Sukses

Ultimatum 72 Jam Berakhir, Militer Ethiopia Serang Balik Tigray

Militer Ethiopia yang menghadapi perlawanan sengit sejak memasuki perbatasan Tigray tiga pekan silam, kini diperintahkan untuk melancarkan fase ketiga dan terakhir.

Tigray - Militer Ethiopia dilaporkan kembali melakukan serangan balasan ke kawasan Tigray. Setelah sebelumnya sempat menghentikannya dan memberikan ultimatum. 

Seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (27/11/2020), Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed memberikan waktu selama 72 jam bagi pemimpin Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) untuk menyerahkan diri pada Minggu 22 November malam lalu. Namun ultimatum tersebut diabaikan.  

Alhasil, militer Ethiopia yang menghadapi perlawanan sengit sejak memasuki perbatasan Tigray tiga pekan silam, kini diperintahkan “untuk melancarkan fase ketiga dan terakhir,” melawan TPLF, kata PM Abiy. 

Kondisi perang saudara di Ethiopia telah memicu gelombang pengungsi ke negara jiran, Sudan. Saat ini jumlah pengungsi asal Tigray ditaksir berjumlah 40.000 orang. Jumlah tersebut, yang kian banyak, dikhawatirkan akan membengkak menjadi 200.000 orang jika konflik berlanjut. 

"Di fase terakhir ini, warga sipil tidak berdosa akan dilindungi dari tindak kekerasan. Semua upaya sudah dilakukan untuk memastikan bahwa kota Mekele, yang dibangun lewat jerih payah bangsa kita, tidak mengalami kerusakan parah," imbuh perdana menteri. 

PM Ethiopia kemudian mengklaim ribuan ilisi dan pasukan khusus TPLF telah menyerahkan diri kepada militer pemerintah sebelum tenggat berakhir. Namun kebenaran informasi itu sulit dikonfirmasikan menyusul pemadaman listrik dan blokade internet di kawasan konflik.

 

Saksikan Juga Video Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

PBB Mendesak untuk Melindungi Warga Sipil

Lingkaran diplomat di Afrika mengatakan kepada kantor berita AFP, pasukan pemerintah saat ini hanya berjarak setidaknya 30 kilometer dari ibu kota Tigray, Mekele.  

Sebab itu PBB dan sejumlah lembaga internasional lain menggiatkan upaya mediasi, lantaran mengkhawatirkan nasib setengah juta penduduk kota yang berpotensi terjebak di wilayah perang. Kamis 26 November, Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya bertemu buat membahas perang di Ethiopia. 

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mendesak "para pemimpin Ethiopia untuk mengupayakan segala cara demi melindungi warga sipil." Adapun Amerika Serikat dan Uni Eropa aktif melobi Uni Afrika yang bermarkas di Addis Abeba untuk menggalang proses mediasi.  

Sementara lembaga hak asasi manusia, Amnesty International, mewanti-wanti bahwa serangan bom terhadap Mekele bisa “dikategorikan sebagai kejahatan perang.” 

Perdana Menteri Abiy bersikeras militer Ethiopia sudah “merencakan dengan hati-hati" strategi mengalahkan TPLF di Mekele, tanpa menimbulkan banyak korban jiwa atau kerusakan pada infrastruktur kota. “Kami menyerukan warga Mekele dan sekitarnya untuk meletakkan senjata, berdiam di rumah dan menjauh dari target militer,” tuturnya. 

Dia menolak mediasi internasional terhadap apa yang disebutnya sebagai operasi “penegakan hukum.” 

"Dengan hormat kami mendesak komunitas internasional untuk tidak melakukan tindak campur tangan yang ilegal dan tidak dibutuhkan," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.