Sukses

Unjuk Rasa Pro Demokrasi di Myanmar Gelorakan Kembali Protes Warga Thailand

Aksi demo yang terjadi di Myanmar memunculkan kembali keinginan warga Thailand yang pro demokrasi.

Liputan6.com, Bangkok - Para pengunjuk rasa pro-demokrasi Thailand kembali turun ke jalan-jalan di Bangkok pada Rabu (10/2).

Aksi mereka ini dijuluki sebagai unjuk rasa "panci dan wajan" yang menggelora, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (12/2).

Mereka menentang penangkapan para pemimpin mereka dan sebagai aksi solidaritas dengan protes massa menentang kudeta militer di Myanmar.

Protes di Myanmar setelah kudeta militer 1 Februari dimulai dengan tindakan pembangkangan sipil, termasuk pemukulan panci dan wajan, untuk mengusir "kejahatan" -- sebuah kebiasaan yang sekarang berlangsung setiap malam yang menarget tentara yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.

Thailand dan Myanmar berbagi perbatasan yang panjang dan mudah dilintasi, sementara ratusan ribu migran Myanmar mengirim uang ke kampung halaman dari hasil kerja mereka di kerajaan Thailand, yang memiliki ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara.

Tetapi bagi para pengunjuk rasa Generasi Z yang tidak takut di kedua negara, ada ikatan politik yang erat – dijalin melalui internet – dan kebencian bersama terhadap militer yang tidak ingin membiarkan demokrasi mengakar.

Protes pro-demokrasi di Thailand dimulai tahun lalu, menyerukan pengunduran diri pemerintahan mantan panglima militer Prayuth Chan-Ocha, penyusunan konstitusi baru, dan reformasi monarki yang sebelumnya tak tersentuh.

Simak video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Unjuk Rasa di Thailand

Menjelang akhir tahun 2020, warga Thailand terus menyuarakan aspirasnya menuntuk penghapusan sistem monarki dan menyampaikan mosi tidak percaya pada pemerintah sipil.

Pada Desember 2020, aktivis demokrasi Thailand berunjuk rasa di markas PBB di Bangkok dan meminta badan untuk menekan kerajaan agar mencabut undang-undang pencemaran nama baik keluarga istana yang mereka katakan digunakan untuk menekan gerakan demokrasi.

Dikutip dari laman Channel News Asia, 23 pemimpin menghadapi dakwaan di bawah undang-undang karena menjadi headline demonstrasi.

Mereka menuntut reformasi ke monarki Thailand dan pengawasan lebih cermat terhadap pengaturan keuangan keluarga kerajaan.

Undang-undang lese majeste kerajaan melindungi Raja Maha Vajiralongkorn dan keluarga kerajaan dari kritik,

Siapa pun yang melakukan kritik akan dihukum dan menghadapi antara tiga hingga 15 tahun penjara.

Di antara beberapa aktivis di kantor PBB adalah Somyot Prueksakasemsuk (59) yang sebelumnya menghabiskan tujuh tahun di penjara dengan dakwaan lese majeste karena menerbitkan satir tentang keluarga kerajaan fiktif.

"Ini tidak baik untuk citra monarki di Thailand," katanya kepada wartawan, seraya menambahkan bahwa mereka yang divonis pencemaran nama baik diperlakukan "seperti binatang" di penjara.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.