Sukses

Muncul Wabah Pes, China Tutup Tempat Wisata

Kasus bubonic atau wabah pes dilaporkan muncul dalam beberapa hari terakhir di Mongolia Dalam. Karena itu, China segera menutup beberapa tempat wisata di wilayah tersebut.

Liputan6.com, Beijing- Beberapa tempat wisata telah ditutup pihak berwenang China di wilayah Mongolia Dalam setelah kemunculan kasus bubonic atau wabah pes dalam beberapa hari terakhir. 

Dikutip dari CNN, Kamis (9/7/2020), kasus tersebut dilaporkan ditemukan tempat wisata pemandangan padang rumput di Bayannur, yang terletak di barat laut ibukota Negeri Tirai Bambu. 

Menurut laporan Xinhua, lima titik pemandangan padang rumput di Bayannur kini telah ditutup, dengan pengunjung yang "sangat dilarang memasuki daerah yang terkena dampak dan mengunjungi wilayah sekitarnya."

Selain itu, Pemerintah China di wilayah Mongolia Dalam juga menerapkan manajemen yang lebih ketat terhadap lokasi wisata padang rumput lainnya. 

Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk memastikan pengunjung tidak memberi makan atau menyentuh hewan liar, dan untuk mengurangi populasi tikus atau kutu yang diyakini membawa penyakit itu, menurut Xinhua.

Kasus bubonic pertama kali dikonfirmasi oleh otoritas rumah sakit di Bayannur. Pasien yang mengalami penyakit itu dilaporkan tengah menjalani isolasi dan perawatan dengan kondisi stabil. 

Untuk peringatan dalam pencegahan wabah, kota tersebut diberikan status di bawah Level 3, yang merupakan terendah kedua dalam sistem empat tingkat. 

Hingga pada 7 Juli, dokter setempat secara resmi mendiagnosis kasus itu sebagai wabah pes.

 

Saksikan Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pernah Menjadi Pandemi Paling Mematikan dalam Sejarah Manusia

Disebabkan oleh bakteri dan ditularkan melalui gigitan kutu serta hewan yang terinfeksi, bubonic atau wabah pes diketahui juga pernah menjadi pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia.

Fenomena itu disebut sebagai Black Death, dimana sekitar 50 juta orang di Eropa meninggal karena terpapar bubonic pada zaman Abad Pertengahan.

Adapun beberapa macam efek penyakit pada fisik yang disebabkan oleh wabah pes, yang diantaranya adalah kelenjar getah bening yang membengkak, serta demam, kedinginan, dan batuk.

Namun para ilmuwan dan ahli memperingatkan masyarakat untuk tetap tidak panik pada kasus-kasus baru, karena meskipun wabah pes  tidak pernah benar-benar hilang, komplikasi dan kematian dapat dicegah bila diberikan antibiotik modern dengan segera.

Menurut laporan China Daily, WHO sedang terus memantau kemunculan wabah bubonic itu dalam kemitraan dengan otoritas China dan Mongolia.

Selain itu, Otoritas kesehatan Bayannur juga memberikan peringatan terhadap masyarakat untuk melaporkan temuan marmut yang mati atau sakit, serta untuk tidak memburu, menguliti atau memakannya.

Marmut diketahui merupakan salah satu hewan yang dimakan di beberapa bagian wilayah China dan Mongolia, yang secara historis menyebabkan kemunculan bubonic atau wabah pes di wilayah tersebut.

3 dari 3 halaman

Tindakan Pencegahan di Rusia

Selain China, kasus-kasus bubonic juga membuat pihak berwenang di Rusia, yang berbatasan dengan Mongolia, untuk memperingatkan warga di daerah perbatasan agar tidak berburu atau mengkonsumsi daging marmut, serta mengambil tindakan pencegahan terhadap gigitan serangga.

Kantor berita pemerintah Rusia, yaitu RIA Novosti menyampaikan pernyataan Kedutaan Besar Rusia di Mongolia yang mengatakan bahwa "tidak perlu untuk khawatir" karena pihak berwenang Mongolia telah memberlakukan pembatasan perjalanan dan mengisolasi mereka yang terinfeksi.

Selain itu, Kedubes Rusia juga mengutip Perwakilan WHO di Mongolia, Sergei Diorditsu, yang mengatakan bahwa wilayah itu melihat adanya wabah musiman itu, demikian menurut laporan RIA Novosti.

Kedutaan itu juga memaparkan, "Ada fokus alami (bakteri, reservoir hewan, dan vektor) wabah di Mongolia dan penyakit ini disebarkan oleh tarbagan (marmut Mongolia)."

"Masalahnya adalah bahwa penduduk setempat yang, terlepas dari semua larangan dan rekomendasi dari pemerintah setempat, terus memburu hewan-hewan itu dan memakannya, karena dianggap sebagai makanan lokal yang menggugah selera," kata Kedubes Rusia tersebut. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.