Sukses

Resesi Seks di China, Banyak Wanita Mulai Enggan Punya Bayi

Seorang wanita di China bernama Lili menceritakan alasannya tak ingin memiliki anak.

Liputan6.com, Beijing - Sensus penduduk satu dekade terakhir menunjukkan bahwa kelahiran di China telah turun ke level terendah sejak 1960-an. Telah terjadi resesi seks.

Hal ini lantas mengarah pada seruan diakhirinya kebijakan pengendalian kelahiran. Tetapi beberapa orang di China mengatakan kebijakan ini bukan satu-satunya hal yang menghentikan mereka untuk memiliki anak.

Contohnya warga Beijing bernama Lili. Ia tidak berencana untuk memiliki anak dalam waktu dekat, demikian dikutip dari laman BBC, Selasa (25/5/2021).

Wanita berusia 31 tahun yang telah menikah selama dua tahun ini ingin menjalani hidup tanpa kekhawatiran terus-menerus, terutama dalam membesarkan anak.

"Saya memiliki sangat sedikit teman yang memiliki anak, dan jika demikian, mereka terobsesi untuk mendapatkan pengasuh terbaik atau mendaftarkan anak di sekolah terbaik. Kedengarannya melelahkan."

Lili berbicara kepada BBC dengan syarat anonim, mencatat bahwa ibunya akan hancur jika dia tahu bagaimana perasaan putrinya.

Namun perbedaan pendapat antar generasi ini mencerminkan perubahan sikap banyak anak muda Tionghoa perkotaan terhadap urusan persalinan pendahulunya yang juga tinggal di China.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Data Berbicara

Sensus China, yang dirilis awal bulan ini, menunjukkan bahwa sekitar 12 juta bayi lahir tahun lalu, menujukkan ada penurunan yang signifikan dari 18 juta pada 2016, dan jumlah kelahiran terendah yang tercatat sejak 1960-an.

Sementara populasi secara keseluruhan tumbuh, bergerak paling lambat dalam beberapa dekade, menambah kekhawatiran bahwa China mungkin menghadapi penurunan populasi lebih cepat dari yang diharapkan.

Populasi yang menyusut bermasalah karena struktur usia terbalik, dengan lebih banyak orang tua daripada muda.

Jika itu terjadi, tidak akan ada cukup pekerja di masa depan untuk mendukung para lansia, dan mungkin ada peningkatan permintaan akan kesehatan dan perawatan sosial.

Ning Jizhe, kepala Biro Statistik Nasional, mengatakan pada presentasi pemerintah bahwa tingkat kesuburan yang lebih rendah adalah hasil alami dari perkembangan sosial dan ekonomi China.

Seiring dengan semakin berkembangnya negara, angka kelahiran cenderung turun karena pendidikan atau prioritas lain seperti karier.

Negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan, misalnya, juga mengalami penurunan angka kelahiran ke rekor terendah dalam beberapa tahun terakhir meskipun berbagai insentif pemerintah bagi pasangan untuk memiliki lebih banyak anak telah diberikan.

 

3 dari 4 halaman

Ketidakseimbangan Gender yang Parah

Tetapi para ahli mengatakan, situasi China dapat diperburuk secara unik mengingat banyaknya pria yang pada awalnya merasa sulit untuk menemukan istri, apalagi memikirkan untuk memulai sebuah keluarga.

Bagaimanapun, ada ketidakseimbangan gender yang parah di negara itu. Tahun lalu, ada 34,9 juta lebih banyak laki-laki daripada perempuan.

Ini adalah efek samping dari kebijakan satu anak yang ketat di negara itu, yang diperkenalkan pada 1979 untuk memperlambat pertumbuhan penduduk.

Dalam budaya yang secara historis lebih menyukai anak laki-laki daripada perempuan, kebijakan tersebut menyebabkan aborsi paksa.

"Ini menimbulkan masalah bagi pasar pernikahan, terutama bagi pria dengan sumber daya sosial ekonomi yang kurang," kata Dr Mu Zheng, dari departemen sosiologi Universitas Nasional Singapura.

Pada 2016, pemerintah mengakhiri kebijakan tersebut dan mengizinkan pasangan memiliki dua anak.

Namun, reformasi telah gagal untuk membalikkan angka kelahiran yang menurun meskipun terjadi peningkatan dua tahun setelahnya.

 

4 dari 4 halaman

Hangat di Media Sosial

Para ahli mengatakan, itu juga karena pelonggaran kebijakan tidak disertai dengan perubahan lain yang mendukung kehidupan keluarga seperti dukungan keuangan untuk pendidikan atau akses ke fasilitas penitipan anak.

Banyak orang tidak mampu membesarkan anak-anak di tengah meningkatnya biaya hidup, kata mereka.

"Keengganan orang untuk memiliki anak tidak terletak pada proses melahirkan anak, tetapi apa yang terjadi setelahnya," kata Dr Mu.

Dia menambahkan bahwa gagasan tentang apa yang membuat seseorang sukses juga telah berubah di China, setidaknya bagi mereka yang tinggal di kota besar.

Tidak lagi ditentukan oleh penanda tradisional dalam kehidupan seperti menikah dan memiliki anak - melainkan tentang pertumbuhan pribadi.

China secara teori memiliki 14 hari cuti untuk ayah, tidak biasa bagi pria untuk mengambilnya dan bahkan lebih jarang bagi mereka menjadi ayah secara "full time."

Ketakutan seperti ini dapat menyebabkan wanita tidak ingin memiliki anak jika mereka merasa hal itu dapat mengurangi prospek karier mereka, kata Dr Mu.

Di media sosial China, masalah ini menjadi topik hangat, dengan tagar "mengapa generasi muda tidak mau punya bayi" dibaca lebih dari 440 juta kali di platform microblogging Weibo.

"Kenyataannya adalah tidak banyak pekerjaan bagus di luar sana untuk wanita, dan wanita yang memiliki pekerjaan bagus ingin melakukan apa pun untuk mempertahankan kehidupan pribadi mereka. Siapa yang berani punya anak dalam situasi ini?" satu orang bertanya.

Sementara beberapa kota telah memperpanjang tunjangan cuti melahirkan dalam beberapa tahun terakhir, memberi perempuan pilihan untuk mengajukan cuti melebihi standar 98 hari, orang mengatakan itu hanya berkontribusi pada diskriminasi gender di tempat kerja.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.