Sukses

Mantan Menlu Marty Natalegawa: Diplomat Adalah Wordsmith

Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menekankan pentingnya kata-kata untuk diplomat.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menjelaskan tentang esensi diplomasi di tengah perkembangan teknologi. Marty berpandangan bahwa kemampuan mengungkap ide secara tepat tidak boleh dilupakan meski cara berkomunikasi makin modern di tengah pandemi COVID-19.

Ia menyebut esensi diplomasi masih sama, yakni komunikasi dan negosiasi, baik itu melalui cara tradisional (nota diplomatik) atau teknologi. Para diplomat disebut sebagai wordsmith.

"Elemen pusat dari diplomasi haruslah komunikasi, terutama pemikiran bahwa words matter. Kita adalah wordsmith. Bagi diplomat, kata-kata adalah instrumen kunci," ujar Marty dalam acara The Future of Diplomacy in the COVID-19 Era yang digelar FPCI, Kamis (28/1/2021). 

Hal penting lainnya dalam diplomasi, menurut Marty, adalah memahami dinamika di dalam negeri dan luar negeri. 

Marty berkata diplomat tidak bekerja dalam vakum, melainkan dalam lingkungan yang terpengaruh politik. Memahami aspek tersebut dapat membantu diplomat agar sukses mendukung kepentingan negara di luar negeri.

Dengan pemahaman kondisi di dalam negeri dan luar negeri, maka diplomat bisa menavigasi situasi dengan handal.

"Saya bukannya berkata kita harus mengurangi sentimen nasional atau patriotik, justru untuk mempromosikan kepentingan nasional kita maka kita harus memahami dinamika di luar negeri," jelas Marty.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pandangan Terkait Diplomasi via Zoom

Marty Natalegawa berkata bahwa diplomasi melalui teknologi memiliki keterbatasan. Ia mengakui bahwa teknologi bisa meminimalisir dikoneksi akibat pandemi, tetapi teknologi tetap bukan pengganti bagi diplomasi langsung.

Marty menilai ada dinamika-dinamika saat negosiasi yang tak bisa muncul lewat Zoom.

"Mereka bukan pengganti 100 persen. Contohnya mereka tidak bisa mengganti elemen informalitas," ujar Marty.

Ia lantas mencontohkan bagaimana pertemuan digital bisa menyetop diskusi agenda penting seperti masalah Code of Conduct South China Sea. Isu itu harusnya dibahas pada 2020.

"Sepanjang 2020 itu disetop karena tak ada kesempatan untuk pertemuan langsung dan mungkin gagasan negosiasi seperti melalui Zoom memunculkan kekhawatiran terkait kerahasiaan," ujar Marty.

"Teknologi digital membuat kita membuat berbagai hal tidak semakin buruk, itu memungkinkan beberapa jenis komunikasi berlangsung, tetapi itu bukanlah pengganti yang lengkap," jelas Marty.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.