itu, saya pikir itu hal yang konyol. Jika ada, saya pikir ini bukan lingkungan tempat Anda ingin memperkenalkan merek baru," kata Zuckerberg, kepada The Verge.

Zuckerberg mengaku, dirinya telah memikirkan rebranding perusahaan setelah Facebook membeli Instagram pada 2012 dan WhatsApp pada 2014. Tetapi pada awal 2021, Zuckerberg menyadari ada perubahan yang harus dilakukan.

Pergantian nama menjadi Meta ini sekaligus menjawab kebingungan dan kecanggungan para pengguna tentang merek perusahaan yang sama dengan nama aplikasi media sosial.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Terinspirasi dari Novel Fiksi Ilmiah Tahun 90-an

Untuk membangun metaverse, Zuckerberg setidaknya telah menggelontorkan 10 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 141 triliun. Sangat ambisius untuk visi internet masa depan yang terinspirasi dari novel fiksi ilmiah.

Metaverse memang bukan ide baru, Zuckerberg sendiri yang membawa percakapan ini secara terbuka pada awal tahun 2021. Konsepnya berasal dari Snow Crash, sebuah novel dystopian dari 1990-an. Bercerita situasi dunia nyata yang telah runtuh dan orang-orang melarikan diri untuk sepenuhnya tenggelam dalam dunia virtual.

Sementara Zuckerberg mengakui bahwa kisah ini seperti 'penipuan' (karena melarikan diri dari dunia nyata), Zuckerberg mencoba untuk mengklaim kembali metaverse sebagai ide utopis yang akan membuka ekonomi barang dan jasa virtual yang baru.

Dalam dekade berikutnya, Zuckerberg melihat bahwa kebanyakan orang akan menghabiskan waktu dalam versi internet 3D yang sepenuhnya imersif. Dia mendorong timnya untuk membangun teknologi yang suatu hari nanti bisa membuat Anda muncul di ruang virtual sebagai avatar bertubuh penuh, atau muncul sebagai hologram utuh diri Anda di semua ruang tamu dunia nyata teman Anda yang tinggal di bumi.

 

Penulis: Anastasia Merlinda

3 dari 4 halaman

Tentang Facebook Papers

Facebook dikabarkan tengah menghadapi krisis besar selama 17 tahun eksistensinya. Konsorsium beranggotakan 17 organisasi berita AS menerbitkan serangkaian cerita secara kolektif yang disebut 'The Facebook Papers'.

The Facebook Papers dibuat berdasarkan lebih dari sepuluh ribu halaman dokumen internal perusahaan dan diberikan kepada Congress AS oleh mantan karyawan Facebook Frances Haugen.

Intisari dari The Facebook Papers mengungkap tentang bagaimana perusahaan memilih mendapatkan keuntungan ketimbang memastikan keselamatan dan kepentingan publik.

Dikutip dari CNN, Senin (25/10/2021), salah satu laporannya adalah bagaimana kelompok terkoordinasi di Facebook menabur konflik dan perselisihan. 

Selain itu moderasi konten di beberapa negara yang tidak berbahasa Inggris juga disorot. Ada pula laporan mengenai bagaimana pelaku perdagangan manusia memakai platform Facebook untuk mengeksploitasi orang.

Sebelumnya The Wall Street Journal yang juga bagian dari konsorsium mengungkap Facebook Papers ini mengangkat kekhawatiran mengenai dampak Instagram terhadap gadis remaja. Kepala Keamanan Global Facebook Antigone Davis harus memberikan penjelasan di sidang subkomite Senat AS terkait kasus tersebut.

Sementara, Frances Haugen yang dikenal sebagai whistleblower di kalangan media AS bersaksi di hadapan subkomite Senat. Ia mengatakan, "Produk Facebook membahayakan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi."

Selanjutnya, anggota subkomite meminta CEO Facebook Mark Zuckerberg untuk memberikan penjelasan. Tak cukup Frances Haugen, karyawan Facebook lainnya secara anonim mengajukan keluhan terhadap Facebook ke SEC dengan tudingan mirip Haugen.

Baca selengkapnya...

4 dari 4 halaman

Infografis Film Bertema Masa Depan Bumi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.