Sukses

PBB Serukan Agar AS Lebih Aktif Cegah Konflik di Libya

Sirte adalah kota strategis Libya di sepanjang Laut Tengah yang diakui Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) PBB yang dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Sarraj.

Liputan6.com, New York - PBB memperingatkan risiko yang membayangi kehidupan puluhan ribu warga sipil di kota pantai Libya. Badan dunia itu menyerukan agar Amerika memainkan peran diplomatik yang lebih aktif untuk mencegah konflik lebih lanjut di negara kaya minyak itu.

"Terdapat 60.000 warga sipil dalam bahaya di kota Sirte sekarang," kata Stephanie T. Williams, penjabat perwakilan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Libya, Kamis (25/6).

Sirte adalah kota strategis Libya di sepanjang Laut Tengah yang diakui Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) PBB yang dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Sarraj, telah berjanji untuk merebut kembali dari Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.

Kota ini telah menjadi tempat beberapa konflik berdarah selama sembilan tahun terakhir.

Pada Februari 2015, kelompok teroris ISIS merebut dan mempertahankan kendali atas Sirte selama lebih dari setahun.

Pada 2016, GNA merebut kembali kota itu dari para ekstremis ISIS, tetapi kemudian kalah dalam pertempuran dengan pasukan Haftar.

Pada bulan Januari, Turki mulai mengerahkan pasukan ke Libya dan mengubah gelombang konflik yang lebih menguntungkan GNA.

Sejak itu, GNA telah mencapai serangkaian kemenangan teritorial utama melawan LNA dan kini mengincar untuk merebut kembali kota Sirte.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rusia Sambut Upaya AS untuk Mediasi Konflik di Libya

Sebelumnya, Sergei Lavrov Menteri Luar Negeri Rusia mengatakan, akan menyambut segala upaya Amerika untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Turki dalam menyusun gencatan senjata di Libya, di mana Turki dan Rusia mendukung pihak-pihak yang bersengketa dalam perselisihan yang semakin keras.

Minggu lalu Turki menolak rencana gencatan senjata yang diajukan Jenderal Khalifa Haftar dan didukung Mesir. Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu mencela bahwa jenderal itu hanya menginginkan gencatan senjata karena kalah di medan perang, dan mengatakan prakarsa gencatan senjata yang disuarakan Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sissi, "sudah mati sebelum dijalankan."

Pasukan komando wilayah timur dukungan Rusia bulan lalu terpaksa menghentikan pengepungan 14 bulan atas ibukota Libya Tripoli, menyusul peningkatan besar-besaran dukungan militer Turki terhadap pemerintahan di Tripoli yang diakui secara internasional.

Lavrov dan Menteri Pertahanan Rusia tiba-tibamembatalkan rencana kunjungan hari Minggu ke Turki untuk mengupayakan perundingan gencatan senjata. Sebagian diplomat Barat menafsirkan permintaan Lavrov pada Amerika sebagai suatu perubahan besar bagi Rusia, yang di masa lalu mengkritik keterlibatan Barat di Libya, sebagai tanda meningkatnya kekesalan di Moskow atas merosotnya kekuatan Haftar di medan perang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.