Sukses

Cegah Wabah Flu, Peternakan Babi di China Pakai Kandang Apartemen

Australia membolehkan pendatang dari negara tertentu agar tak karantina COVID-19.

Beijing - Pemerintah China berusaha meningkatkan produksi babi sekaligus menjegal kedatangan wabah flu babi Afrika. Selama dua tahun terakhir wabah tersebut merugikan industri babi di China. 

Dilaporkan ABC Australia, Jumat (16/10/2020), sebuah perusahaan swasta bernama Guangxi Yangxiang sedang membangun kawasan apartemen tinggi di daerah pegunungan Yaji, yang akan bisa memproduksi sekitar 840 ribu babi setiap tahun ketika mulai berproduksi.

Peternakan ini akan benar-benar terpisah dari pemukiman warga guna menghindari adanya pencemaran.

Di dalam peternakan itu akan ada tempat untuk menangani babi yang mati dan juga pekerja akan tinggal di dalam kompleks, sehingga mereka tidak akan bisa menulari ternak babi dengan wabah yang dibawa dari luar.

Di Australia, Robert Herrmann direktur pelaksana Mecardo, sebuah perusahaan analisa pasar, mengatakan peternakan seperti ini belum pernah ada sebelumnya di tempat lain.

"Kami sudah melihat adanya kandang babi yang dibuat bertingkat mirip dengan blok apartemen," katanya.

"Semuanya ada di dalamnya sehingga keamanan biosekuritas akan lebih tinggi dibandingkan di tempat lain dan juga dengan model seperti ini produksi babi akan bisa ditingkatkan dalam waktu cepat."

"Ini juga berarti ternak babi akan lebih aman dibandingkan di masa sebelum adanya wabah flu babi Afrika.

Matinya ternak babi di China sehingga menurunkan produksi babi dunia menjadi berkurang 50 persen juga membuat permintaan akan produk daging alternatif sepeeti sapi dan domba juga meningkat.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ternak Babi Lebih Canggih

Robert Herrmann mengatakan hal itu sudah merupakan berita bagus bagi harga komoditi asal Australia karena China harus memenuhi kebutuhan permintaan akan daging di dalam negeri.

"Ekspor daging merah kami ke China sebelum flu babi Afrika sudah tinggi, dan pertumbuhan itu naik berlipat ketika kemudian terjadi wabah flu Afrika," katanya.

"Permintaan akan bij-bijian saat ini juga disebabkan karena kebutuhan China untuk meningkatkan cadangan."

Namun menurut Herrmann sudah ada tanda-tanda China mulai bergerak ke arah peternakan yang lebih canggih, dan karenanya akan ada peningkatan produksi di sana yang pada gilirannya akan membuat harga akan turun.

"Kita sudah melihat adanya bukti ternak bibit babi yang dikapalkan dari Jerman ke China, itu sudah terjadi, dan sekarang tampaknya jumlahnya semakin besar," katanya.

"Saya kira perkiraannya adalah diperlukan waktu dua tahun untuk mengembalikan keadaaan seperti sebelum adanya wabah. Saya kira kita bisa memperkirakan produksi penuh akan terjadi tidak lama setelah itu." 

Robert Herrmann mengatakan bahwa 'tidak tersedianya protein daging merah di China' saat ini karena adanya wabah telah memberikan kesempatan bagi peternak sapi dan domba Australia untuk menguasai pasar.

"Dan diperkirakan pasar itu akan menurun di saat angka produksi babi meningkat," katanya.

Namun analis pasar independen Simon Quilty mengatakan usaha China meningkatkan produksi babi terus mengalami masalah, dan diperkirakan China akan tetap mengimpor bij-bijian, sapi dan domba dalam jumlah besar beberapa tahun ke depan.

"Walau keadaan membaik, kita tahu bahwa wabah flu babi Afrika ini terus membuat babi mati, karena kita tahu harga anakan babi di China masih sangat tinggi," kata Quilty.

"Kita tahu harga daging babi yang diternakkan, dan juga babi liar di China masih terus naik.

"Jadi ini menunjukkan bahwa wabah flu babi Afrika ini masih menimbulkan masalah besar dan kemampuan pasok pasar domestik daging babi di China masih mengalami masalah."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.