Sukses

Terkuak, Pencairan Lempeng Es di Antarktika Sejak 1994 Setara Air Grand Canyon AS

Selama 25 tahun, pengamatan satelit telah digunakan untuk merekonstruksi sejarah rinci lempengan es Antarktika, Badan Antariksa Eropa (ESA) mengkonfirmasi maraknya pencairan lempengan es.

Liputan6.com, Antarktika - Selama 25 tahun, pengamatan satelit telah digunakan untuk merekonstruksi sejarah rinci lempengan es Antarktika. Lempeng es ini adalah tonjolan gletser mengambang yang mengalir dari daratan, dan mengelilingi seluruh benua.

Melansir BBC, Rabu (12/8/2020), set data Badan Antariksa Eropa mengkonfirmasi maraknya pencairan lempengan es. Secara keseluruhan, mereka telah kehilangan hampir 4.000 gigaton sejak 1994, setara dengan air yang bisa memenuhi Grand Canyon Amerika.

Tetapi inovasi di sini bukanlah fakta bahwa lempengan es bisa kehilangan massa, namun fakta bahwa air laut yang relatif hangat memakan bagian bawahnya. Ini merupakan pernyataan yang tepat tentang di mana dan kapan pencairan telah terjadi, dan ke mana lelehan air telah pergi.

Sebagian dari lelehan air ini telah memasuki laut dalam di sekitar Antarktika dan tidak diragukan lagi pasti memengaruhi sirkulasi laut. Dan ini bisa berdampak pada iklim jauh di luar kutub selatan.

"Misalnya, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa efek pencairan es Antarktika akan memperlambat kenaikan suhu lautan global, dan itu bisa menyebabkan peningkatan curah hujan di AS," jelas Susheel Adusumilli dari Scripps Institution of Oceanography di San Diego.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pesawat ESA Lacak Perubahan Ketebalan Es

Adusumilli dan rekannya menganalisis semua pengamatan yang dilakukan oleh rangkaian panjang misi radar altimeter ESA - ERS-1, ERS-2, EnviSat dan CryoSat-2. Pesawat luar angkasa ini telah melacak perubahan ketebalan di lapisan es Antartika sejak awal 1990-an.

Menggabungkan data mereka dengan informasi dari sumber lain, dan keluaran model computer, tim Scripps telah memperoleh tampilan resolusi tinggi dari pola pencairan selama periode studi.

Seperti yang diharapkan, ada cukup banyak variasi, pencairan dan pertambahan massa dalam lempengan yang sama. Dan laju kehilangan massa dari waktu ke waktu juga naik dan turun. Tapi gambaran keseluruhannya jelas: lempengan-lempengan itu mencair dengan percuma.

"Kami melihat bahwa pencairan selalu di atas nilai stabil," kata Adusumilli kepada BBC News. "Anda perlu sejumlah pencairan untuk menjaga keseimbangan lapisan es. Tapi apa yang telah kita lihat adalah jumlah pencairan di lautan lebih dari yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangannya."

 

3 dari 4 halaman

Dapat Melacak di Mana dan ke Mana Es Mencair

Aspek yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa para ilmuwan sekarang juga dapat melacak di mana tepatnya pencairan itu terjadi. Beberapa dari tempat-tempat es terapung ini membentang ratusan meter di bawah permukaan laut. Para peneliti dapat mengetahui dari data satelit apakah pencairan terjadi di dekat bagian tertipis lempengan atau di bagian depan, atau jauh di tempat di mana es gletser keluar dari daratan pertama kali.

"Informasi semacam itu dapat memberi tahu kita banyak hal tentang sesuatu yang terkait dengan proses pencairan, cara kerjanya dan efek yang ditimbulkan oleh air lelehan," kata Prof Helen Fricker dari Scripps.

4 dari 4 halaman

Menyebabkan Konsekuensi Tak Langsung

Lapisan es yang menipis tidak berkontribusi langsung pada kenaikan permukaan laut. Itu karena es yang mengapung telah menggantikan volume air yang setara.

Tetapi ada konsekuensi tidak langsung. Jika lempengan itu melemah, daratan es di belakang dapat mengalir lebih cepat ke laut, dan ini akan menyebabkan kenaikan permukaan laut.

"Sekarang kami benar-benar dapat mengidentifikasi bagian-bagian lempengan es yang paling berpengaruh. Akan ada banyak ahli kelautan yang menghabiskan banyak waktu untuk melihat di mana pelelehan dan penipisan sebenarnya terjadi, dan mencoba bekerja tahu persis mengapa daerah-daerah itu telah terpengaruh. "

 

Reporter: Vitaloca Cindrauli Sitompul

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.