Sukses

Di Balik Keinginan Taliban Bersahabat dengan China

Taliban dinilai tertarik dengan investasi China. Apakah China tertarik?

Kabul - Ada yang berbeda di Kedutaan Besar China di Kabul, Afghanistan. Tak ada pergerakan berarti di kedubes itu meski Taliban telah menguasai Afghanistan. Ini berbeda dari Kedubes AS yang buru-buru melaksanakan evakuasi. 

Pebisnis China di Afghanistan diminta mencari peluang usaha, sementara juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, mengatakan kepada media pemerintah China bahwa negara komunis itu bisa "memainkan peran penting dalam membangun kembali Afghanistan".

"Kami ingin hubungan baik dengan China dan semua negara. Kami berusaha memiliki hubungan ekonomi dan hubungan bersahabat dengan China," ujar Suhail kepada media pemerintah China, CGTN.

Suhail pun memberikan pujian kepada peran China dalam perdamaian di Afghanistan. 

Berdasarkan laporan ABC Australia, Senin (30/8/2021), condongnya Taliban ke investasi China tidaklah mengherankan, sebab saat ini hubungan Taliban dan negara G7 sedang memburuk, bahkan terancam sanksi. 

"Tawaran China ke Taliban tampaknya adalah 'infrastruktur bagi perdamaian'," kata Professor Gu Xuewu, Direktur Pusat Studi Global di University of Bonn di Jerman.

"Memberikan sistem infrastruktur baru bagi Afghanistan mulai dari jalan raya sampai telekomunikasi, mulai dari rumah sakit sampai sekolah, akan memperkuat pengaruh China di sana dan di kawasan."

Namun, pihak China menyorot pentingnya faktor keamanan dalam berinvestasi di Afghanistan. 

"Keamanan di negara sasaran adalah faktor yang penting bagi investasi China di luar negeri," kata Professor Fan Hongda, pakar masalah Timur Tengah di  Shanghai International Studies University.

"Gagal tercapainya situasi stabil di bawah pemerintahan dukungan AS sebelumnya merupakan alasan yang mendasar bagi terbatasnya investasi China di sana."

Tak hanya itu, ada juga prospek di proyek Jalur Sutera alias Belt and Road Initiative (BRI). Bagaimana prospeknya?

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Infografis Taliban-Afghanistan?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Proyek Jalur Sutera

The Belt and Road Initiative (BRI) adalah proyek ambisius yang dilakukan China untuk membangun infrastruktur yang menghubungkan China dengan berbagai kawasan di Asia dan Pasifik.

Dan ini bisa menjadi alternatif bagi keterlibatan China di Afghanistan.

Salah satu proyek utama BRI adalah pembangunan Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) yang saat ini pembangunannya sedang dilakukan di perbatasan Pakistan dan Afghanistan. 

Professor Gu mengatakan sudah ada rencana untuk memperluas CPEC ke Afghanistan.

"China melihat perluasan CPEC ke arah Barat dan ke Afghanistan sebagai cara terbaik untuk mengintegrasikan negeri itu ke dalam bingkai besar BRI," katanya.

Rafaello Pantucci mengatakan tujuan utama pembangunan infrastruktur CPEC adalah membantu komunitas di perbatasan Afghanistan-Pakistan untuk berkembang.

Namun rencana untuk membangun lebih lanjut, termasuk ke Afghanistan, mendapat banyak penentangan 'terutama dari Pakistan', katanya.

"Pakistan khawatir bahwa ini akan mengalihkan investasi China dari Pakistan."

3 dari 4 halaman

Pertambangan?

Antara tahun 2019 dan 2020, nilai ekspor Afghanistan ke China adalah sekitar Rp770 miliar sementara impor dari China  bernilai sekitar Rp1,37 triliun.

Meski perdagangan bilateral masih kecil, investasi langsung China ke Afghanistan meningkat 11 persen di tahun 2020.

Lembaga yang bernama Pusat Pertukaran Ekonomi China, salah satu lembaga berpengaruh di negara tersebut, mengatakan bahwa ini adalah waktu yang paling baik bagi perusahaan China untuk masuk ke Afghanistan. 

Dan bidang pertambangan adalah salah satu industri yang menarik perhatian China di Afghanistan. 

Di tahun 2010, sebuah laporan Amerika Serikat menyebutkan potensi pertambangan Afghanistan bernilai lebih dari 1 triliun dolar Amerika Serikat, sementara menteri pertambangan Afghanistan mengatakan potensinya tiga kali lebih besar dari perkiraan tersebut.

Tetapi Professor Gu Xuewu, Direktur Pusat Studi Global di University of Bonn di Jerman mengatakan bahwa sumber daya alam Afghanistan bukan motif utama investasi Beijing di sana.

"Lebih mahal biaya untuk menggali sumber daya pertambangan di sana dibandingkan di tempat lain," katanya.Raffaello Pantucci, peneliti senior di lembaga pemikir Royal United Services Institute di Inggris mengatakan kepada ABC bahwa perusahaan China tertarik dengan sumber daya alam Afghanistan, tetapi melakukannya bukan hal yang mudah.

"Taliban mungkin tidak memiliki banyak pengalaman terlibat dalam proyek seperti ini," katanya.

"Akan diperlukan pembangunan infrastruktur besar-besaran di medan yang sangat sulit sebelum penggalian bahan tambang itu bisa dilakukan."

4 dari 4 halaman

Investasi China

Menurut Badan Otoritas Informasi dan Statistik Nasional Afghanistan, tiga mitra dagang terbesar Afghanistan adalah Iran, Pakistan dan China. 

Data dari Kementerian Perdagangan China menunjukkan bahwa kontrak yang baru ditandatangani di tahun 2020 oleh perusahaan China di Afghanistan bernilai sekitar Rp 1,5 triliun, tapi hampir semua proyek ini belum dimulai. 

Masalah stabilitas kembali jadi pertanyaan.Setelah mantan wakil presiden Amrullah Saleh mengatakan dia sudah bergabung dengan kelompok perlawanan untuk memerangi rezim yang baru, stabilitas di Afghanistan tampaknya tidak akan tercapai dalam waktu dekat.

"Kecil kemungkinan akan banyak investasi di Afghanistan sampai ada kejelasan mengenai siapa yang berkuasa, bagaimana kekuasaan mereka di negeri itu, dan peluang bagi kembalinya investasi yang ditanamkan," kata Dr Shanahan. 

Rafaello Pantucci mengatakan diperlukan banyak kemajuan di Afghanistan sebelum adanya investasi besar-besaran dari China.

"Meski perusahaan China lebih berani mengambil risiko dibandingkan yang lain, Afghanistan bukan negara yang mudah," katanya.

"Sudah ada bukti tewasnya warga China yang sedang mengerjakan proyek di sana.'

Dalam kesimpulannya, Professor Gu mengatakan "tidak ada investor yang akan menanamkan uang mereka di negara yang dilanda perang antara kekuatan asing dan persaingan internal."

"Uang suka perdamaian, bukan perang."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.