Sukses

HEADLINE: Banyak Negara Longgarkan Lockdown, Bisa Picu Gelombang Kedua Corona COVID-19?

COVID-19 telah menginfeksi 3,6 juta manusia dan menewaskan lebih dari 252 ribu jiwa. Saat sejumlah negara melonggarkan karantina wilayah, ancaman baru membayangi?

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pandemi menyertai sejarah peradaban manusia, meski kita mungkin tak pernah menyangka, wabah dengan skala sebesar COVID1-9 terjadi pada era modern. Bermula di Wuhan, China pada akhir 2019, hingga saat ini belum diketahui kapan ia akan tamat. 

Skenario terburuk, COVID-19 yang dipicu virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) tak hanya menyerang sekali. Seperti yang terjadi seabad lalu, tepatnya pada 1918. Di tengah kecamuk Perang Dunia I, pandemi flu Spanyol melanda, menewaskan 50 juta penduduk Bumi. Dilaporkan, wabah menyerang dalam tiga gelombang. 

Sementara, COVID-19 telah menginfeksi setidaknya 3,6 juta manusia dan menewaskan lebih dari 252 ribu jiwa. Itu baru satu gelombang. Kekhawatiran soal potensi terjadinya terjangan kedua kian mengemuka belakangan ini, seiring keputusan sejumlah negara untuk melonggarkan bahkan mencabut aturan lockdown atau karantina wilayah. 

Para ahli dan pengamat menganjurkan agar kita menengok ke belakang, kala flu Spanyol terjadi 102 tahun lalu. Juga ke pandemi-pandemi flu berikutnya, meskipun lebih ringan, termasuk yang terjadi pada 1957 dan 1968. Benang merahnya, wabah terjadi lebih dari satu gelombang. 

Begitu pula dengan pandemi influenza A H1N1 yang terjadi pada 2009. Penyakit ditemukan berjangkit di Amerika Serikat pada April, di tengah musim semi lalu menyebar ke negara-negara belahan bumi utara (Northern Hemisphere) yang beriklim sedang di musim gugur. Itu adalah gelombang kedua.  

Meski gelombang kedua dan puncak sekunder dalam periode pandemi secara teknis berbeda, namun pada dasarnya kekhawatirannya sama, penyakit itu akan bangkit kembali.

Justin Lessler, seorang profesor epidemiologi di Universitas Johns Hopkins, menulis dengan tegas di Washington Post pada Maret 2020. "Epidemi seperti api. Ketika bahan bakar berlimpah, mereka mengamuk tak terkendali, dan ketika (bahan bakar) langka, mereka membara perlahan," ungkapnya.

Ia menyebut intensitas ini sebagai 'kekuatan infeksi', dan bahan bakar yang menggerakkannya adalah kerentanan populasi terhadap patogen. Karena gelombang epidemi yang berulang mengurangi kerentanan, baik melalui kekebalan lengkap atau sebagian, mereka juga mengurangi kekuatan infeksi, menurunkan risiko penyakit, bahkan di antara mereka yang tidak memiliki kekebalan.

Masalahnya, tidak diketahui berapa banyak bahan bakar yang masih tersedia untuk virus pemicu COVID-19.

Infografis Deretan Negara Longgarkan Lockdown Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute, Amin Soebandrio menilai, gelombang kedua COVID-19 dapat dicegah bila masyarakat di negara yang dicabut atau dilonggarkannya lockdown tetap menjaga protokol layaknya saat karantina berlaku. Seperti aturan memakai masker dan cuci tangan harus tetap dipatuhi.

"Bahkan beberapa rekomendasi,  walaupun nanti pandemi sudah dikatakan berakhir atau untuk yang merasa sudah bisa mengendalikan, itu tetap harus diberlakukan. Jadi menggunakan masker, physical distancing, cuci tangan itu semua harus dilakukan walaupun pandemi sudah berakhir karena kita mengantisipasi virusnya itu masih circulating hanya saja tidak ada yang bergejala lagi" katanya kepada Liputan6.com, Selasa (5/5/2020).

Protokol itu, sambung dia, perlu dilakukan terus paling tidak selama satu tahun. Jadi perilaku masyarakat juga perlu berubah. "Misalkan di Jepang itu sudah kesadaran sendiri, kalau agak flu sedikit atau batuk sedikit pasti pakai masker. Kemudian juga hygiene per orangan juga dipelihara, kebersihan lingkungan juga demikian. Jadi memang harus menjadi habit dan gaya hidup dan perilaku sehari-hari."

Menurutnya, gelombang kedua akan lebih besar dari yang pertama sangat tergantung dari virusnya. "Artinya apakah dia bermutasi, bermutasi maksudnya si virus itu ingin beradaptasi dengan lingkungan," ujar Amin.

"Mutasi virus terjadi secara random, bisa bagus untuk dia, bisa juga tidak bagus untuk dia. Bagus untuk virusnya, tidak bagus untuk manusia bisa saja. Dan itu secara random misalkan sekelompok virus yang kebetulan mutasinya menyebabkan dia bisa lebih cepat menyebar atau lebih berat, itu bisa. Kemudian bisa terjadi second wave," imbuh Amin.

Sementara itu, Ahli Kesehatan Masyarakat, Hasbullah Thabrany mengatakan, publik perlu mewaspadai ancaman gelombang kedua penyebaran pandemi Corona COVID-19. Jika menilik pada wabah flu Spanyol yang terjadi seabad lalu, gelombang kedua muncul setelah serangan pertama.

"Virus begini memang pengalaman 100 tahun yang lalu juga menunjukkan ada 3 gelombang ya," kata dia.

Menurutnya, daya tahan tubuh benar-benar menjadi kekuatan yang bisa dipakai untuk melawan Virus Corona COVID-19. Mengingat hingga saat ini belum ada vaksin yang ditemukan.

Selain itu, masyarakat juga harus mampu membuat semacam evaluasi terhadap diri masing-masing. Hal ini penting agar untuk menghindar dari kemungkinan tertular.

"Buat yang muda insyaallah masih lebih aman, buat yang tua jangan keluar rumah kecuali dalam posisi sendirian jaga jarak yang jauh," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Episentrum Gelombang Kedua COVID-19

Selama vaksin Virus Corona COVID-19 belum ditemukan, dikhawatirkan penularannya kian meluas. Episentrum atau pusat penyebaran kemungkinan besar akan berpindah dan semakin banyak, termasuk di Indonesia.

Pernyataan ini dikeluarkan oleh ahli kesehatan publik yang memperingatkan masyarakat, jika terlalu cepat kembali ke kehidupan normal, dunia justru akan lebih cepat mengalami gelombang kedua Virus Corona COVID-19.

Direktur Jenderal Institut Vaksin Internasional di Korea, Jerome Kim mengatakan bahwa di tengah pelonggaran pembatasan aturan menjaga jarak, yang telah dilakukan beberapa negara dalam menangani Virus Corona COVID-19, penularannya masih jauh dari garis akhir dan tidak dapat diprediksi.

"Wabah Virus Corona COVID-19 belum bisa dikatakan berakhir sebelum betul-betul selesai. Ibarat angin yang selalu bergerak dan tanpa kita ketahui tiba-tiba menimbulkan api di belakang rumah kita," katanya kepada ABC ketika dihubungi di Seoul.

"Karena penyebaran bisa dengan mudah terjadi. Misalnya melalui satu atau dua orang yang pergi jalan-jalan, kemudian terpapar Virus Corona COVID-19 dan mereka membawa virus itu pulang ke rumahnya masing-masing."

Di negara-negara Asia, yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, sulit untuk menerapkan aturan jaga jarak antara warganya. Sebagai ahli yang mengamati situasi wabah Virus Corona COVID-19 di Asia dan Afrika, Profesor Rob Moodie dari Sekolah Kesehatan Populasi di University of Melbourne mengatakan, warga harus berhati-hati ketika melakukan physical-distancing atau menjaga jarak antar individu.

"Kita akan segera menuju situasi... di mana kita harus menimbang apakah orang yang sudah sembuh sebetulnya lebih berbahaya daripada penyakit itu sendiri. Inilah dilema yang sedang kita hadapi sekarang," kata Profesor Rob.

Ahli kesehatan publik juga khawatir akan terjadi penularan yang tidak terkendali di tempat-tempat lain di Asia, sama halnya dengan di Afrika, yang artinya episentrum Virus Corona COVID-19 akan terus berpindah.

"Kemungkinan terjadinya besar," kata James Best, profesor di Sekolah Obat Lee Kong Chian Singapura.

"Negara di Asia seperti India dan negara-negara Afrika bisa terjadi outbreak tidak terkendali seperti yang sudah terjadi di China, Italia, Spanyol dan Amerika Serikat," katanya.

Dokter Jerome Kim mengatakan, selama vaksin atau tindakan preventif yang tepat belum ditemukan, kehidupan tidak akan kembali ke normal. "Sebaiknya untuk sekarang kita jangan berpikir bahwa kita bisa lolos dari kemungkinan pengulangan wabah COVID-19."

Beberapa ahli mengatakan negara berpopulasi padat, termasuk India, Indonesia dan Filipina berada dalam posisi "rugi" karena sulit menerapkan aturan soal menjaga jarak antar warga dalam skala besar.

Senin lalu, 6 April 2020, Tim SimcovID yang terdiri dari sejumlah universitas dalam dan luar negeri telah meluncurkan pemodelan terbaru yang mensimulasikan COVID-19 di Indonesia.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan mitigasi dengan membatasi aktivitas warga dengan menutup sejumlah fasilitas publik hanya memperbolehkan mobilitas warga sekitar 50 persen penduduk.

Sementara jika langkah yang lebih ketat dengan cara supresi, seperti pemberlakukan denda, maka pergerakan warga hanya menjadi 10 persen.

Dengan strategi supresi, perkiraan angka kematian di Indonesia bisa ditekan sampai 120.000 jiwa, namun jika langkah ini tidak diambil maka angka kematian bisa mencapai 1,2 juta jiwa.

Sementara sebagai pengamat Virus Corona COVID-19 di Asia dan Afrika, Profesor Rob melihat peningkatan kasus yang baru-baru terjadi menunjukkan seluruh negara di seluruh dunia harus mengambil tindakan agresif untuk menghindari penyebaran dan memadamkan "titik api".

Ia menambahkan kesuksesan setiap negara dalam melawan Virus Corona COVID-19 bergantung sepenuhnya pada kekayaan negara, pemerintah dan sistem kesehatan.

"Saya rasa kita akan menghadapi era COVID-19 jauh lebih lama dari apa yang kita kira," kata dia.

"Kita akan mengalami gelombang kedua, ketiga atau keempat -- itu yang terjadi dengan Flu Spanyol."

3 dari 4 halaman

10 Negara yang Longgarkan dan Cabut Lockdown

Sejumlah negara di dunia telah melonggarkan, bahkan mencabut kebijakan lockdown atau karantina wilayah. Lockdown itu diterapkan sebagai upaya mencegah penyebaran Virus Corona COVID-19.

Di Eropa, negara yang sudah mencabut kebijakan tersebut adalah Italia. Lockdown yang diberlakukan di negara itu pun disebut sebagai yang terpanjang di Eropa.  

Sedangkan di Asia, kebijakan lockdown telah resmi dicabut pada 8 April di kota Wuhan, China. Menurut laporan, warga kota itu adalah yang pertama merasakan kebijakan itu secara total akibat Virus Corona COVID-19.

Sementara, pelonggaran lockdown di Asia, salah satunya telah dilakukan Malaysia mulai Senin 4 Mei. Berikut ini daftar 10 negara di dunia yang telah melonggarkan dan mencabut aturan lockdown terkait Virus Corona COVID-19:

1. China

Kota Wuhan di provinsi Hubei, China resmi mengakhiri masa lockdown pada Rabu 8 April yang telah berjalan sejak akhir Januari lalu. Pemerintah China optimistis sudah berhasil menjinakkan Virus Corona COVID-19. 

Wuhan adalah kota dengan populasi 11 juta jiwa atau sama dengan kota Jakarta. Warga Wuhan adalah yang pertama merasakan lockdown total akibat Virus Corona.

Pada 8 April, lalu lintas Wuhan sudah kembali dibuka dan aktivitas masyarakat diharapkan mulai kembali aktif. Sebelumnya, warga Wuhan dilarang keluar rumah apabila tidak ada kegiatan penting.

2. Vietnam

Vietnam mencuri perhatian dunia karena lockdown Virus Corona COVID-19 di negaranya berhasil tanpa adanya korban jiwa. Padahal, negara ini berbatasan langsung dengan China. 

Lockdown dimulai pada awal April lalu sehingga banyak bisnis yang harus tutup, tetapi kini sudah dilonggarkan.

Apa jurus yang dipakai Vietnam sehingga lockdown melawan Virus Corona berhasil? Menurut Duta Besar Republik Indonesia untuk Vietnam, Ibnu Hadi, pemerintah setempat berhasil merespons dengan cepat, sehingga virus bisa dibendung.

3. Italia

Italia telah mencabut aturan lockdown atau karantina terpanjang di Eropa pada Senin 4 Mei. Sebanyak 4,5 juta warga Italia pun kembali bekerja setelah dua bulan berada di rumah untuk mencegah penyebaran Virus Corona COVID-19.

Dengungan mobil, bus, dan sepeda motor menunjukkan peningkatan perjalanan, tetapi lalu lintas masih terasa lebih lengang dibandingkan masa sebelum Virus Corona jenis baru menyerang pada Februari 2020.

Pemerintah telah memerintahkan pencabutan aturan secara bertahap dengan memberi lampu hijau kepada pabrik-pabrik untuk mulai kembali berproduksi.

4. Selandia Baru

Selandia Baru mulai secara bertahap melonggarkan lockdown yang telah berjalan sejak awal Maret lalu. Penyebaran Virus Corona COVID-19 berhasil ditekan dan korban jiwa hanya 1 persen. 

Lockdown di Selandia Baru dilonggarkan pada Senin tengah malam kemarin. Bisnis-bisnis pun mulai beroperasi dan konsumen merayakannya dengan menyerbu restoran favorit mereka, meski masih drive-thru. 

Dilaporkan NZ Herald, Selasa (28/4/2020), total lockdown di Selandia Baru hampir selama 5 minggu. Tingkat alert kini turun dari Level 4 menjadi Level 3.

5. Thailand

Thailand melonggarkan beberapa langkah pengendalian karena Virus Corona COVID-19 secara nasional mulai Minggu 3 Mei. Pelonggaran itu termasuk membuka kembali restoran, kafe, dan pasar dengan tetap menggunakan pedoman untuk mencegah gelombang kedua COVID-19.

Juru bicara Centre for COVID-19 Situation Administration Thailand (CCSA), Dr. Thaweesilp Wisanuyothin mengatakan, enam jenis kegiatan dan bisnis akan mendapatkan manfaat dari relaksasi sebagian.

Wisanuyothin menambahkan, pedoman akan distandarisasi CCSA untuk semua wilayah secara nasional. Peraturan tersebut juga dapat disesuaikan gubernur provinsi sesuai dengan ketentuan selama dibuat lebih ketat dan tidak kalah ketat.

6. Jerman

Jerman mencatat ada peningkatan infeksi COVID-19 setelah kebijakan lockdown diperlonggar. Kebijakan tersebut salah satunya memperbolehkan beberapa usaha kecil untuk mulai kembali buka.

Pasien COVID-19 di Jerman menginfeksi rata-rata 0,7 orang lain sebelum negara itu mengizinkan usaha kecil untuk dibuka kembali awal bulan April.

Setelah mengikuti langkah pertama untuk melanjutkan kehidupan normal, angka itu melonjak hingga 0,96.

7. Malaysia

Pemerintah Malaysia mulai melonggarkan lockdown yang sejatinya baru akan berakir pekan depan. Dengan ini, hampir semua sektor bisnis bisa beroperasi mulai Senin 4 Mei.

Perintah Kawalan Pegerakan atau Movement Order Control (MCO) ini sedianya berakhir pada 12 Mei. Kebijakan ini sudah empat kali diperpanjang untuk meredam penyebaran Virus Corona COVID-19.

MCO kini sudah menjadi Conditional Movement Order Control alias Perintah Kawalan Pergerakan Bersyarat (CMCO).

8. Spanyol

Beberapa negara di Eropa yang terdampak parah pandemi, akan melonggarkan aturan lockdown setelah mengalami penurunan jumlah kasus baru Virus Corona COVID-19.

Dikutip dari laman Fox, Selasa (5/5/2020), salah satu negara tersebut adalah Spanyol.

Meski demikian, masker akan tetap menjadi barang wajib yang harus digunakan oleh warga di negara tersebut. 

9. Yunani

Salon rambut, toko bunga dan toko buku Yunani telah kembali dibuka pada Senin 4 Mei 2020 kemarin, sebagai bagian dari pelonggaran pembatasan penguncian bertahap yang diberlakukan enam minggu lalu untuk mengekang penyebaran Virus Corona COVID-19. 

Sejak pagi, polisi melakukan inspeksi di bus dan stasiun metro untuk memastikan penumpang mengenakan masker  wajib. Sementara di toko-toko dipantau apakah aturan social distancing dipatuhi.

Mengutip Channel News Asia, Selasa (5/4/2020), masyarakat Yunani kini tidak lagi membutuhkan formulir yang menyatakan alasan sah keluar rumah untuk berbelanja makanan atau obat-obatan, atau berolahraga fisik untuk izin meninggalkan rumah mereka.

10. India

Pada Senin 4 Mei 2020, ratusan orang mengantre di luar toko minuman keras di New Delhi, ketika ibu kota India mulai melonggarkan pembatasan dalam lockdown selama 40 hari karena Virus Corona COVID-19. Sementara itu, aktivitas kerja kembali berjalan di beberapa kantor dengan staf yang lebih sedikit dan lalu lintas menyusut ke jalan-jalan.

Pemberlakuan lockdown nasional Negeri Bollywood disebut-sebut masuk daftar yang paling ketat di dunia.

Pelonggaran dalam masa lockdown ini dilaporkan berlaku pada beberapa daerah dengan infeksi rendah, meskipun pemerintah mengatakan pekan lalu bahwa pemberlakuan aturan itu akan tetap berlaku sampai 17 Mei, seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (5/5/2020).

4 dari 4 halaman

Gelombang Kedua Lebih Mengerikan

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) memperingatkan adanya ancaman gelombang kedua penyebaran Virus Corona COVID-19 di Amerika Serikat. Ancaman itu diprediksi lebih mengerikan dari sebaran COVID-19 gelombang pertama karena terjadi pada musim dingin yang bertepatan dengan dimulainya musim penyakit flu. 

Direktur CDC Robert Redfield mengatakan kepada Washington Post, "Ada kemungkinan bahwa serangan virus di AS pada musim dingin mendatang sebenarnya akan lebih sulit daripada yang baru saja kita lalui."

Ketika pandemi saat ini sedang berada di ujungnya, seperti yang ditunjukkan dengan penurunan baru-baru ini dalam tingkat rawat inap dan indikator lainnya, pihak berwenang perlu mempersiapkan kemungkinan kebangkitan Virus Corona di bulan-bulan mendatang.

Robert mengatakan, epidemi flu dan Virus Corona akan dialami pada saat yang bersamaan, dan kombinasi itu akan membuat tekanan yang lebih besar pada sistem perawatan kesehatan negara daripada gelombang pertama.

Robert Redfield menekankan pentingnya seseorang untuk terus mempraktikkan jarak fisik antara satu sama lain, bahkan ketika lockdown secara bertahap berkurang. 

Pada saat yang sama, otoritas kesehatan masyarakat harus meningkatkan sistem pengujian untuk mengidentifikasi mereka yang terinfeksi dan untuk menemukan interaksi pribadi yang dekat melalui penelusuran kontak, kata Robert. 

Ketika warga AS menyerukan agar negara dibebaskan dari pembatasan karena Corona COVID-19, seperti yang disarankan juga oleh Presiden Donald Trump di Twitter, hal itu dikatakan oleh Robert tidak membantu. 

Untuk membangun jaringan pelacakan kontak nasional, sebagai kunci untuk mencegah kasus dan diagnosis baru dari tumbuh menjadi wabah besar, adalah tantangan besar karena sangat padat karya, membutuhkan tenaga kerja yang dari beberapa perkiraan sebanyak 300.000 personel.

CDC dikatakan Robert sedang berdiskusi dengan para pejabat negara tentang kemungkinan mendaftar dan melatih para pekerja dari Biro Sensus AS, dan sukarelawan dari Peace Corps dan AmeriCorps, untuk membuat kontak baru yang melacak kontak tenaga kerja.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.