Sukses

OPINI: Menebak Kebijakan Joe Biden Terhadap China dan Konsekuensinya

Pada 25 Maret 2021 lalu, seluruh calon menteri dan pejabat setingkat Menteri yang diajukan Presiden AS Joe Biden sudah mendapat persetujuan Senat.

Oleh Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat

Liputan6.com - Pada 25 Maret 2021 lalu, seluruh calon menteri dan pejabat setingkat Menteri yang diajukan Presiden AS Joe Biden sudah mendapat persetujuan Senat. Ini merupakan hal yang luar biasa untuk presiden AS yang partainya hanya menguasai 50% kursi Senat. Presiden Barack Obama periode pertama dan Presiden Donald Trump yang pada saat dilantik masing-masing disokong oleh 57 dan 52 Senator, baru melengkapi kabinetnya pada bulan Mei.

Konfirmasi Direktur United States Trade Representative (USTR) Katherine Tai mungkin yang paling mencengangkan karena didukung oleh 100% anggota Senat dari kedua partai yang hadir dalam voting konfirmasi.

Menurut wartawan Reuters, David Lawder, dukungan mutlak terhadap Direktur USTR keturunan Taiwan ini "mencerminkan dukungan dari kalangan Partai Demokrat yang pro-pekerja, pendukung Partai Republik tradisional pendukung pasar-bebas serta kelompok garis-keras anti-China di kedua partai."

Pengangkatan Katherine Tai yang terkenal kritis terhadap China seakan menjadi jawaban terhadap opini publik yang meragukan ketegasan Biden terhadap China. Menurut survei Pew Research Center Februari 2021, hanya 53% publik AS dan 19% pemilih Partai Republik yang yakin dengan kemampuan Biden dalam menangani China.

Kebijakan Anti-China, Warisan Trump yang Sangat Mengakar

Memang, sikap keras tarhadap China menjadi salah satu trademark Trump, bahkan jauh sebelum Trump mengutarakan minat menjadi presiden AS. "China bukan sekutu ataupun teman — mereka ingin mengalahkan kita dan menguasai negeri kita," ujar Trump dalam cuitan Twitter pada pada 21 Septermber 2011, seperti didokumentasikan China Briefing.

Pada 2 Mei 2016 dalam ajang kampanye untuk memenangkan nominasi capres Partai Republik, Trump juga mengutarakan sikap kerasnya terhadap China, "Kita tidak bisa terus membiarkan China memperkosa negara kita dan itulah yang mereka lakukan. Itu adalah pencurian terbesar dalam sejarah dunia."

Sebelumnya, Survei Gallup mengungkapkan, mayoritas (52%) masyarakat Amerika Serikat memiliki sikap antipati (unfavorable) mengenai China. Fakta ini membuat China menjadi salah satu isu sentral dalam kampanye Trump.

Menurut analisa The New York Times, Trump dalam hampir setiap kampanyenya kerap menuding kesepakatan dagang yang dibuat pemerintah AS dengan China selalu merugikan para pekerja AS. Dalam satu kampanyenya di Pennsylvania, Trump bahkan mengumbar janji akan melabeli China dengan sebutan “currency manipulator” dan menghukum China dengan tarif tinggi untuk komoditas eskpor mereka ke AS.

Ancaman Trump ternyata tidak main-main. Perang dagang pun AS-China benar-benar menjadi kenyataan. Menurut catatan China Briefing, Dalam rentang waktu Juli 2018 hingga Agustus 2020, AS menerapkan tarif tinggi untuk barang impor dari China senilai US$550 miliar atau setara Rp 7.263,4 triliun.

Perang dagang tersebut lebih dari sekadar kenaikan tarif bagi komoditas perdagangan konvensional, tapi juga berbagai pembatasan di sektor teknologi melalui Entity List--daftar hitam perusahaan atau individu yang dilarang menggunakan teknologi AS tanpa persetujuan pemerintah AS.

Menurut media China, Global Times, jumlah entitas China yang masuk dalam Entity List hingga Juli 2020 mencapai 260 entitas, yang mencakup 139 perusahaan dan sisanya perseorangan. Angka terbaru kemungkinan lebih tinggi lagi karena menurut catatan firma hukum global, Gibson Dunn, sepanjang tahun 2020 hingga bulan Oktober saja 72 perusahaan China masuk menjadi ‘anggota baru’ Entity List.

Tidak hanya itu, sepanjang 2020 pemerintahan Trump melakukan paling tidak 210 tindakan terhadap China yang melibatkan 10 kementerian, menurut Axios. Kongres AS juga tengah menggodok 300 rancangan undang-undang yang berkaitan dengan China, seperti dilansir Bain & Company.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Memudarnya Harapan Perang Dagang AS-China Akan Berakhir

Pergantian kekuasaan di AS dari Trump ke Biden yang sempat memunculkan harapan banyak pihak bahwa perang dagang AS-China akan segera berakhir, diprediksi tidak akan membuat banyak perubahan.

"Jika Anda mengharapkan akan terjadi semacam ‘reset’ antara Beijing dan Washington Ketika pemerintahan Biden mengambil alih, Anda akan kecewa," kata Linette Lopez, Senior Finance Correspondent, Busines Insider. Lopez berkeyakinan, kebijakan AS terhadap China di bawah komando Biden akan setegas pemerintahan Trump dan lebih efektif.

Sebagai presiden ultra-kanan yang menjadikan China sebagai isu sentral Trump memang mewujudkan janjinya melalui perang dagang yang memiliki konsekuensi luas. Tapi kebijakan luar negeri yang cenderung unilateral, membuat China policy yang dijalankannya kerap tidak efektif.

Sebaliknya, Biden adalah presiden moderat yang sejak kampanye berjanji akan mengedepankan strategi ketimbang retorika terhadap China, serta merangkul Eropa sebagai sekutu tradisional AS dalam kebijakan luar negerinya.

Pengangkatan Katherine Tai, pejabat senior yang ketegasannya terhadap China diakui oleh para politisi AS dari kedua partai, menjadi indikator pertama bahwa kebijakan Biden terhadap China tidak akan jauh beda dengan Trump.

Saat dengar pendapat dengan Senate Finance Committee sebelum voting konfirmasi, calon Direktur USTR ini berjanji pertama-tama akan menuntut komitmen China untuk memenuhi semua janjinya dalam Kesepakatan Dagang Fase 1 yang ditandatangani pada Januari 2020. Menurut data lembaga riset The Peterson Institute for International Economics (PIIE), misalnya, China baru memenuhi 60% dari komitmen impor komoditas AS dalam Kesepakatan Fase 1.

Indikator kedua adalah pernyataan Menteri Luar Negeri Anthony Blinken dalam pertemuan pejabat tinggi AS-China di Anchorage, Alaska, yang berubah menjadi ajang perdebatan sengit. Dalam pidato sambutannya Blinken antara lain mengatakan:

"Kita juga akan membicarakan concern mendalam terkait tindakan-tindakan China, termasuk di Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, serangan cyber terhadap Amerika Serikat dan tekanan (coercion) ekonomi terhadap sekutu-sekutu kami. Setiap tindakan ini mengancam keteraturan berlandaskan hukum yang menjaga stabilitas global. Jadi, semua ini bukan hanya persoalan internal [AS] dan kami merasa punya kewajiban untuk menangkat persoalan-persoalan tersebut di sini, pada hari ini."

Blinken juga menegaskan wujud hubungan AS-China akan sangat complicated: "I said that the United States' relationship with China will be competitive where it should be, collaborative where it can be, adversarial where it must be."

Pidato Blinken yang pedas mendapat reaksi yang tidak kalah kerasnya dari Direktur Kantor Komisi Sentral untuk Urusan Luar Negeri, Yang Jiechi. Melalui penerjemah Yang mengatakan:

"Perlu saya sampaikan di sini, di depan delegasi China, bahwa Amerika Serika tidak memiliki kualifikasi untuk mengatakan yang ingin dikatakannya kepada China dari dari posisi sebagai pihak yang punya kekuatan. Delegasi AS bahkan bahkan tidak memiliki kualifikasi untuk mengatakan hal tersebut 20 atau 30 tahun lalu karena bukan begitu cara berunding dengan rakyat China. Jika Amerika Serikat ingin berunding secara layak dengan China, mari kita ikuti protokol yang seharusnya dan melakukan semuanya dengan cara yang benar."

Jadi alih-alih menemukan titik temu, pertemuan pertama delegasi AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Anthony Blinken dan Penasehat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dengan delegasi China yang dipimpin Direktur Kantor Komisi Sentral untuk Urusan Luar Negeri, Yang Jiechi, dan Menteri Luar Naeeri, Wang Yi, justru menimbulkan ketegangan baru.

Apalagi beberapa hari sebelum pertemuan Alaska tersebut AS memberikan sanksi terhadap 24 pejabat China dan Hong Kong terkait penerapan undang-undang keamanan nasional baru di Hong Kong yang mengundang protes besar-besaran di Hong Kong dan menuai kecaman dari AS dan negara-negara barat lainnya.

Biden Akan ‘Berselacar’ di Atas Opini Publik yang Bersifat Bipartisan

Jika ingin menebak kebijakan luar negari AS terhadap China, pendekatan Biden dalam menggolkan undang-undang Paket Stimulus COVID-19 atau American Rescue Plan (ARP) bisa menjadi acuan: ikuti kemauan publik.

Biden menandatangai RUU paket stimulus COVID-19 bernilai US$1,9 triliun pada 11 Maret 2021 tanpa didukung oleh satupun politisi Partai Republik di DPR maupun Senat. Padahal, dalam kampanye dan debat politik sebelum pilpres Biden berjanji akan menerapkan kebijakan yang bersifat bipartisan alias didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Republik.

Biden mengklaim paket stimulus ekonomi bisa gol karena "dukungaan bipartisan yang luas dari rakyat AS.” Memang, menurut survei Pew Research Center yang dirilis 9 Maret 2021, 70% rakyat AS mendukung paket stimulus tersebut, termasuk 41% pendukung atau mereka yang condong ke Partai Republik. Hasil survei dari sejumlah lembaga survei lain juga menunjukkan tingkat dukungan publik yang kurang lebih sama.

Terkait sikap masyarakat AS terhadap China, survei Pew Research Center terbaru menunjukkan, mayoritas pendukung Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama memiliki persepsi negatif terhadap negeri tirai bambu ini.

Survei Pew yang dirilis 4 Maret 2021 tersebut mengungkapkan, 89% rakyat AS dewasa menganganggap China sebagai pesaing atau musuh. Mayoritas pendukung Partai Demokrat (61%) dan mayoritas pendukung Partai Republik (79%) memiliki perasaan ‘dingin’—atau memiliki perasaan antipati--terhadap China, naik dari hanya 38% pendukung Partai Demokrat dan 57% pendukung Partai Republik pada 2018. Selain itu, hampir separuh (48%) rakyat AS dewasa mengatakan, upaya membatasi kekuatan dan pengaruh China harus menjadi prioritas.

Sementara itu, survei Gallup bertajuk “New High in Perceptions of China as U.S.'s Greatest Enemy” yang dirilis pada 16 Maret 2021 mengungkapkan fakta yan tidak kalah mencengangkan. Menurut survei tersebut, China saat ini dianggap sebagai musuh terbesar AS. Padahal setahun sebelumnya, Rusia lah yang menyandang status sebagai “US’ Greatest Enemy”. Lebih dari itu, 63% masyarakat AS meyakini kekuatan ekonomi China adalah ancaman bagi kepentingan vital AS dalam 10 tahun ke depan.

Tingginya persepsi negatif mengenai China yang besifat ‘bipartisan’ di kalangan masyarakat AS tentunya akan menjadi pertimbangan penting bagi Biden yang sudah mengungkapkan akan mencalonkan diri lagi pada pilpres 2024 di usia 81 tahun.

Apalagi Partai Republik tengah gencar-gencarnya melakukan upaya membatasi partisipasi pemilih Partai Demokrat di Georgia dan negara-negara bagian dengan State legislature (DPRD dan State Senate) mayoritas Partai Republik, sehingga Biden harus memperluas dukungan di luar ‘koalisi pelangi’ pemilih tradisional Partai Demokrat yakni pemilih kulit putih liberal, non-kulit putih (kulit hitam, Hispanik, Asia) dan kaum perempuan.

Menurut analisa pollster kawakan, Stanley Greenberg, di Politico Magazine, ada satu voting block atau kelompok pemilih bisa menjadi andalan Biden. Greenberg menyebutnya sebagai Biden Republicans. Mereka adalah kelompok kulit putih dari kalangan menengah atas berpendidikan yang tinggal di suburban dan mendukung kemajemukan. Mereka terdaftar sebagai pemilih Partai Republik, tapi memilih Biden dan anggota DPR/Senat Partai Demokrat pada pemilu 2020 lalu.

Menurut Greenberg, retorika ‘America First’ yang menjadi andalan Trump untuk memobilisasi dukungan massa Partai Republik tidak serta-merta ditinggalkan Biden, tapi diadopsi sebagai bagian dari platform ‘build back better’ yang diusungnya. Ini berarti semua kebijakan Trump yang mengedepankan kepentingan masyarakat AS, termasuk dengan cara menekan China, tidak akan berakhir begitu saja.

Kalimat yang tertuang dalam Fact Sheet The American Jobs Plan 31 Maret: “The American Jobs Plan is an investment in America that will create millions of good jobs, rebuild our country’s infrastructure, and position the United States to out-compete China,” memberi sinyal kuat bahwa sikap keras AS terhadap China tidak akan mengendor di era Biden.

Seperti diyakini wartawan Business insider Linette Lopez, kebijakan Biden terhadap China akan setegas pemerintahan Trump dan lebih efektif karena akan melibatkan sekutu-sekutu tradisionalnya, tidak secara multilateral seperti di era Trump.

 

3 dari 3 halaman

Konsekuensi Global dan Sikap Indonesia

Sejak Donald Trump memulai perang dagang dengan China, para pengamat memprediksi akan terjadinya fenomena yang disebut sebagai ‘decoupling,’ yang digambarkan The Guardian sebagai “kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan ekonomi AS dengan China.” Fenomena ini akan mengakhiri hubungan ekonomi erat China-AS yang sudah terjalin selama 40 tahun.

Menurut chief foreign affairs commentator Financial Times, Gideon Rachman, proses decoupling yang sudah berlangsung di ranah teknologi [seperti blokade Google, Facebook dan Twitter di China dan pelarangan TikTok dan WeChat serta Entity List di AS] akan meluas ke sektor keuangan. Sektor-sektor lain tentunya akan terpengaruh. Dampaknya juga akan dirasakan oleh berbagai industri dari manufaktur hingga consumer goods, termasuk oleh perusahaan-perusahaan mutinasional yang berasal dari luar AS dan China.

Parahnya, para politisi AS kini tidak terlalu menghiraukan kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan yang terjebak di dalamnya. “Saat ini ada konsensus bipartisan di Washington untuk bersikap tegas terhadap China, meskipun hal ini berdampak buruk terhadap keuntungan korporasi,” kata Rachman.

Tidak bisa dipungkiri, Indonesia pun akan sangat terdampak oleh decoupling AS-China, jika benar-benar terjadi. Namun politik luar negeri ‘bebas aktif’ Indonesia yang menurut penjelasan UU No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungna Luar Negeri berarti “politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan” membuat Indonesia tidak harus berpihak kepada salah satu kekuataan besar yang keduanya memiliki kepentingan dan sudah berakar kuat di negeri ini.

Bahkan dengan politik bebas aktif Indonesia bisa bermanuver di antara dua superpower ekonomi global tersebut dengan berpegang pada prinsip investasi klasik: “Don’t put all your eggs on one basket.”

Indonesia-- dengan berbagai kekurangannya --sudah menjadi kekuatan ekonomi baru yang sudah ‘too big too fail.’ Jadi upaya untuk membawa Indonesia pada satu kubu tertentu sama artinya dengan menafikan arti penting negara ini di tingkat kawasan maupun global.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.