Sukses

HEADLINE: WHO Sebut Lockdown Bisa Picu Kemiskinan, Apa Alternatif Kendalikan COVID-19?

100 juta orang diperkirakan Bank Dunia akan mengalami kemiskinan ekstrem sepanjang 2020, akibat pandemi COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta - 100 juta orang diperkirakan Bank Dunia akan mengalami kemiskinan ekstrem sepanjang 2020. Semua itu karena pandemi COVID-19.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun kini memperingatkan para pemimpin negara agar tidak mengandalkan penerapan lockdown sebagai langkah utama mengatasi pandemi COVID-19. Karena Ada kerugian signifikan yang disebabkan lockdown, khususnya terhadap ekonomi global.

Dilaporkan New York Post, Senin (12/10/2020), Utusan Khusus (Special Envoy) WHO Dr. David Nabarro mengatakan, tindakan pembatasan seperti itu hanya boleh diperlakukan sebagai upaya terakhir. 

Hal itu disampaikan oleh Dr. Nabarro dalam sebuah wawancara video dengan majalah Inggris, The Spectator. "Kami di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menganjurkan penguncian (lockdown) sebagai cara utama pengendalian virus ini," ujarnya. 

Dr. Nabarro juga menyampaikan, "Satu-satunya saat kami yakin bahwa lockdown dapat dibenarkan adalah untuk memberi Anda waktu untuk mengatur ulang, menyusun kembali, menyeimbangkan kembali sumber daya, melindungi petugas kesehatan yang kelelahan, tetapi pada umumnya, kami lebih memilih tidak melakukannya."

"Lockdown hanya memiliki satu konsekuensi yang tidak boleh Anda remehkan, dan itu membuat orang miskin menjadi semakin miskin," sebutnya.

Kemudian, ia menambahkan, lockdown juga telah memberikan dampak parah pada negara-negara yang mengandalkan pariwisata. "Lihat saja apa yang terjadi pada industri pariwisata di Karibia, misalnya, atau di Pasifik karena orang-orang tidak berlibur." 

"Lihat apa yang terjadi pada petani kecil di seluruh dunia. Lihat apa yang terjadi pada tingkat kemiskinan. Tampaknya kita mungkin memiliki dua kali lipat kemiskinan dunia pada tahun depan. Kami mungkin memiliki setidaknya dua kali lipat anak-anak yang mengalami malnutrisi," jelas Dr. Nabarro.

Pada 17 September lalu, PBB baru merilis laporan terkait nasib anak-anak di tengah pandemi COVID-19. Jumlah anak-anak yang hidup miskin meningkat hingga mendekati 150 juta.

"Secara global, jumlah anak-anak yang hidup dalam kemiskinan melonjak hingga nyaris 1,2 milar, sebuah penambahan 15 persen sejak pandemi menyerang awal tahun ini," tulis PBB dalam situs resminya.

Para anak-anak itu berasal dari hampir 80 negara. Peneliti UNICEF berkata 45 persen anak-anak tersebut setidaknya tak mendapat akses salah satu hal berikut: pendidikan, kesehatan, rumah, nutrisi, sanitasi, dan air.

Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore membenarkan bahwa lockdown turut memberi dampak kemiskinan. Keluarga-keluarga yang berhasil lolos dari kemiskinan kembali jatuh miskin, sementara yang sudah miskin nasibnya semakin terperosok.

"COVID-19 dan tindakan lockdown yang diterapkan untuk mencegah penyebarannya telah mendorong jutaan anak-anak semakin dalam menuju kemiskinan," ujar Fore.

UNICEF mengingatkan bahwa situasi ini dapat memburuk dalam beberapa bulan kemudian kecuali pemerintah nasional dan global turun tangan untuk meringankan pukulan yang terjadi.

UNICEF mengapresiasi inisiatif dari pemerintah yang memudahkan akses pendidikan, seperti lewat tayangan radio atau televisi. Namun, oleh karena kemiskinan yang menyerang bersifat multi-dimensi, maka solusinya juga perlu multi-dimensi.

Rekomendasi kritis yang diberikan UNICEF adalah perlindungan sosial, kebijakan fiskal inklusif, investasi di pelayanan sosial, dan intervensi ketenagakerjaan untuk mendukung keluarga agar mebawa keluar anak-anak dari kemiskinan dan mencegah situasi makin terpuruk.

Kebijakan lain yang disarankan adalah layanan kesehatan yang baik, menyediakan bantuan untuk pendidikan jarak jauh, dan berinvestasi di kebijakan yang ramah keluarga, seperti cuti berbayar dan child care.

"Anak-anak yang kehilangan pendidikan lebih mungkin untuk dipaksa ke dalam kerja anak atau pernikahan dini dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan dalam tahun-tahun yang akan datang. Kita tidak bisa membiarkan seluruh generasi anak-anak menjadi korban dari pandemi ini," ujar Inger Ashing, CEO Save the Children yang bermitra dengan UNICEF.

Laporan terbaru Bank Dunia berjudul Reversals of Fortune juga menunjukkan data yang senada. Dalam laporan itu, 100 juta orang diperkirakan akan mengalami kemiskinan ekstrem (extreme poverty) pada 2020 akibat COVID-19.

Kemiskinan ekstrem adalah jika pengeluaran di bawah US$ 1,9 per hari (Rp 27 ribu).

"Bersamaan dengan kerugian langsung ke nyawa-nyawa manusia, COVID-19 telah mengakibatkan bencana ekonomi ke seluruh dunia yang gelombang kejutnya terus menyebar, sehingga lebih banyak nyawa terancam," tulis laporan Bank Dunia seperti dikutip Senin (12/10/2020).

Negara-negara pendapatan menengah (middle income countries) akan terdampak berat. Sebanyak 72 juta orang diperkirakan akan menjadi miskin pada skenario baseline), namun skenario downside dampaknya bisa 94 juta.

Banyak orang miskin baru diperkirakan berasal dari perkotaan. Ini karena adanya efek lockdown ke beberapa sektor. Orang-orang miskin baru juga lebih terdidik dan memiliki aset-aset ketimbang mereka yang miskin pada tahun lalu.

"Banyak orang miskin baru kemungkinan besar berada di pelayanan informal, konstruksi, dan manufaktur, sektor-sektor yang terdampak lockdown dan pembatasan mobilitas lainnya, serta social distancing wajib," tulis Bank Dunia.

"Orang miskin baru kemungkinan lebih banyak bekerja di luar sektor agrikultur (contohnya, di manufaktur, konstruksi, dan perdagangan wholesale dan ritel di Afrika Selatan; dan pada sektor jasa di Nigeria dan Indonesia)," lanjut laporan itu.

Bank Dunia berkata penurunan kesejahteraan akan berlanjut hingga virus terkendali, lockdown dilonggarkan, dan pertumbuhan kembali berlanjut.

Bank Dunia menegaskan, dampak ekonomi COVID-19 terjadi di seluruh dunia, dampaknya pun bisa jangka panjang kepada golongan tertentu. Ini terutama berdampak ke 40 persen warga termiskin.

Bank Dunia memberikan data shared prosperity yang fokus pada 40 persen populasi yang miskin di suatu negara. Shared prosperity menyorot kemampuan konsumsi rumah tangga pada kalangan 40 persen tersebut.

Melalui data itu, maka akan terlihat dampak pertumbuhan ekonomi ke masyarakat miskin di suatu negara. Angka 40 persen itu dipilih agar memperkecil kemungkinan terjadinya data error.

Di tengah pandemi COVID-19 dan lockdown, pertumbuhan ekonomi bagi kalangan 40 persen itu akan semakin menurun di beberapa negara. 

Daerah yang paling terdampak adalah Timur tengah dan Afrika utara yang pertumbuhan shared prosperity-nya minus 1,5 atau 2 basis poin lebih rendah dari 2012-2017. Sementara, pertumbuhan shared prosperity di Amerika Latin dan Karibia adalah minus 1 persen, turun 3,2 basis poin pada 2012-2017.

Daerah Asia Timur dan Pasifik masih mengalami pertumbuhan yakni 1,92 persen, meski turun nyaris 3 basis poin dari 2012-2017.

Rata-rata shared prosperity adalah 2,3 persen di periode 2012-2017. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan shared proserity bisa makin parah jika ekonomi tidak pulih.

"Rata-rata shared prosperity untuk 2019-2021 adalah minus 0,02 persen, artinya maka tak ada pertumbuhan bagi bawah 40. Lebih lama kontraksi (ekonomi) yang saat ini terjadi, maka akan makin besar penurunan pada shared prosperity," tulis World Bank.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga praktisi kesehatan Ari Fahrial Syam menilai lockdown atau karantina wilayah yang berkepanjangan memang sebaiknya dihindari, karena juga menyangkut hal lain seperti ekonomi.

"Lockdown itu masih ada tempatnya kasih napas, seperti kemarin PSBB diperketat itu kan sebenarnya memberikan napas petugas kesehatan untuk mengatur diri, mempersiapkan diri lagi," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com pada Senin (12/10/2020).

Ari menyebutkan, lockdown mampu mengurangi pergerakan masyarakat yang juga menurunkan jumlah kasus. Namun, metode ini bukan cara yang tepat untuk dilakukan jangka panjang.

"Tapi tetap pada waktu-waktu tertentu, lockdown itu tetap dibutuhkan. Karena untuk memberikan kesempatan kepada fasilitas kesehatan mempersiapkan diri dan lain-lain."

Untuk masyarakat, Ari mengatakan bahwa pernyataan tersebut harus dimaknai bahwa seseorang boleh beraktivitas tetapi dengan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

Sayangnya, masih banyak orang yang mengartikan suatu pelonggaran pembatasan berarti mereka bebas melakukan apa saja, salah satunya adalah pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di DKI Jakarta. 

"PSBB transisi ini tetap harus warning. Apabila naik lagi, ya kita mesti rem lagi. Karena harus dikasih kesempatan untuk petugas kesehatan untuk menurunkan dulu. Prinsipnya itu tetap harus 3M harus dijaga."

Ari menambahkan, yang tak kalah penting juga adalah pemeriksaan usap (swab) secara masif haruslah dilakukan. "Kalau tidak diikuti dengan itu ya susah, karena virus itu masih ada di tengah-tengah kita." 

Ari menilai, apabila dibandingkan dengan negara yang sudah melakukan lockdown total sejak awal pandemi, Indonesia sudah terlambat apabila ingin melakukan karantina wilayah. "Jadi ya itu tadi, rem-gas, rem-gas saja."

Dokter spesialis penyakit dalam ini juga mengatakan, memang di beberapa negara Eropa saat ini tengah menghadapi gelombang kedua COVID-19. Namun, mereka sudah berhasil mengendalikan angka kematiannya sehingga sudah tak lagi tinggi.

"Karena memang mereka sudah tahu cara mengantisipasi agar tidak terjadi kematian. Kita pun sebenarnya juga termasuk berhasil, di Indonesia kan angka kesembuhan kita sudah lebih dari 75 persen."

Salah satu cara yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia untuk mengendalikan COVID-19 adalah karantina wilayah atau lockdown. Ari mengakui lockdown mampu mengurangi pergerakan masyarakat yang juga menurunkan jumlah kasus. Namun, metode ini bukan cara yang tepat untuk dilakukan jangka panjang karena juga menyangkut hal lain seperti ekonomi.

"Tapi tetap pada waktu-waktu tertentu, lockdown itu tetap dibutuhkan. Karena untuk memberikan kesempatan kepada fasilitas kesehatan mempersiapkan diri dan lain-lain."

Karantina wilayah, sambung dia, bisa saja dilakukan dalam keadaan tertentu misalnya apabila terjadi kasus yang tidak terkendali. Hal ini bisa dilihat dengan melimpahnya pasien di IGD dan ICU yang sulit diakses.

"Jadi memang ada peningkatan yang masif di tengah masyarakat. Kalau sudah begitu ya sudah orang tidak boleh bergerak. Dan tracing, sebenarnya kuncinya adalah pemeriksaan yang masif."

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

PSBB di Indonesia Jadi Pilihan Tepat?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan lockdown sebagai solusi utama pengendalian COVID-19 karena dapat memicu kemiskinan yang tinggi. Dikhawatirkan, orang yang miskin akan semakin miskin.

Senior Research Fellow The SMERU Research Institute Asep Suryahadi menduga, alasan WHO menekankan agar lockdown tidak dijadikan solusi utama untuk mengatasi pandemi COVID karena telah melihat dampaknya terhadap masyarakat. 

"Kemungkinan karena mereka melihat bahwa lockdown yang berkepanjangan berdampak buruk terhadap orang miskin," kata Asep kepada Liputan6.com melalui pesan singkat.

Lain halnya dengan negara-negara di dunia, Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per 12 Oktober 2020, sejumlah daerah memberlakukan PSBB.

Sebut saja DKI Jakarta, yang kini memasuki masa PSBB Transisi pada 12-25 Oktober 2020. Lalu ada Banten dengan PSBB dari 21 September-20 Oktober 2020.

Lantas apakah PSBB yang diterapkan di Indonesia dapat 'mengendalikan' kemiskinan? Asep menjelaskan, dampak PSBB pun dialami masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.

"Indonesia sejak awal menghindari lockdown dan memilih PSBB. Karena memang sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor informal, sehingga mereka akan sangat kesulitan memperoleh penghidupan kalau diterapkan lockdown secara penuh."

"Walaupun demikian, PSBB tetap berdampak negatif terhadap penduduk kelompok bawah. Seperti terlihat dengan meningkatnya angka kemiskinan. Tetapi, kalau Indonesia memilih lockdown, kemungkinan kenaikan angka kemiskinannya akan semakin besar," imbuhnya.

Untuk membantu ekonomi masyarakat terdampak COVID-19, khususnya penduduk miskin, Pemerintah menggelontorkan bantuan sosial. Bantuan Langsung Tunai (BLT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), dan lainnya dibantu Pemerintah.

Menurut Asep, pemberian bantuan sosial itu masih terdapat beberapa kendala. Perlu upaya agar bantuan sosial menyasar ke target yang tepat.

"Berbagai program bansos yang dibuat Pemerintah memang ditujukan bagi penduduk miskin dan yang terdampak COVID-19. Kendala utamanya ada dua," ujarnya.

"Pertama, database penduduk miskin dan rentan yang dimiliki pemerintah sistem updatingnya kurang berjalan baik, tergantung pada keaktifan Pemda dalam melakukan updating. Kedua, terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi penduduk miskin baru yang muncul karena terdampak oleh COVID-19.

Asep menambahkan, sistem pendataan perlu dibangun dengan lebih akurat.

"Dari kendala di atas, ini menunjukkan, perlunya dibangun sistem pendataan untuk penargetan bansos yang lebih akurat juga dinamis, sehingga bisa menangkap perubahan yang terjadi di masyarakat dengan relatif cepat," tambahnya.

Kemiskinan selama pandemi COVID-19, salah satu contoh di Ibu Kota Jakarta juga meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat 1,11 persen.

"Di DKI Jakarta sendiri, angka kemiskinan naik sekitar 1,11 persen di tengah pandemi COVID-19, semula 3,42 persen pada September 2019, menjadi 4,53 persen pada Maret 2020," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria dalam diskusi virtual, Jumat (2/10/2020).

Adanya peningkatan jumlah kemiskinan warga Jakarta, cakupan atau data penerima bantuan sosial yang akan diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga bertambah.

"Saat ini, data penerima bantuan sosial di Jakarta sebanyak 2,46 juta kepala keluarga. Sumber distribusi bantuan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan sejumlah stimulus fiskal," lanjut Riza.

Agar bantuan sosial tepat sasaran, Riza mengatakan, pihaknya terus menerus melakukan pembaruan data terpadu kesejahteraan sosial.

"Kami pun menyadari, demi efektivitas penyaluran program Bansos itu diperlukan manajemen, terutama pendataan yang baik. Salah satunya dengan memperbaharui data terpadu kesejahteraan sosial atau DTKS melalui variabel khas daerah daftar negatif atau kriteria warga yang tidak layak daftar," jelasnya.

Alasan Indonesia Tak Terapkan Lockdown  

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 di Indonesia, Doni Monardo mengungkapkan alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sedari awal kasus Corona muncul, bukan lockdown atau karantina wilayah.

Sebab, kata Doni, apabila menjalankan karantina wilayah, pemerintah harus bertanggung jawab untuk memberikan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, seperti halnya makan, minum, dan kebutuhan dasar lainnya termasuk juga fasilitas yang menyangkut hidup masyarakat sehari-hari di antaranya air dan listrik.

Hal ini disampaikan Doni Monardo saat memberikan keterangan pers terkait Hasil Rapat Terbatas yang disiarkan secara langsung di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin, 14 September 2020.

Pada kesempatan yang dihadiri juga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Doni menekankan bahwa tidak ada wilayah nasional di Indonesia yang tidak tunduk kepada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan nomor 6 tahun 2018.

Di dalam undang-undang tersebut, lanjut Doni, juga diberikan pilihan apakah karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah atau yang selama ini dikenal dengan istilah lockdown, dan PSBB.

"Jadi, kita semua sebelum pemerintah mencabut Perpres yang terkait dengan masalah kekarantinaan kesehatan, termasuk juga status berencana non alam skala nasional, maka kita semua berada di dalam koridor Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan," kata Doni.

"Artinya, semua orang dan seluruh pimpinan baik di pusat maupun daerah harus berorientasi kepada aturan hukum itu. Nah, pilihannya adalah PSBB," Doni menekankan.

Oleh sebab itu, semua daerah harus mengacu kepada keputusan itu dan tidak ada alasan bagi daerah untuk melonggarkan semua aktivitas masyarakat.

"Karena kita sadar sekali bahwa proses transmisi virus COVID-19 bukan dibawa oleh hewan, tetapi manusia. Makanya, pembatasan sosial menjadi program prioritas kita," kata Doni.

"Jadi, kalau kita ingin selamat, ingin menghentikan kasus ini, yang paling penting adalah bagaimana kita patuh terhadap protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak)," Doni mengingatkan.

3 dari 4 halaman

Respons Dokter dan Ilmuwan Terkait Kebijakan Anti-Lockdown

Sebelum WHO menyarankan agar tidak menjadikan lockdown sebagai cara utama mencegah COVID-19, sejumlah ilmuwan telah merilis pedoman anti-lockdown. Bahkan, ribuan ilmuwan dan pakar kesehatan telah bergabung dalam gerakan global yang memperingatkan "kekhawatiran besar" tentang kebijakan penguncian wilayah atau lockdown.

Hampir 6.000 ahli, termasuk yang dari Inggris, mengatakan pendekatan ini berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental serta masyarakat. Mereka menyerukan perlindungan untuk difokuskan pada yang rentan, sementara orang sehat dapat terus melanjutkan hidup mereka.

Deklarasi tersebut telah memicu peringatan oleh orang lain di komunitas ilmiah. Gerakan tersebut dikenal dengan nama "Great Barrington Declaration" yang mencerminkan beberapa peringatan dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh sekelompok dokter di Inggris.

Sebanyak 66 dokter, termasuk dokter Dr Phil Hammond dan Dr Rosemary Leonard dan sejumlah petugas medis yang pernah memegang peran senior di British Medical Association, telah menulis surat kepada kementerian kesehatan, mengatakan bahwa tidak ada penekanan yang cukup pada "bahaya non-Covid" dalam pengambilan keputusan.

Gerakan itu dimulai di AS.

Deklarasi tersebut kini telah ditandatangani oleh hampir 6.000 ilmuwan dan ahli medis di seluruh dunia serta 50.000 anggota masyarakat. Para ahli yang berbasis di Inggris yang telah menandatanganinya meliputi:

Dr Sunetra Gupta, seorang ahli epidemiologi di Universitas Oxford, Pakar self-harm dari Universitas Nottingham, Prof Ellen Townsend, Pemodel penyakit dari Edinburgh University Dr Paul McKeigue.

Mereka mengatakan, menjaga kebijakan penguncian sampai vaksin tersedia akan menyebabkan "kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dengan orang-orang yang kurang mampu akan dirugikan secara tidak proporsional".

Deklarasi tersebut merekomendasikan sejumlah langkah untuk melindungi yang rentan, termasuk pengujian rutin terhadap pekerja rumahan, dengan langkah sejauh mungkin untuk menggunakan staf yang telah memperoleh kekebalan.

Pensiunan orang yang tinggal di rumah harus mendapatkan bahan makanan dan kebutuhan penting lainnya yang dikirimkan, katanya.

Tindakan higienis sederhana, seperti mencuci tangan dan tinggal di rumah saat sakit tetap harus dilakukan oleh semua orang.

 

4 dari 4 halaman

4 Aturan Agar Negara Tidak Lockdown COVID-19 Lagi

Negara-negara seharusnya tidak mengurangi pembatasan penguncian Virus Corona COVID-19 sampai mereka memenuhi lima kriteria, menurut analisis baru yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet.

Dilansir CNN, Jumat (25/9/2020), penelitian yang diterbitkan Kamis 24 September, mengatakan bahwa prasyarat untuk mengurangi tindakan Virus Corona COVID-19 adalah: pengetahuan tentang status infeksi, keterlibatan masyarakat, kapasitas kesehatan masyarakat yang memadai, kapasitas sistem kesehatan yang memadai, dan kontrol perbatasan.

Para penulis mengamati sembilan negara dan wilayah berpenghasilan tinggi yang telah mulai melonggarkan pembatasan --Hong Kong, Jepang, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, Jerman, Norwegia, Spanyol, dan Inggris. Mereka menemukan bahwa banyak pemerintah gagal memenuhi kriteria yang diperlukan untuk menghindari gelombang baru infeksi, seperti yang terlihat di Spanyol, Jerman dan Inggris.

"Buktinya jelas. Jika kita mendapatkan kebangkitan penyakit, dari sejumlah kasus, maka mereka terbuka terlalu dini, itu semacam aksiomatik," rekan penulis Martin McKee, profesor kesehatan masyarakat Eropa di London School of Hygiene dan Tropical Medicine, kepada CNN.

1. Pemerintah Harus Tegas

Studi ini juga menemukan bahwa sistem pencarian, pengetesan, penelusuran dan bantuan yang efektif diperlukan untuk membuka kembali lockdown dengan aman. 

"Tidak ada negara yang melakukannya dengan sempurna, sebenarnya ... Inggris melakukannya dengan sangat buruk. Spanyol dan Prancis juga tidak melakukannya dengan sangat baik," kata McKee.

Penulis makalah tersebut mengatakan bahwa negara-negara harus mendasarkan keputusan tentang pelonggaran penguncian pada kombinasi epidemiologi dan konsekuensi sosial dan ekonomi dari pembatasan. Tidak peduli strategi yang dipilih, dikatakan bahwa pemerintah harus tegas terhadap tujuan mereka dan transparan dalam pengambilan keputusan, dan langkah yang diambil harus menjadi bagian dari strategi keseluruhan yang jelas, namun, ini tidak selalu terjadi.

Studi tersebut juga mengatakan "argumennya kuat" bagi negara-negara untuk mengadopsi strategi nihil Virus Corona COVID-19, seperti Selandia Baru, yang berarti menghilangkan penularan domestik. Salah satu alasannya adalah karena bertambahnya beban mereka yang selamat dari virus tetapi memiliki gejala lebih lama dari yang diharapkan, katanya.

2. Status Tingkat Kewaspadaan

Studi tersebut menemukan bahwa negara-negara seperti Singapura, Norwegia, Spanyol, dan (untuk wabah lokal) Inggris, mengikuti nasihat ahli untuk memutuskan bagaimana melonggarkan pembatasan. Namun, tanpa kriteria eksplisit dan publik, dasar di mana risiko diperkirakan sering "tidak jelas, dengan sedikit bukti bahwa pemahaman yang berkembang tentang penularan terkait aerosol telah dipertimbangkan."

Negara lain, termasuk Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan (dalam beberapa kasus) Inggris, mencabut atau menerapkan kembali pembatasan berdasarkan ambang epidemiologis. Negara-negara seperti Jepang memiliki kriteria yang menunjukkan berbagai faktor. Di Jerman, otoritas lokal bertanggung jawab untuk mencabut pembatasan yang tunduk pada mekanisme "rem darurat" yang mengharuskan daerah mempertimbangkan untuk menerapkan kembali lockdown  jika ada lebih dari 50 kasus harian baru per 100.000 penduduk selama tujuh hari berturut-turut. Hong Kong memiliki strategi serupa, sedangkan Selandia Baru memiliki sistem peringatan empat tingkat.

Singapura, Korea Selatan, dan Inggris juga memiliki tingkat kewaspadaan, tetapi kaitannya dengan tindakan tertentu tidak eksplisit, dan "tidak jelas apakah sistem Inggris sedang digunakan," menurut penelitian tersebut. Para peneliti menemukan bahwa prinsip bahwa negara tidak boleh membuka kembali sampai mereka memiliki sistem pengawasan yang berkualitas tinggi dan telah memastikan bahwa infeksi sedang ditekan, "sering kali diabaikan."

Data real-time terperinci sangat penting untuk secara akurat menghitung tingkat transmisi yang terjadi di suatu daerah dan menentukan cara membuka kembali, kata studi tersebut.

3. Kepercayaan Publik terhadap Virus

Demi mendapatkan kepercayaan publik agar negara dapat dibuka kembali dengan aman, komunitas harus "dilibatkan dan diberdayakan untuk melindungi diri mereka sendiri" dan saran harus "konsisten dan kredibel," menurut makalah tersebut, terutama untuk populasi yang paling rentan.

Namun, pesan tentang poin-poin seperti menjaga jarak fisik yang aman, masker wajah, dan bekerja dari rumah dalam banyak kasus membingungkan dan selalu berubah. Menurut penemuan para ilmuwan, hal ini mengakibatkan kurangnya kepercayaan dan dukungan publik.

"Sampai batas tertentu, Anda dapat membagi negara di dunia menjadi dua kelompok, kelompok influenza dan kelompok SARS / MERS," kata McKee.

"Negara-negara Asia pada dasarnya datang pada pemikiran ini, ini adalah penyakit yang harus kita atasi, karena jika kita tidak melakukannya, itu akan menjadi sangat buruk. "Negara-negara Barat lebih cenderung berpikir "kami tidak perlu terlalu khawatir," katanya.

Pelacak kontak telepon awal Inggris "sedikit berhasil", sementara Korea Selatan menggunakan catatan kesehatan, transaksi kartu kredit, GPS dan CCTV, dan Hong Kong mengandalkan sistem superkomputer polisi. Banyak negara kini telah meluncurkan aplikasi telepon.

Singapura, Korea Selatan, dan Inggris Raya menggunakan kembali ruang besar sebagai fasilitas perawatan komunitas, tetapi fasilitas Inggris kekurangan staf dan kurang digunakan dibandingkan dengan dua negara lainnya. Di beberapa negara, kekurangan ventilator telah menyebabkan keputusan penjatahan yang sulit, dan kekurangan alat pelindung diri (APD) telah memaksa staf medis untuk bekerja tanpa perlindungan yang memadai.

Staf medis di Spanyol mencapai lebih dari 10% dari total kasus, kata laporan itu. Lima contoh Asia Pasifik juga telah menerapkan langkah-langkah pengawasan perbatasan yang ketat, dengan Hong Kong, Selandia Baru, dan Singapura menutup perbatasan mereka untuk sebagian besar pengunjung dan mewajibkan pengujian dan karantina 14 hari, sementara negara-negara Eropa tetap membuka beberapa perbatasan dan lambat untuk meminta. pengujian rutin.

4. Sistem Yang Kuat dan Cermat

Banyak yang sekarang menghadapi "gelombang kedua," tetapi penulis mengatakan belum terlambat untuk menerapkan pelajaran ini. Mereka berkata "negara harus merencanakan dan mempersiapkan skenario terburuk. "Untuk menghindari kembalinya LOCKDOWN, negara-negara membutuhkan rencana yang jelas dan transparan yang menyatakan kriteria untuk pindah ke fase berikutnya dan tindakan yang diperlukan.

Mereka membutuhkan sistem yang kuat untuk memantau situasi infeksi dengan cermat; sistem yang efektif menemukan, menguji, melacak, mengisolasi, bantuan dan tindakan lanjutan untuk mengurangi penularan, seperti gelembung sosial dan masker. Masyarakat harus terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan, kata penulis. Analisis tersebut mengatakan isolasi berbasis institusi yang diadopsi oleh beberapa negara Asia tampak lebih efektif daripada isolasi berbasis rumah, seperti halnya penelusuran manual tradisional.

Dikatakan bahwa sistem ini harus didukung oleh investasi berkelanjutan di fasilitas kesehatan, pasokan dan tenaga kerja --seperti yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan Dana Moneter Internasional.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.