Sukses

Resmi Jadi Presiden, Mampukah Joe Biden Batalkan Kebijakan AS di Timur Tengah?

Presiden Joe Biden dipertanyakan kredibilitasnya untuk membatalkan kebijakan AS di Timur Tengah.

Washington D.C - Kebijakan mantan Presiden Donald Trump di Yaman, Irak, dan Afrika Utara di ujung masa jabatannya menuai banyak kritik.

Seketika saat ia lengser dari jabatan dan digantikan oleh Joe Biden, pertanyaan yang kemudian muncul adalah terkait kemampuan Joe Biden untuk membatalkan kebijakan tersebut. 

Dalam kurun waktu dua minggu terakhir menjelang hengkangnya Trump dari Gedung Putih, pemerintahannya telah memperkuat serangkaian rencana kebijakan luar negerinya di Timur Tengah. Pekan lalu, Amerika Serikat (AS) menetapkan Houthi, sekutu Iran di Yaman, sebagai organisasi teroris dan menjatuhkan sanksi pada seorang pejabat militer Irak serta beberapa organisasi Iran. Demikian seperti mengutip DW, Kamis (21/1/2021). 

Pada akhir tahun lalu, AS mengakui kedaulatan penuh Kerajaan atas seluruh wilayah Sahara Barat.

Semua keputusan Trump ini bertujuan untuk mengasingkan Iran dan meningkatkan kuasa Israel di wilayah tersebut. Namun langkah ini juga menuai banyak kritik.

"Sebelum masa pemerintahan habis, segala kebijakan (Trump) memiliki konsekuensi yang sangat mengganggu," tulis analis di kelompok pemikir kebijakan Crisis Group yang berbasis di Brussels.

Memasukkan Houthi sebagai organisasi teroris berpotensi menghambat badan kemanusiaan di Yaman, yang kini masih dilanda perang, kata mereka. Keputusan tersebut bisa menimbulkan "kelaparan skala besar yang belum pernah terjadi selama hampir 40 tahun," kata seorang pejabat PBB.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tuai Kontra

Sementara itu, kantor luar negeri Irak menggambarkan sanksi AS yang diberikan kepada pejabat Irak, Faleh al-Fayyad, pekan lalu sebagai langkah yang "tidak dapat diterima dan mengejutkan."

Al-Fayyad adalah kepala paramiliter lokal yang dikenal sebagai Pasukan Mobilisasi Populer. Sanksi seperti ini "memancing reaksi dari sistem politik Irak, mungkin memaksa pasukan asing [AS] keluar dari Irak," analis Sajad Jiyad memperingatkan sebelumnya dalam ringkasan kebijakan Juli 2020.

Pengakuan AS atas kedaulatan Maroko atas Sahara Barat pada bulan Desember lalu merupakan salah satu sengketa teritorial terpanjang di dunia, dengan banyak negara menyatakan tidak ketidaksetujuannya.

Kebijakan Trump ini dicurigai sebagai ucapan 'terima kasih' Amerika kepada Maroko karena secara resmi membangun kembali hubungan dengan Israel.

Mantan penasihat keamanan nasional Presiden Donald Trump, John Bolton, menyebutnya sebagai "sikap hormat yang serampangan" dan "pendekatan transaksional yang telanjang" dalam sebuah artikel untuk majalah Kebijakan Luar Negeri pada pertengahan Desember.

"Ini adalah upaya Trump memainkan politik dalam negeri dengan kebijakan luar negeri sampai akhir (masa jabatan) yang pahit," kata Julian Barnes-Dacey, Driektur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.

"Saat waktu terus berlalu, ada upaya untuk memberi energi pada basis politik mereka dan mungkin memperkuat semacam warisan. Mereka mencoba untuk mengunci AS ke arah tertentu, untuk mencegah Biden membalikkan keputusan," jelasnya.

Tetapi apakah pemerintahan Biden yang baru akan membalikkan langkah-langkah ini? Dan bahkan jika mereka mau, berapa lama, dan seberapa rumit proses itu?

3 dari 3 halaman

Bukan Hal Mustahil untuk Mengubah

"Secara teori, beberapa perubahan bisa jadi sangat mudah," kata Marina Henke, Profesor Hubungan Internasional di Hertie School, sebuah institut yang mengajarkan kebijakan publik di Berlin. "Secara teknis, banyak yang bisa dilakukan dalam sehari."

Misalnya, keputusan tentang Maroko dan Sahara Barat berupa proklamasi yang dibuat oleh Trump. Ini tidak memiliki kekuatan hukum kecuali Kongres AS mengizinkannya, dan dapat dengan mudah dibatalkan dengan proklamasi lain dari presiden baru.

Perintah eksekutif dan memorandum presiden bekerja dengan cara yang sama. Mereka dapat dibatalkan dengan perintah eksekutif atau memorandum lain dari presiden yang akan datang, Joe Biden.

"Ini tentang kemauan politik," kata Arie Perliger, profesor studi keamanan di Universitas Massachusetts Lowell di AS. "Perintah eksekutif dapat dengan cepat mendorong ke arah tertentu dan mereka dapat bekerja cukup cepat. Kongres tidak harus terlibat. Namun, jika Anda berbicara tentang aktor negara - seperti Iran atau Suriah, atau beberapa aktor di Irak - itu akan jauh lebih sulit."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.