Sukses

Ilmuwan Australia Kembangkan Lemak Buatan Sebagai Makanan, Diklaim Lebih Enak dari Daging

Lemak biasanya ditemukan pada produk hewani, seperti daging-dagingan, tapi kini makin banyak orang yang menjadi vegetarian, atau hanya mengonsumsi produk nabati.

Canberra - Lemak adalah salah satu bagian terpenting dari diet yang sehat dan seimbang, selain juga menambah rasa, tekstur, dan aroma pada makanan.

Lemak biasanya ditemukan pada produk hewani, seperti daging-dagingan, tapi kini makin banyak orang yang menjadi vegetarian, atau hanya mengonsumsi produk nabati.

Karenanya pakar berlomba untuk menciptakan alternatif dari lemak yang sifatnya 'sustainable' atau berkelanjutan.

"Kini semakin banyak bermunculan produk pengganti daging," ujar Ruth Purcell, seorang ilmuwan biologi sintetis Australia.

"Ada burger, sosis, dan daging babi suwir sintetis, namun rasanya masih jauh dari daging sungguhan, apalagi dari sisi rasa, kualitas, serta cara memasaknya."

Menurut Ruth, sosis atau burger yang dibuat dari bahan nabati, rasanya tidak seperti daging, dan tidak memiliki kegurihan yang ditemukan pada daging.

"Seringnya rasanya agak kering dan kurang matang. Ini karena lemak hewaninya tidak ada."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Lemak daging sapi berasal dari mikroorganisme

Ruth merupakan salah satu dari 20 ilmuwan dan insinyur di CSIRO, lembaga nasional untuk bidang penelitian dan sains di Australia.

CSIRO tengah mencari alternatif pembuatan lemak tanpa menggunakan hewan atau tanaman untuk industri makanan nabati.

Di laboratorium Australian National University, tim Ruth meniru ragi dan menggunakan mikroorganisme untuk mendapatkan lemak dari proses fermentasi.

Lemak ini dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki rasa daging, ayam, babi, seafood, dan produk susu.

"Banyak sekali produk yang kita kira hanya didapat dari hewan, seperti lemak sapi atau lainnya, yang sebenarnya berasal dari mikroorganisme," kata Ruth.

"Banyak lemak organisme dalam sapi atau dalam makanannya, yang dimakan oleh sapi kemudian disimpan dalam lemaknya."

Ruth mengatakan banyak orang mengira lemak tersebut adalah bagian dari sapi, padahal berasal dari mikroorganisme.

"Kami mencoba melewati perantaranya [sapi] dan langsung memanfaatkan mikroorganismenya," ujarnya.

Alternatif lemak dari kelapa atau minyak sawit

Untuk menciptakan sensasi mengonsumsi lemak hewani, kelapa dan minyak sawit biasanya ditambahkan ke dalam produk nabati.

"[Tapi] lemak kelapa dan kelapa sawit tidak berperan seperti lemak hewani," kata Ruth.

"Suhu lelehnya tidak sama. Ini berarti keduanya tidak bisa sematang daging ketika dimasak di wajan, dan ada rasanya yang tidak enak."

Kepala Teknisi Biokimia dan Bahan Bergizi, Anna El-Tahchy mengatakan lemak yang mereka buat di laboratorium tidak hanya lebih mirip dengan lemak hewani, tetapi juga bisa menjadi pengganti yang sifatnya ramah lingkungan.

"Tidak mungkin kami dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat dan memberi makan orang banyak dalam waktu 20 tahun hanya dengan mengandalkan kelapa sawit dan minyak kelapa, karena lahan untuk menanamnya tidak cukup lagi," katanya.

Dr Anna mengatakan mereka bisa mendapatkan minyak tanaman di lahan seluas satu hektar hanya dari "satu sel" di laboratorium.

"Teknologi fermentasi itu sendiri memiliki potensi keberlanjutan yang sangat besar," katanya.

 

3 dari 3 halaman

Lebih enak dari daging

Keinginan perusahaan itu untuk "merevolusi rasa dan melestarikan keberlanjutan makanan nabati" tidak hanya mengundang ketertarikan bisnis makanan, tetapi juga menganugerahkan Dr Anna sebuah penghargaan tahunan 'ACM Agrifood Award' dari Australian Academy of Technology and Engineering bulan lalu.

Sementara masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, para ilmuwan makanan sedang mencari cara terbaik untuk menambahkan lemak buatan laboratorium ke dalam makanan nabati, "sehingga terlihat seperti daging berlemak yang biasa kita makan."

"Tidak lama lagi, kita bisa memasukkan ini pada makanan yang dapat dibeli dan dimakan di restoran," kata Ruth.

Menurutnya, penemuan ini juga akan mendorong pencinta daging untuk mulai mengonsumsi lebih banyak makanan nabati.

"Kita bisa membuat makanan yang rasanya sama, malah lebih enak dari daging dari sumber protein alternatif," katanya.

"Ini akan membantu mereka yang peduli lingkungan dan binatang namun tidak bisa melepas daging. Mereka bisa memilih protein alternatif untuk keperluan makanan mereka."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.