Sukses

Presiden Erdogan: Perubahan Status Hagia Sophia Urusan Internal Turki

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa perubahan status Hagia Sophia adalah urusan internal negaranya.

Liputan6.com, Ankara- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa perubahan status Hagia Sophia adalah urusan internal negaranya. 

Selain itu, Presiden Erdogan juga meminta negara-negara lain untuk menghormati keputusan akhir yang akan dibuat Turki, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Senin (13/7/2020).

Pernyataan itu disampaikan oleh Presiden Erdogan kepada Kriter, "Pembuat keputusan akhir tentang status Hagia Sophia adalah milik Turki, bukan yang lain. Ini urusan internal kami".

Presiden Erdogan menekankan bahwa negara-negara lain harus menghormati keputusan negaranya.

Selain itu, ia juga menambahkan bahwa perubahan dari masjid ke museum pada tahun 1934 merupakan "keputusan yang menyakitkan bagi negaranya."

Kritik domestik dan asing atas keputusan tersebut diabaikan oleh Presiden Erdogan, dengan menyebutkan bahwa argumentasi mereka "tidak memiliki nilai" di pengadilan.

Pengadilan tinggi Turki pada 10 Juli telah membatalkan dekrit kabinet yang sudah diterapkan sejak tahun 1934 atau 85 tahun lamanya, yang mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum.

Bangunan itu, disebutkan dalam putusan merupakan milik yayasan yang didirikan oleh Sultan Mehmet II, penakluk Istanbul, yang dipersembahkan sebagai masjid.

Pada awalnya, selama berabad-abad, Hagia Sophia merupakan katredal di bawah Kekaisaran Bizantium, dan kemudian berubah menjadi masjid setelah penaklukan Istanbul pada tahun 1453.

Situs Warisan Dunia UNESCO itu akan siap digunakan untuk fasilitas shalat Jumat pada 24 Juli, menurut pernyataan Presiden Erdogan.

Saksikan Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pendapat Para Ahli

Menurut para ahli, keputusan perubahan itu akan memungkinkan Presiden Erdogan untuk memperkuat pendukungnya dan memecah oposisi. 

Peneliti di French Institute for Anatolian Studies, Jean Marcou, menyebutkan bahwa "Status museum Hagia Sophia dilihat oleh banyak orang yang mendukung pemerintah Erdogan sebagai perampasan," seperti dikutip dari AFP.

"Tujuan Erdogan adalah menegaskan kembali kekuatan Turki dan Muslim dengan pendekatannya secara nasional seperti halnya agama," ujar Jean Marcou. 

Sementara menurut direktur German Marshall Fund di Ankara, Ozgur Unluhisarcikli langkah itu tentu dapat memenangkan hati mayoritas masyarakat Turki "akan mendukung keputusan seperti itu untuk sentimen keagamaan atau nasionalis".

Ozgur Unluhisarcikli mengatakan kepada AFP, "Ini adalah debat dimana Presiden Erdogan tidak bisa dikalahkan dan oposisi tidak bisa menang. Faktanya,persoalan ini juga berpotensi untuk memecah oposisi". 

Selain itu, menurut Ozgur Unluhisarcikli, para pemilih tradisional Partai Rakyat Republik (CHP) juga tidak terlalu tertarik pada masa lalu Ottoman.

"(Tetapi) mereka sangat sadar akan kedaulatan dan beberapa dari mereka dapat mendukung keputusan itu hanya karena yang lain mengatakan kepada Turki bahwa mereka tidak dapat melakukan ini," tutur Ozgur Unluhisarcikli. 

Firma penilaian risiko Verisk Maplecroft, Anthony Skinner, menyebutkan bahwa "Keputusan ini dimaksudkan untuk mencapai skor poin dengan konstituen Erdogan yang beriman dan nasionalis".

Anthony Skinner menyampaikan, "Hagia Sophia bisa dibilang simbol paling terkenal dari masa lalu Ottoman Turki, yang juga merupakan salah satu yang Presiden Erdogan manfaatkan untuk memperkuat pendukungnya sambil mengecam saingan domestik dan asing."

Transformasi Hagia Sophia menjadi masjid yang menentang Barat "konsisten dengan kebijakan luar negeri Turki yang kuat", jelas Anthony Skinner, seraya menambahkan bahwa "Itu konsisten dengan proyeksi pemerintah di Mediterania timur dan Libya."

Mengubah status Hagia Sophia akan "memindahkan Turki lebih jauh dari sekutu Baratnya, dan mempengaruhi hubungan Yunani-Turki, juga kemungkinan menghambat hubungan Rusia-Turki, kata Jean Marcou. 

"Secara simbolis, keputusan seperti itu akan muncul sebagai titik puncak bagi Turki yang secara sistematis melakukan serangan di semua kawasan konflik regional, yang diantaranya adalah Suriah, Irak, Libya dan Mediterania timur," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.