Sukses

Bendung Protes, Thailand Ancam Sensor Liputan Berita hingga Blokir Telegram

Aksi protes agar PM Thailand mundur berusaha dibendung dengan ancaman akan penyensoran liputan berita, penggerebekan tempat penerbitan buku, dan mencoba memblokir aplikasi Telegram.

Bangkok - Demo di Thailand belum juga mereda.

Pemerintah Thailand berusaha membendung protes yang sedang berlangsung dengan ancaman akan menyensor liputan berita, menggerebek tempat penerbitan buku, dan mencoba memblokir aplikasi Telegram yang digunakan oleh para demonstran.

Aksi protes warga dilakukan sebagai wujud permintaan agar Perdana Menteri mengundurkan diri.

Pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha berupaya meredakan protes yang dipimpin oleh mahasiswa, setelah demonstrasi terus bertambah besar di Bangkok dan menyebar ke seluruh negeri.

Aksi ini sekaligus mengabaikan keputusan darurat yang melarang pertemuan publik lebih dari empat orang di Bangkok.

Sebagian besar dari ribuan pengunjuk rasa adalah kaum muda yang berkumpul di Bangkok utara pada Senin 19 Oktober 2020 malam, seperti yang mereka lakukan di berbagai lokasi di ibu kota.

Selama enam hari terakhir mereka menyuarakan sejumlah tuntutan, termasuk desakan kontroversial untuk reformasi monarki.

Pada satu momentum dalam rangkaian aksi, para demonstran mengangkat tangan serempak dan memberi hormat tiga jari, tanda perlawanan yang dipinjam dari serial film 'The Hunger Games'.

Saat malam tiba, mereka mengangkat ponsel mereka, sehingga menyebarkan titik-titik cahaya di kerumunan.

Di tempat lain, pengunjuk rasa berkumpul di luar penjara tempat puluhan demonstran ditahan.

Para pengunjuk rasa menuduh Perdana Menteri, seorang komandan militer yang memimpin kudeta 2014, kembali ke tampuk kekuasaan melalui cara yang tidak adil dalam pemilu tahun lalu setelah undang-undang diubah untuk mendukung partai pro-militer.

Para pengunjuk rasa percaya, sebuah konstitusi yang ditulis dan disahkan di bawah pemerintahan militer tidaklah demokratis.

Tetapi tuntutan mereka yang lebih baru untuk memberlakukan pengecekan dan penyeimbangan kekuasaan monarki telah membangkitkan kemarahan warga konservatif di Thailand, sesuatu yang tabu karena selama ini monarki dianggap sakral.

Undang-undang yang ada juga melindungi monarki dari penghinaan, yang berarti perannya selama ini tidak pernah dibahas secara terbuka.

Aksi ini juga meningkatkan risiko bentrokan, karena seruan untuk perubahan politik seringkali dihadapi dengan intervensi militer atau bahkan kekerasan.

Pihak berwenang telah menggunakan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa dalam beberapa hari terakhir.

Beberapa pemimpin aksi unjuk rasa yang ditangkap karena mencoba menggelar aksi minggu lalu di luar kantor Perdana Menteri dibebaskan oleh pengadilan banding pada hari Senin, sementara tuduhan terkait protes masih menunggu keputusan pengadilan.

Seperti dikutip dari ABC Indonesia, Rabu (21/10/2020), pihak berwenang Thailand telah beralih ke cara penyensoran untuk menghentikan demonstrasi, setelah pengunjuk rasa mencela iring-iringan kerajaan minggu lalu, sebuah pemandangan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan terjadi.

Saksikan Juga Video Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Aplikasi Telegram Terancam Diblokir

Karena protes yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, seorang pejabat tinggi di Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Nasional mengkonfirmasi laporan bahwa badan tersebut telah diperintahkan untuk memblokir akses aplikasi Telegram.

Suthisak Tantayothin mengatakan sedang melakukan pembicaraan dengan penyedia layanan internet seputar teknis pelaksanaannya, tetapi sejauh ini aplikasi pengiriman pesan terenkripsi yang disukai oleh banyak demonstran di seluruh dunia itu masih bisa di akses di Thailand.

Polisi juga menggeledah kantor penerbit yang memproduksi buku-buku karya cendekiawan Thailand dan mancanegara yang memiliki perspektif kontroversial.

Rumah penerbitan Same Sky mengatakan polisi menyita tiga salinan dari tiga judul yang telah dijual di sebuah pameran buku baru-baru ini dalam sebuah bundel berjudul Studi Monarki, dan meminta penerbit untuk memenuhi panggilan diinterogasi di kantor polisi.

Wakil juru bicara kepolisian Kissana Phataracharoen juga membenarkan bahwa kepala polisi telah menandatangani perintah yang memungkinkan pejabat memblokir akses ke situs berita yang memberikan apa yang disebutnya "informasi yang menyimpang".

Di bawah undang-undang yang ada, Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Nasional serta Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital diberdayakan untuk melarang siaran dan memblokir konten internet.

Polisi sendiri juga bisa melakukan sensor berdasarkan keputusan darurat, yang mulai berlaku pada 15 Oktober.

Kissana Phataracharoen memberikan keterangan setelah dokumen salinan perintah sensor bocor dan beredar di media sosial.

Perintah tersebut menyerukan pemblokiran akses ke situs online Voice TV, The Reporters, The Standard, Prachatai, dan Free Youth, dan menghapus konten mereka yang sudah ada. Ia juga mengusulkan larangan siaran digital over-the-air Voice TV.

Semua outlet media telah menyiarkan liputan langsung protes tersebut. Voice TV dan Prachatai secara terbuka bersimpati pada gerakan protes, dan Free Youth adalah organisasi protes mahasiswa.

Sampai hari Senin, tidak ada media yang disensor. Namun ada setidaknya satu penyedia TV kabel lokal, yang telah menyensor siaran berita internasional selama segmen mereka tentang protes di Thailand.

Klub Koresponden Asing Thailand mengatakan pihaknya "sangat prihatin" dengan ancaman sensor, dan menambahkan bahwa hal itu "membuat Pemerintah tampak bertangan besi dan tidak responsif terhadap kritik, dan dapat memicu lebih banyak kemarahan publik".

"Jurnalis yang bonafid harus diizinkan untuk melaporkan perkembangan penting tanpa ancaman larangan, skorsing, penyensoran atau tuntutan hukum yang membayangi mereka," kata klub itu dalam sebuah pernyataan.Terlepas dari protes yang menyebar di luar ibu kota, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengatakan kepada wartawan bahwa keadaan darurat hanya akan tetap diberlakukan di Bangkok untuk saat ini.

Pihak berwenang juga nampaknya berusaha dengan sia-sia untuk mencegah orang berkumpul melalui pentupan stasiun secara selektif di jalur angkutan massal Bangkok.

Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha juga memperingatkan bahwa pemerintah akan mengambil langkah hukum terhadap mereka yang mempromosikan protes di media sosial, termasuk mereka yang mengambil foto atau terpantau menghadiri aksi unjuk rasa melalui fasilitas aplikasi media sosial.

Meskipun demikian, tagar terkait protes tersebut tetap menjadi yang paling banyak digunakan di Twitter.

Salah satu dari banyak kelompok mahasiswa yang terlibat dalam pengorganisasian protes, Free Youth, baru-baru ini mengatakan bahwa akun Facebooknya mungkin akan segera diblokir dan meminta orang-orang untuk beralih mendaftar pada aplikasi Telegram.

Dalam waktu sekitar satu hari, pengikutnya di aplikasi tersebut mencapai 200.000.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.