Sukses

Kritik Raja Thailand, Aktivis Demo di Markas PBB Bangkok

Aktivis bedemo di depan markas PBB Bangkok menuntut reformasi ke monarki dan pengawasan lebih cermat terhadap pengaturan keuangan keluarga kerajaan Thailand.

Liputan6.com, Jakarta - Aktivis demokrasi Thailand berunjuk rasa di markas PBB di Bangkok pada Kamis, 10 Desember 2020 dan meminta badan untuk menekan kerajaan agar mencabut undang-undang pencemaran nama baik keluarga istana yang mereka katakan digunakan untuk menekan gerakan demokrasi.

Dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (11/12/2020), 23 pemimpin menghadapi dakwaan di bawah undang-undang karena menjadi headline demonstrasi.

Mereka menuntut reformasi ke monarki Thailand dan pengawasan lebih cermat terhadap pengaturan keuangan keluarga kerajaan.

Undang-undang lese majeste kerajaan melindungi Raja Maha Vajiralongkorn dan keluarga kerajaan dari kritik,

Siapa pun yang melakukan kritik akan dihukum dan menghadapi antara tiga hingga 15 tahun penjara.

Di antara beberapa aktivis di kantor PBB adalah Somyot Prueksakasemsuk (59) yang sebelumnya menghabiskan tujuh tahun di penjara dengan dakwaan lese majeste karena menerbitkan satir tentang keluarga kerajaan fiktif.

"Ini tidak baik untuk citra monarki di Thailand," katanya kepada wartawan, seraya menambahkan bahwa mereka yang divonis pencemaran nama baik diperlakukan "seperti binatang" di penjara.

 

Saksikan Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Seabad Lebih Aturan Lese Majeste

Kejahatan lese majeste telah tercatat selama lebih dari satu abad di Thailand, tetapi terakhir kali diperkuat pada tahun 1976.

Penggunaan undang-undang telah melambat sejak 2018 karena "belas kasihan" raja, menurut Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, tetapi bulan lalu perdana menteri memberi lampu hijau untuk menerapkannya lagi setelah berbulan-bulan aksi protes.

Pemimpin protes Parit "Penguin" Chiwarak, yang didakwa berdasarkan undang-undang itu dan ia khawatir penggunaannya akan menciptakan keretakan politik yang lebih besar antara sebagian besar aktivis demokrasi muda dan pendukung konservatif monarki.

"Dalam sistem demokrasi, tidak perlu serangan hukum. Kita bisa berbeda pendapat dan hidup bersama."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.