Sukses

Cuaca Panas di Eropa Justru Berpotensi Perburuk Dampak Corona COVID-19

Menurut laporan DW Indonesia, para ahli mengatakan rekor suhu yang menghangat dan kekeringan dapat menambah masalah lain terhadap paru-paru manusia, selain yang telah disebabkan oleh virus corona.

Jakarta - Suhu panas sempat disebut-sebut dapat mematikan penyebaran Virus Corona COVID-19. Namun beberapa ahli kemudian mematahkan pernyataan tersebut sambil menyebut bahwa virus corona tidak semudah itu dimatikan oleh suhu panas.

Kekhawatiran pun terjadi di Eropa di mana negara-negara di benua tersebut kini sedang mengalami suhu musim semi ideal.

Udara hangat, langit biru dan bunga musim semi bermekaran. Namun para petani berharapan lain. Mereka berharap hujan, dan khawatir tanpa adanya hujan, panen akan sangat terpengaruh. Demikian seperti dikutip dari laman DW Indonesia, Senin (13/4/2020). 

"Januari terlalu hangat. Tidak ada bukti bahwa pemanasan global telah berhenti atau melambat," ujar Andreas Becker dari German Weather Service, DWD, di Frankfurt am Main. Becker menambahkan bahwa cuaca pada bulan Januari dan Maret terlalu kering, sedangkan pada Februari terlalu basah.

Permukaan air di sungai Rhein, yaitu sungai terbesar di Jerman, pada awal Maret lebih dari 6 meter di atas rata-rata meskipun sekarang ketinggian air terus menurun.

Kini, Becker memperingatkan, keadaan akan semakin memburuk karena bulan Maret adalah bulan yang kering. Tahun ini, Jerman hanya menerima 50-75 persen dari curah hujan yang biasanya didapat pada bulan-bulan tersebut. Bagi para ahli meteorologi, ini mendekati kualifikasi yang disebut sebagai kekeringan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Curah Hujan Rendah

Andreas Marx dari Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz di Leipzig mengatakan bahwa curah hujan dalam tiga tahun belakangan memang luar biasa rendah. Marx mengatakan rendahnya curah hujan ini tidak hanya terjadi di Jerman utara, tetapi juga di Polandia, Ukraina, Belarus, Rusia, dan Rumania.

Baik Becker maupun Marx menambahkan bahwa kondisi geografi Eropa yang beragam, termasuk daerah yang bergunung-gunung dan memiliki lautan, telah membuat cuaca di Eropa lebih sulit diprediksi dibandingkan tempat lain seperti Australia. 

Karena ramalan cuaca untuk satu atau dua minggu dianggap tidak pasti, para ahli meteorologi cenderung menghindar dari membuat prediksi cuaca jangka panjang.

Meski demikian, keduanya mengatakan musim panas tahun ini akan lebih hangat dari biasanya. German Weather Service, misalnya, telah memperkirakan bahwa suhu di Jerman bisa setengah derajat Celsius lebih hangat daripada rata-rata.

"Secara teknis, yang dianggap sebagai hari-hari panas adalah hari dengan suhu di atas 30 derajat Celsius. Secara statistik, bisa diharapkan akan ada tujuh atau delapan hari seperti itu setiap tahun di Leipzig. Tetapi kita mengalami suhu 36 derajat di antaranya pada tahun 2018, dan 29 derajat di 2019. Itu berarti gelombang panas dapat berlangsung tiga hingga empat kali lebih lama daripada rata-rata." ujar Marx. Ia memperingatkan bahwa kondisi ini memiliki konsekuensi serius bagi petani dan kesehatan manusia.

3 dari 3 halaman

Dampak Terhadap Wabah

Jika semuanya berjalan sesuai yang diperkirakan para ahli, orang-orang Eropa tidak hanya akan menghadapi prospek pembatasan gerakan akibat COVID-19, tetapi juga harus menderita selama musim panas.

Cuaca panas juga rentan terhadap warga lanjut usia yang sebelumnya sudah berisiko tinggi terinfeksi virus corona. Keadaan ini juga membuat pemakaian masker wajah menjadi semakin tidak nyaman.

Kekeringan yang panjang juga meningkatkan kemungkinan kebakaran hutan dan kemungkinan polusi asap akibat kebakaran. Hal ini akan menjadi beban lain terhadap paru-paru manusia, terutama bagi mereka yang telah terinfeksi Virus Corona baru.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.