Sukses

OPINI: Pencalonan Amy Coney Barrett Muluskan Sapu Bersih Partai Demokrat di Pemilu AS?

Pencalonan Barrett menjadi isu utama Pemilu AS hanya 6 minggu menjelang pemilihan pada 3 November.

Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - Presiden AS Donald Trump telah secara resmi mengumumkan pencalonan Amy Coney Barrett, Hakim Federal Pengadilan Banding Sirkuit ke-7 yang bertugas di South Bend, Indiana, sebagai Hakim Agung pengganti Ruth Bader Ginsburg (RBG) yang meninggal pada 18 September lalu. Pencalonan Barrett menjadi isu utama pemilu AS hanya 6 minggu menjelang pemilihan pada 3 November dan diperkirakan cukup sedikit mengubah peta persaingan pilpres dan pemilihan anggota Senat dan DPR.

Trump optimistis pencalonan Barrett yang beraliran konservatif akan meningkatkan dukungan dari pemilih konservatif yang antusias dengan pencalonan Barret dan hal ini menjadi 'darah segar' bagi kampanyenya yang saat ini kedodoran menurut sebagian besar poling. Trump menjadi presiden petahana pertama dalam seperempat abad terakhir yang di minggu-minggu terakhir menjelang pilpres tertinggal oleh penantanggnya di poling-poling.

Menurut analisis FiveThirtyEight, jika pilpres digelar hari ini peluang Donald Trump untuk terpilih kembali hanya 23% dengan meraih 207 suara elektoral, sedangkan peluang Joe Biden mencapai 77% dengan 331 suara elektoral. Trump diprediksi akan kalah tidak hanya di semua swing state yang ‘direbut’ dari Obama pada 2016 yakni Michigan, Wisconsin, Pennsylvania, Florida dan Ohio, tapi juga di Arizona yang belum pernah dimenangkan capres Demokrat sejak 1996, serta Maine Distrik-2 dan Nebraska Distrik-2 yang pada 2012 memilih capres Partai Republik.

Pengangkatan Barrett Mengancam Roe v. Wade

Pencalonan Barrett menghadirkan persolan besar bagi para politisi Partai Demokrat dan aktivis liberal. Barrett adalah menganut Katolik taat dan menganut ideologi ultra-konservatif di mata kaum liberal. Menurut kajian Lee Epstein, Andrew D. Martin dan Kevin Quinn, tiga peneliti dari Washington University in St. Louis, Barrett lebih konservatif dari Neil Gorsuch dan Brett Kavanaugh, dua Hakim Agung pilihan Trump sebelumnya.

Barrett bahkan bisa lebih konservatif dari Semuel Alito, yang berdua dengan Clarence Thomas merupakan Hakim Agung ekstrim-kanan di Mahkamah Agung AS.

Menurut ketiga peneliti tersebut, Barrett, Thomas, Alito, Kavanaugh dan Gorsuch akan menciptakan "sebuah voting block sangat konservatif yang stabil dan bertahan sangat lama" sehingga mampu mewujudkan mimpi-mimpi kaum konservatif, termasuk pengetatan aturan aborsi, kebebasan melakukan kegiatan keagamaan di sekolah-sekolah umum, pelonggaran regulasi penggalangan dana pemilu dan kepemilikan senjata, dan menjadi kekuatan pendukung penting bagi presiden Partai Republik dalam menggolkan berbagai kebijakan pro-konservatif.

"Jika Anda menginginkan seseorang yang bisa diandalkan untuk membatalkan Roe v. Wade (putusan Mahkamah Agung AS yang menyatakan Konstitus melindungi kebebasan wanita hamil untuk melakukan aborsi tanpa pembatasan ketat dari pemerintah), maka Barrett lah orangnya," kata John Kastellec, profesor politik dari Princeton University, kepada Amelia Thomson-DeVeaux, dari FiveThirtyEight.

Rencana Donald Trump menjadikan Barrett sebagai Hakim Agung sebelum 3 November, atau hanya 36 hari lagi, sangat tidak lazim. Menurut catatan sejarah, konfirmasi Hakim Agung paling tidak membutuhkan waktu 50 hari dan melibatkan para Senator dari kedua partai. Dengan dengar pendapat pertama akan dilakukan pada 12 Oktober dan konfirmasi direncanakan pada 22 Oktober, pengangkatan Barrett akan memecahkan rekor sebagai konfirmasi Hakim Agung super cepat dalam sejarah, sekaligus paling partisan karena kemungkinan besar hanya akan didukung oleh 53 Senator Partai Republik.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rencana Besar Trump dengan Pengangkatan Barrett

Trump punya dua rencana besar dalam jangka pendek dengan pengangkatan Barrett yang terkesan terburu-buru ini. Pertama, Trump ingin mamaksimalkan dukungan kaum konservatif, khususnya pemilih Katolik yang dukungannya terhadap Trump jauh menurun dibandingkan empat tahun lalu.

Menurut CNN Exit Poll, pada pilpres 2016 Trump meraih 50% suara pemilih Katolik, sementara Hillary Clinton 46%. Tapi poling EWTN News/RealClear Opinion yang dirilis 21 September lalu menunjukkan, Trump hanya meraih 41% dukungan pemilih Katolik, sementara Biden sebagai capres penganut Katolik didukung oleh 53% pemilih Katolik.

Pemilih Katolik mencapai 23% dari seluruh pemilih AS, hampir setara dengan gabungan pemilih Hispanik dan kulit hitam yang menurut Pew Research Center masing-masing mencapai 13.3% dan 12.5% dari seluruh pemilih. Anjloknya marjin keunggulan Trump dari pemilih Katolik dari +4% empat tahun lalu menjadi -12% saat ini tentunya akan semakin memperkecil peluang Trump untuk mengalahkan Biden di 3 November nanti. Apalagi beberapa swing states utama seperti Pennsylvania, Wisconsin dan Arizona memiliki populasi umat Katolik yang cukup signifikan.

Alasan kedua Trump buru-buru mengangkat Barrett adalah untuk memenangkan perkara di MA jika hasil pilpres 2020 menuai sengketa. Dalam berbagi kesempatan, Trump mengatakan bahwa jika dia kalah di pilpres, itu karena Partai Demokrat telah berbuat curang, terutama karena banyak pemilih pro-Demokrat melakukan 'pencoblosan' secara ilegal dengan kertas suara yang dikirim melalui pos atau mail in voting.

Skenarionya adalah ketika hasil perhitungan suara menunjukkan Biden menjadi pemenang pilpres, Trump akan menolak hasil pilpres dengan tuduhan pilpres ini sarat manipulasi suara (rigged). Trump kemudian akan membawa sengketa pilpres tersebut ke MA yang dengan naiknya Barrett memiliki 6 Haking Agung konservatif dan 3 Hakim Agung liberal. MA kemudian akan membuat putusan perkara yang membuat Trump menjadi presiden lagi.

Pemilih Demokrat Akan Lebih Termotivasi

Realitas pilpres di lapangan mungkin tidak seperti yang dibayangkan Trump dan para politisi Republik yang menjadi enabler-nya. 'Konservativisasi' MA dalam jangka panjang memang bisa membantu mewujudkan mimpi-mimpi para pendukung Partai Republik seperti terbitnya aturan aborsi yang ketat di seluruh AS dan 'kembalinya Tuhan' ke sekolah-sekolah umum AS yang sejak abad ke-19 sudah mengalami sekularisasi. Tapi untuk kepentingan politik jangka pendek, pengangkatan Hakim Agung anti-aborsi di minggu-minggu terakhir sebelum pilpres memiliki efek kebalikan yang tidak diharapkan.

Berdasarkan data Pew Research Center, pemilih AS pada 2020 akan didominasi pemilih Millennial (27%), Gen-Z (10%) dan Gen-X (25%). Pemilih di kelompok usia ini cenderung lebih liberal. Kelompok di atasnya yakni Baby-Boomers dan Silent Generation yang lebih konseravatif hanya mencapai 38% dari total pemilih.

Suara kaum perempuan juga tidak bisa diabaikan. Pemilih perempuan selalu menjadi suara mayoritas di setiap pemilu di AS sejak 56 tahun lalu dan mayoritas pemilih perempuan AS selalu memilih capres Partai Demokrat. Salah satu alasannya, Partai Demokrat lebih peduli hak reproduktif kaum perempuan ketimbang Partai Republik. Para politisi dan aktivis Partai Republik kerap berpandangan ekstrim dalam hal larangan aborsi, seperti tidak mengizinkan aborsi bagi wanita hamil korban perkosaan atau hubungan sedarah.

Jika Partai Republik belajar dari pemilu sela (mid-term election) November 2018 lalu, mereka pantas khawatir. Saat itu, pengangkatan Brett Kavanaugh yang anti-aborsi yang juga dituding melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa perempuan telah memobilisasi jutaan pemilih perempuan ke TPS-TPS.

Pemilih perempuan menjadi penentu keberhasilan Partai Demokrat merebut 40 kursi DPR dan memenangkan pemilihan gubernur di Kansas, Michigan, Wisconsin, Nevada, New Mexico, Illinois, Maine, Guam dan US Virgin Islands. Dalam pemilu sela tersebut, marjin dukungan kaum perempuan terhadap calon-calon Partai Demokrat mencapai +19% secara nasional, tertinggi sejak tahun 1992.

Beberapa indikator awal menunjukkan, aksi sapu bersih Partai Demokrat di 2018 bisa jadi akan terulang pada tahun ini. Menurut laporan CNBC, kematian RBG memicu kenaikan pendaftaran pemilih baru yang difasilitasi oleh lembaga non-partisan Vote.org. Dalam beberapa hari pasca kematian RBG, pendaftaran pemilih melalui Vote.org naik 118% dibanding minggu sebelumnya. Para pemilih baru tersebut didominasi kaum muda dan 62% di antaranya adalah pemilih perempuan.

Isu pengangkatan Hakim Agung konservatif juga meningkatkan pundi-pundi tim Partai Demokrat dengan kontribusi sebesar US$160 juta melalui ActBlue, lembaga teknologi nirlaba pro-Demokrat yang membantu menggalang kontribusi secara online dari small-dollar donors, dalam beberapa hari saja. Hal ini memberi amunisi tambahan bagi Biden dan para politisi Partai Demokrat yang saat ini sudah mengungguli Trump dan Partai Republik dalam penggalangan dana kampanye.

Meningkatnya dukungan pemilih kaum muda dan perempuan dan sumbangan dana terhadap Biden dan para politisi Partai Demokrat membantu Biden tetap unggul di sebagian besar swing states. Para calon anggota Senat Partai Demokrat juga semakin kompetitif dan diprediksi akan mengalahkan Senator petahana Partai Republik di Maine, Colorado, North Carolina, Arizona dan Iowa, sekaligus meraih suara mayoritas di Senat. Di samping itu, Partai Demokrat diprediksi akan dapat mempertahankan suara mayoritas di DPR.

 

3 dari 3 halaman

Mahkamah Agung AS Tidak Seperti yang Dipikirkan Trump

Trump sebagai pebisnis terbiasa dengan praktek ‘quid pro quo’ yakni mengharap imbal jasa dari setiap orang yang diberi hadiab berupa jabatan atau lainnya. Pengangkatan Barrett sebagai Hakim Agung juga dibumbui dengan ekspektasi serupa: karena Trump sudah memberi jabatan elit di MA, maka Barrett (bersama-sama dengan Kavanaugh dan Gorsuch) akan memenangkan Trump dalam perkara sengketa hasil pilpres yang mungkin akan terjadi.

MA yang konservatif bisa saja memenangkan perkara capres Partai Republik jika sengketa pilpes yang hanya di 1-2 negera bagian dan melibatkan selisih suara tipis, seperti kasus hitung ulang suara di Florida pada pilpres 2000. Yang menjadi masalah, Trump keteteran melawan Biden tidak hanya di 1-2 swing states, tapi di SEMUA swing states kecuali Iowa, Georgia dan Texas yang memang lebih Republican.

Jadi jika sengketa hasil pilpres terjadi di banyak negara bagian dan melibatkan selisih suara yang cukup besar, MA tidak bisa dengan mudah membuat putusan yang pada akhirnya membuat Trump terpilih kembali.

Di samping itu, terlepas dari orientasi idealoginya, semua Hakim Agung AS adalah pejabat karir yang secara umum punya reputasi baik dan memegang teguh Konsitusi. Mereka juga bukan robot yang bekerja dari hari ke hari secara mekanis tanpa pernah berubah.

Analisis Amelia Thomson-DeVeaux, Laura Bronner dan Elena Mejía dari FiveThirtyEight mengungkapkan fakta bahwa sejumlah Hakim Agung konservatif mengalami atau pernah mengalami pergeseran ideologi.

Misalnya John Roberts, Ketua MA saat ini yang diangkat oleh George W. Bush pada 2005. Sepanjang karirnya yang sudah lebih dari 14 tahun, Roberts yang konservatif semakin moderat dan sering bergabung dengan kubu liberal dalam membuat putusan perkara yang menguntungkan kaum liberal.

Anthony Kennedy, Hakim Agung konservatif yang diangkat oleh Presiden Ronald Reagan pada 1988 dan pensiun pada 2018, mengalami pergeseran ideologi serupa, bahkan pada rentang waktu tertentu sempat dicap sebagai Hakim Agung liberal.

Hal yang paling ekstrim terjadi pada Hakim Agung Harry Blackmun yang diangkat oleh Presiden Richard Nixon. Blackmun memulai karir pada 1970 sebagai Hakim Agung konservatif, tapi pensiun pada 1994 sebagai Hakim Agung paling liberal di MA pada saat itu.

Menurut para pengamat MA, fenomena munculnya swing justice atau Hakim Agung MA yang berubah orientasi ideologinya terutama didorong oleh mekanisme internal di kalangn Hakim Agung untuk menjaga reputasi MA sebagai lembaga hukum tertinggi yang adil dan non-partisan. Faktor pendorong lainnya adalah opini publik yang berkembang pada saat MA akan memutuskan suatu perkara.

Dan opini publik bisa menjadi batu sandungan terbesar bagi Trump dalam upayanya meraih dukungan MA. Tingkat kesukaan publik (favorability rating) terhadap Trump saat ini sangat buruk, mencapai -12.6% menurut RealClearPolitics. Sedangkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Trump (Trump job approval) lebih buruk lagi, mencapai -14% menurut Gallup Presidential Job Approval Center.

Selain itu, semua poling terkait pencalonan Barrett —termasuk yang dirilis oleh Rassmusen yang sangat Trump-friendly-- menunjukkan, mayoritas responden menyatakan pemenang pilpres lah yang paling berhak memilih Hakim Agung pengganti RBG, bukan Trump.Dengan opini publik yang sangat tidak ramah terhadap Trump, pertaruhan reputasi institusi hukum tertinggi AS ini akan sangat besar jika MA yang konservatif berpihak pada Trump dalam sengketa pilpres tanpa didukung oleh data-data yang valid dan dasar hukum yang kuat.

Kesimpulan

Pengangkatan hakim Amy Corey Barrett sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung AS dalam jangka panjang berpotensi menguntungkan kaum konservatif karena dengan suara konservatif dan liberal 6 banding 3, MA akan berada di pihak mereka dalam sebagian perkara hukum yang dibawa ke institusi hukum tertinggi di AS ini. Tapi MA akan senantiasa menjaga reputasinya sebagai institusi yang adil dan non-partisan sehingga selalu akan ada swing justice yang membuat sejumlah putusan MA akan bersifat moderat atau bahkan cenderung liberal.Pengangkatan Barrett diperkirakan akan memobilisasi pemilih konservatif yang masih enggan mencoblos ke kubu Trump dan Partai Republik di pemilu 3 November nanti.

Tapi reputasi Barrett sebagai hakim ulrta-konservatif yang sangat pro-aborsi juga akan meningkatkan dukungan kaum muda dan perempuan terhadap Biden dan calon-calon Senator dan anggota DPR Partai Demokrat, sehingga Partai Demokrat berpotensi mengulang keberhasilan Obama pada pilpres 2008: meraih trifekta politik dengan menduduki Gedung putih dan meraih suara mayoritas di DPR dan Senat.

Worst case scenario pemilu 2020 yakni Biden menang tapi Trump tidak megakui kekalahan di pilpres dan membawa sengketa tersebut ke MA yang dikuasi oleh Hakim Agung konservatif tidak mesti menghasilkan keputusan yang membuat Trump menjadi pemenang. MA paling konservatif sekali pun akan tetap mengacu pada Konstitusi dan mempertimbangkan opini publik dalam memutuskan suatu perkara, termasuk dalam sengketa pilpres.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.