Sukses

Menyingkap Misteri Pasien 0 Wabah Maut Hitam

Sebelum COVID-19 kini menyandera dunia, sejumlah wabah pernah terjadi dalam sejarah manusia. Black Death atau 'maut hitam' adalah salah satu yang paling mematikan.

Liputan6.com, Jakarta - Sebelum COVID-19 kini menyandera dunia, sejumlah wabah pernah terjadi dalam sejarah manusia. Black Death atau 'maut hitam' adalah salah satu yang paling mematikan.

Wabah pes (sampar) yang dipicu bakteri Yersinia pestis itu menyebar ke seluruh Eropa antara tahun 1346 dan 1353. Nyawa sepertiga hingga dua pertiga populasi Benua Biru terenggut.

Mengapa disebut Black Death?

Istilah itu dipicu gejala yang timbul di area kulit sebagian besar pasien yang berubah menjadi hitam oleh karena pendarahan dalam tubuh.

Penyebaran wabah tersebut diyakini bermula dari serangga, umumnya kutu, yang terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan pengerat termasuk di antaranya tikus.

Setelah tikus mati, kutu menggigit manusia dan menyebarkannya penyakit ke orang-orang lainnya. Wabah menyebar dari Asia Tengah, lewat Mediterania, ke Eropa, ketika para pelaut mencapai Krimea.

Hingga kini, asal usul Black Death masih jadi perdebatan. Ada yang berteori, pandemi bermula dari Asia Tengah atau Asia Timur. Namun, secara definitif, kemunculan pertamanya terdeteksi di Krimea pada tahun 1347.

Belakangan, para ilmuwan menemukan petunjuk baru soal Black Death atau 'maut hitam'. Yakni, terkait pasien 0 atau korban pertama wabah mematikan itu.

Bukti baru itu ditemukan di Latvia, sebuah negara di kawasan Baltik, Eropa Utara.

Kerangka manusia yang diteliti para ahli adalah milik seorang pria. Ia meninggal dunia 5.300 tahun lalu. Pemicu kematianya adalah infeksi varian (strain) awal dari penyakit yang mewabah itu.

"Setidaknya hingga saat ini, ia adalah korban wabah tertua yang teridentifikasi," kata Dr Ben Krause-Kyora dari University of Kiel, Jerman, seperti dikutip dari BBC.

Korban dikebumikan bersama tiga jasad lainnya di situs pemakaman Neolitik di Latvia, yang letaknya di tepian Sungai Salac yang mengalir hingga Laut Baltik.

Para peneliti melakukan sekuensing DNA tulang dan gigi dari empat kerangka yang ditemukan. Pengujian terkait bakteri dan virus dilakukan.

Hasilnya mengejutkan para ilmuwan. Salah satu kerangka, milik pemuda 20-an tahun, diketahui terinfeksi varian kuno wabah pes. Pria itu diduga bermatapencaharian berburu dan meramu.

"Ia kemungkinan digigit hewan pengerat, terinfeksi Yersinia pestis, dan meninggal beberapa hari kemudian, mungkin sekitar seminggu akibat syok septik," kata Dr Krause-Kyora dalam laporan riset yang dipublikasikan di jurnal Cell Reports.

Syok septik adalah kondisi mengancam jiwa yang disebabkan oleh infeksi lokal maupun seluruh sistem parah dan segera memerlukan bantuan medis.

Para peneliti menemukan indikasi, varian kuno itu muncul sekitar 7.000 tahun lalu kala pertanian mulai dikembangkan di bagian tengah Eropa.

Bakteri itu diduga melompat secara sporadis, dari hewan ke manusia. Awalnya, hal tersebut terjadi tanpa memicu wabah.

Seiring waktu, varian bakteri itu beradaptasi dan kian menginfeksi manusia, dan akhirnya berkembang dalam bentuk wabah bubonik yang disebarkan oleh kutu. Pagebluk pun mengamuk di segala penjuru Eropa pada Abad Pertengahan, memicu jutaan kematian.

Sementara itu, pencarian pasien 0 atau patient zero COVID-19 masih dilakukan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, siapa gerangan dia, mungkin tak akan pernah diketahui.

"Kita mungkin tidak akan pernah menemukan siapa pasien 0," kata Maria Van Kerkhove, pemimpin teknis di WHO ketika melakukan investigasi COVID-19 di Wuhan, China pada Januari 2021 lalu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hoaks, Spekulasi, dan Mitos Black Death

Awalnya, wabah pes mematikan itu disebut 'Great Mortality' atau 'Great Plague'. Istilah 'Black Death' dicetuskan pada 1350 oleh astronom Belgia, Simon de Covino.

Ia menggunakan kata tersebut dalam puisinya 'On the Judgement of the Sun at a Feast of Saturn'.

Ilustrasi wabah maut hitam atau Black Death (Wikipedia)

 

Serupa dengan hoaks yang menyebar di tengah pandemi COVID-19, wabah maut hitam juga diwarnai banyak kabar dusta, spekulasi, juga mitos.

Hal itu dipicu ketidaktahuan. Para dokter pada tahun 1300-an sama sekali tak tahu apa gerangan penyebab wabah.

Akibatnya, spekulasi dan takhayul muncul tak terhitung banyaknya.

Sejumlah orang Eropa menuding sekelompok orang seperti kaum Yahudi, pengemis, penderita lepra, dan bahkan biarawan sebagai biang keladi.

Lainnya menuding hewan. Yang paling terkenal adalah terkait kucing pembawa kutukan dan kaitan binatang karnivora itu dengan setan.

Dampaknya, sejumlah kucing dibantai. Itu tindakan fatal yang justru membuat wabah kian gawat. Sebab, tikus ikut andil dalam penyebaran Black Death.

Sebab, tanpa kucing yang jadi predatornya, populasi tikus-tikus menggila. Hewan pengerat itu beranak pinak tak terkendali.

Orang-orang Eropa terus membantai kucing selama 300 tahun. Mereka sangat rentan pada wabah, ketika pagebluk itu kembali menyerang pada tahun 1600-an.

Penyakit tersebut hanya menghilang selama musim dingin, saat sebagian besar kutu tak aktif.

Namun, setiap musim semi, ia bangkit kembali dan merenggut korban baru.

3 dari 3 halaman

Apa itu Pasien 0?

Istilah 'Patient Zero' alias 'pasien 0' merujuk pada individu yang diidentifikasi sebagai pembawa (carrier) pertama terkait wabah yang sedang terjadi.

Kemajuan dalam analisis genetik saat ini memungkinkan para ahli melacak asal-usul virus melalui orang-orang yang telah terinfeksi.

Dikombinasikan dengan studi epidemiologi, para ilmuwan, juga bisa menentukan individu-individu yang mungkin merupakan orang pertama yang mulai menyebarkan sebuah penyakit dan memicu wabah.

Misalnya dalam kasus wabah Ebola pada tahun 2014 hingga 2016 di Afrika Barat.

 

Penanganan wabah Ebola di Republik Demokratik Kongo (AFP/Jiji)

Wabah tersebut adalah yang terbesar sejak virus pertama kali ditemukan pada tahun 1976, menewaskan lebih dari 11.000 orang dan menginfeksi lebih dari 28.000 lainnya di 10 negara, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Selain negara-negara Afrika, kasus positif Ebola juga dilaporkan di Amerika Serikat, Spanyol, Inggris dan Italia.

Para ilmuwan menyimpulkan, wabah strain atau jenis Ebola baru tersebut berawal dari satu individu: seorang bocah lelaki berusia 2 tahun dari Guinea. Ia diduga terinfeksi virus setelah bermain di pohon berlubang yang menjadi sarang koloni kelelawar.

Sebelum menerbitkan hasil temuannya, para ilmuwan melakukan pelacakan yang membawa mereka ke desa di mana bocah itu tinggal di Meliandou, mengambil sampel, dan mewawancarai penduduk setempat untuk menemukan sumber penularan penyakit.

Namun, Patient Zero yang paling terkenal adalah Mary Mallon, yang mendapat julukan 'Typhoid Mary' karena dilaporkan menyebabkan wabah demam tifoid di New York pada tahun 1906.

Berasal dari Irlandia, Mallon beremigrasi ke AS, di mana ia kemudian menjadi juru masak di sejumlah keluarga tajir di Kota Big Apple.

Kemudian, kasus tipes atau tifus dilaporkan terjadi di kalangan keluarga kaya di New York. Para dokter kemudian melakukan pelacakan dan menemukan Mallon sebagai sumbernya.

Dilaporkan bahwa di mana pun perempuan itu bekerja, anggota keluarga sang majikan mulai menunjukkan gejala demam tifoid.

Para ahli menyebut Mallon sebagai 'healthy carrier' atau individu yang terinfeksi oleh suatu penyakit tetapi menunjukkan sedikit atau tidak sama sekali gejalanya.

Dan ada bukti-bukti yang terus menguatkan bahwa sejumlah orang 'lebih efisien' di banding yang lain dalam hal menyebarkan virus tertentu. Mallon adalah salah satu kasus paling awal yang tercatat sebagai individu yang memiliki kemampuan tersebut, yang dikenal sebagai super-spreader atau penyebar super.

Seperti dikutip dari BBC, mengidentifikasi Patient Zero dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tentang bagaimana, kapan dan mengapa wabah bermula.

Hal tersebut juga kemudian dapat membantu mencegah lebih banyak orang terinfeksi saat ini atau dalam potensi wabah lainnya di masa depan.

 

(Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.