Sukses

WHO: Vaksinasi Tidak Cukup Akhiri Pandemi COVID-19

Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kepada DW pada Minggu (24/10) bahwa vaksinasi tidak cukup mengakhiri pandemi COVID-19.

, New York - Negara-negara kaya harus berhenti serakah jika mereka ingin pandemi berakhir, kata Kepala Ilmuwan WHO Dr. Soumya Swaminathan. Berbagi vaksin, alat, dan perawatan adalah satu-satunya cara untuk menghentikan varian baru COVID-19.

Dr Soumya Swaminathan, Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan kepada DW pada Minggu (24/10), bahwa vaksinasi tidak cukup mengakhiri pandemi dan menyerukan kesetaraan vaksin serta berbagi alat medis dengan negara-negara miskin untuk mencegah penyebaran mutasi virus corona yang berkelanjutan.

"Vaksinasi hanyalah salah satu alat. Ini bukan solusi sederhana," katanya demikian dikutip dari DW Indonesia, Senin (25/10/2021).

"Vaksin sangat efektif untuk melindungi dari penyakit parah. Namun, vaksin tidak 100% efektif melawan infeksi."

"Anda masih melihat negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi, masih memiliki tingkat infeksi yang meningkat," jelas Swaminathan.

"Dan semakin tinggi tingkat penularan, bahayanya adalah Anda menghasilkan varian baru, yang kemudian akan kembali dan menginfeksi orang-orang itu, bahkan jika Anda sudah divaksinasi. Benar-benar ada argumen ilmiah yang kuat yang harus dibuat untuk melanjutkan langkah-langkah lain hingga semua orang di seluruh dunia terlindungi."

Swaminathan, yang juga seorang ahli HIV dan TBC, mengatakan virus Corona COVID-19 telah membuat ketidaksetaraan global menjadi sangat terlihat dan menyebabkan apa yang disebutnya "pandemi jalur ganda."

"Ada satu bagian dunia di mana sebagian besar orang sekarang divaksinasi," katanya. "Kehidupan tampaknya kembali normal. Sayangnya, separuh dunia lainnya masih belum memiliki akses ke vaksin. Hanya kurang dari 2% orang di benua Afrika yang telah divaksinasi lengkap dan kehidupan normal masih jauh bagi mereka," katanya.

Swaminathan berpendapat, satu-satunya cara untuk mengakhiri pandemi untuk selamanya adalah dengan negara-negara kaya menunjukkan lebih banyak solidaritas: "(Penanganan pandemi) akan memakan waktu lebih lama kecuali dunia memutuskan untuk bersatu dalam solidaritas dan berbagi alat, vaksin, diagnostik, perawatan yang kita miliki saat ini, sehingga kita dapat menghentikan kematian. Masih ada lebih dari 40.000-45.000 orang meninggal setiap minggu di seluruh dunia karena COVID-19 dan itu harus dihentikan."

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Persiapan Menghadapi Pandemi Berikutnya

Dia meminta komunitas internasional untuk berinvestasi dalam kesiapsiagaan pandemi di masa depan untuk menghindari konsekuensi menghancurkan selama 20 bulan terakhir.

"Dunia perlu kembali memikirkan kesiapsiagaan pandemi," kata Swaminathan, seraya menambahkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh komunitas internasional. "Bagaimana kita benar-benar mempersiapkan diri untuk mencegah pandemi berikutnya? Dan jika itu tidak sepenuhnya mungkin, bagaimana kita mendeteksinya sejak dini? Bagaimana kita menanggapinya?"

Dia juga menunjukkan bahwa rencana pencegahan akan membutuhkan pendanaan dan diatur secara global dengan cara yang memungkinkan data dibagikan ke seluruh dunia.

Seperti yang dikatakan Swaminathan, beberapa negara, seperti Kanada, China, Denmark, dan Portugal, 75% populasinya telah divaksinasi penuh. Sementara kurang dari 5% penduduk di negara-negara lain, seperti Nigeria, Ethiopia, Suriah, dan Afganistan, yang telah divaksinasi dua dosis.

WHO belum menetapkan varian baru sebagai salah satu "perhatian khusus" sejak varian Delta yang sangat menular muncul musim semi lalu. Namun, apa yang disebut varian Delta plus telah membuat khawatir para dokter di Israel dan Jepang.

Sejumlah negara kaya dengan tingkat vaksinasi yang relatif tinggi telah menurunkan pembatasan terkait pandemi, dalam beberapa kasus meskipun jumlah infeksi meningkat, seperti Inggris yang mengabaikan sebagian besar mandat penggunaan masker di ruang publik.

Denmark, di mana 76% populasinya telah divaksinasi penuh, juga membatalkan hampir semua tindakan yang dilakukan untuk mengekang COVID-19.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.