Sukses

HEADLINE: Drone AS Tewaskan Jenderal Top Iran, Pemimpin Dunia Bisa Jadi Target?

Serangan drone AS menewaskan jenderal top Iran. Kedua pihak saling melancarkan ancaman. Perang modern telah dimulai?

Liputan6.com, Jakarta - Cincin perak bermata ruby menjadi bukti kematian Jenderal Militer Iran Qasem Soleimani. Ia tewas akibat serangan drone militer Amerika Serikat di Baghdad.

Serangan itu atas perintah Presiden AS Donald Trump. Ketika mendapat kabar kematian Soleimani pada Jumat 3 Januari, Trump sedang makan es krim di kediamannya. Usai menghabiskan es krimnya, ia langsung mem-posting foto bendera AS di Twitter. 

Jasad jenderal top Iran itu ditemukan hancur berkeping-keping. Seorang politikus senior mengatakan, jenazahnya hanya dapat diidentifikasi dengan cincin yang ia kenakan di tangan kirinya.

Sebuah gambar mengerikan yang beredar di media Iran menunjukkan cincin pada potongan tangan diduga milik Qasem Soleimani yang bersimbah berdarah, dan memiliki kemiripan yang kuat dengan cincin ruby ​​yang dikenakan olehnya pada foto lain.

Pesawat nirawak yang menghabisi nyawa Soleimani adalah drone pemburu MQ-9 Reaper yang dikendalikan dari jarak jauh. Menurut laporan Arab News, drone itu berangkat dari markas AS yang berlokasi di Qatar, yaitu pangkalan udara dan militer Al Udeid. Misil yang dipakai adalah Hellfire R9X Ninja.

Drone Reaper itu memiliki jangkauan 1.850 km dan bisa terbang di ketinggian 15 ribu meter. Drone ini cocok digunakan untuk melancarkan serangan, koordinasi, dan pengintaian terhadap target yang bergerak.

Serangan terhadap Soleimani, menurut jurnalis senior Dahlah Iskan, menjadi bukti bahwa drone kian mengambil alih manusia. Pesawat tempur kian tidak diperlukan.

Ia mengungkap drone American MQ-9 Reaper yang menewaskan Soleimani merupakan buatan General Atomics Aeronautical Systems (GA-ASI) Amerika. Yakni sebuah perusahaan swasta yang sahamnya sudah dijual di pasar modal Wall Street New York.

"Harga drone ini murah sekali: Rp 200 miliar per buah. Dibanding harga pesawat tempur sejenis F-35," kata mantan Menteri BUMN ini, dikutip Liputant6.com dari blognya disway.id, Senin (6/1/2020).

Drone ini, sambung Dahlan, ukurannya hampir sebesar pesawat tempur. Panjang sayapnya hampir 20 meter. Hanya bobotnya yang ringan: 2,5 ton.

"Perang modern sudah dimulai. Ketepatan sasaran sudah begitu pasti. Tentara sudah digantikan artificial intelligence," ujar Dahlan. 

Kematian Soleimani jadi bukti, serangan drone bisa menyasar siapapun. Para pemimpin negara dan orang-orang penting bisa jadi target. Pengawalan seketat apapun tak bisa menghentikan serangan tiba-tiba dari udara. Mau tidak mau, antisipasi mesti dilakukan untuk mengimbangi kemajuan teknologi yang mematikan ini.

Infografis Serangan Drone AS Tewaskan Jenderal Top Iran. (Liputan6.com/Abdillah)

Lalu, bagaimana dengan upaya pencegahan serangan drone di Indonesia? Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono mengakui Indonesia saat ini belum memiliki alat pendeteksi pengamanan drone. Padahal pengamanan sistem pendeteksi drone penting sebagai langkah keselamatan pejabat negara, terlebih Presiden Joko Widodo dikenal suka blusukan.

"Kita mau bikin," ujar Sakti saat ditanya Liputan6.com di Istana, Jakarta, Senin (6/1/2020).

Dia menuturkan, rencana itu sudah dikembangkan Badan Pangkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Bahkan model itu sudah dipamerkan BPPT di hanggar PT Dirgantara Indonesia, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin 30 Desember 2019.

"Itu kemarin kan yang di peluncuran BPPT, setahun lagi lah, satu setengah tahun lagi lah, kita bisa," ujar dia.

Saat ini, Indonesia baru berhasil membuat sebuah drone yang mampu terbang terus menerus selama 24 jam. Pesawat udara nirawak (PUNA) ini berjenis medium altitude long endurance (MALE) dan dinamai Black Eagle. Kemampuan terbang terus menerus selama 24 jam membuat drone ini bisa digunakan untuk membantu menjaga kedaulatan NKRI dari udara, namun tidak untuk peperangan.

Hal ini didasari dari kebutuhan pengawasan dari udara yang efisien terus bertambah seiring dengan meningkatnya ancaman daerah perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan, serta pencurian sumber daya alam seperti illegal logging dan illegal fishing.

Drone ini mampu beroperasi dalam radius 250 km dengan waktu terbang hingga 30 jam. Secara fisik, drone ini memiliki panjang 8,30 meter dan bentang sayap sepanjang 16 meter.

Mengutip keterangan resmi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemristek/BRIN) kepada Liputan6.com, inisiasi pengembangan PUNA MALE telah dimulai oleh Balitbang Kemhan sejak 2015.

Pada 2019, Flight Control System (FCS) produksi Spanyol diintegrasikan dengan prototipe PUNA MALE 1 yang telah dimanufaktur PT Dirgantara Indonesia pada akhir 2019.

Pada 2020, akan dibuat dua unit prototipe berikutnya, masing-masing untuk tujuan uji terbang dan untuk uji kekuatan struktur di BPPT. Proses sertifikasi produk militer juga akan dimulai dan diharapkan pada akhir tahun 2021 sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI (IMAA).

Integrasi sistem senjata pada prototype PUNA MALE dilakukan mulai 2020 dan diproyeksikan sudah mendapat sertifikasi tipe produk militer pada 2023.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Deretan Negara dengan Sistem Penangkal Drone

Berikut beberapa negara dari berbagai penjuru dunia yang sudah punya sistem pertahanan drone.

1. Jepang

Jepang fokus pada sistem anti-drone untuk mengamankan Olimpiade Tokyo 2020. Salah satunya dengan menerbangkan drone besar dengan jaring untuk menangkap drone yang lebih kecil.

Asahi Shimbun juga menyebut Badan Kepolisian Nasional Jepang mempersiapkan "jammer" agar menganggu sinyal antara drone dan operatornya. Alhasil, drone akan turun perlahan, kembali ke asal, atau tak bisa beranjak di satu lokasi.

2. Israel

Apabila kini Iran protes karena jenderalnya tewas akibat drone, beberapa waktu lalu justru mereka mengirim drone untuk menyerang Israel. Serangan drone itu gagal karena Israel sudah punya sistem anti-drone.

Melansir US News, perusahaan sistem pendeteksi drone mencakup 17 persen dari industri drone di Israel. Negara itu pun sudah berhasil mengekspor sistem pertahanan drone mereka ke berbagai negara.

3. Rusia

Rusia juga sudah mengekspor sistem anti-drone mereka ke luar negeri, target konsumen mereka adalah negara-negara Timur Tengah. Salah satu perusahaan Rusia yang menjual sistem anti-drone adalah Rostec.

Rusia memamerkan sistem anti-drone mereka di Dubai Airshow pada November lalu. Timur Tengah dipilih sebagai sasaran setelah ada kasus diserangnya kilang minyak Saudi oleh drone Iran.

4. India

Masih di 2019, India juga mengembangkan sistem anti-drone untuk digunakan di perbatasan India-Pakistan. Pasalnya, India berkata kerap melihat drone di daerah perbatasan.

Menurut News18.com, pasukan pertahanan perbatasan India sedang berusaha mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi dan menghancurkan drone. Sistem deteksi yang dicari adalah yang punya radar, jammer, pengendali sistem untuk menetralkan drone.

5. Singapura

Usai serangan kilang Arab Saudi, Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen menegaskan negaranya punya sistem untuk melawan drone canggih.

Ia menyebut Angkatan Bersenjata Singapura telah menyiapkan sistem pertahanan drone sejak 10 tahun belakangan, seperti sensor G550 Airbone Early Warning Aircraft dan Multi-Mission Radar.

"Kami percaya dapat mendeteksi drone itu (yang menyerang kilang Saudi), serta bisa menetralkannya," ujar Ng seperti dikutip Channel News Asia.

 

3 dari 4 halaman

Potensi Perang Dunia III?

Spekulasi Perang Dunia III kembali muncul di awal 2020, dipicu serangan drone Amerika Serikat (AS) yang menewaskan Jenderal Iran Qasem Soleimani.

AS mengklaim, Soleimani harus dihabisi karena ia merencanakan penyerangan ke diplomat-diplomat AS di wilayah Timur Tengah. Pasukan Quds yang dipimpin Soleimani juga sudah masuk radar teroris AS,  karena kejahatan militer yang dilakukannya.

Pemerintah Iran berjanji akan melancarkan balas dendam. Tak terima, Presiden AS Donald balik mengancam. Miliarder itu bahkan mengaku, pihaknya telah membidik 52 target di Iran, termasuk situs-situs budaya -- yang bikin banyak orang mengelus dada. 

Jika ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat terus terjadi, bisakah perang skala global bisa kembali terjadi? 

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana kepada Liputan6.com mengatakan, Indonesia punya kesempatan untuk menyetop potensi terjadinya Perang Dunia III yang dipicu konflik AS dan Iran.

Salah satu caranya, Indonesia bisa mengusulkan sidang darurat Dewan Keamanan (DK) PBB atas kapasitasnya sebagai anggota tidak tetap sejak Januari lalu.

"Indonesia bisa mengusulkan sidang darurat mengenai permasalahan ini, karena permasalahan ini berpotensi mengganggu perdamaian dan keamanan internasional," ujar Hikmahanto. "Kita kan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, kenapa tidak kita menyampaikan usulan tersebut untuk diagendakan untuk dibahas," ia menjelaskan.

Hikmahanto menyadari AS, bisa saja melakukan veto terhadap keputusan resolusi DK PBB, namun ia menyebut tetap ada perlu usaha membawa kasus ini ke DK PBB dalam konteks memberikan rasa keadilan ke Iran. Langkah itu disebut bisa membantu menenangkan situasi demi mencegah konflik lebih besar seperti Perang Dunia III.

Apabila Indonesia memutuskan membahas penyerangan Jenderal Soleimani di PBB, maka ada kemungkinan AS melakukan protes. Namun, Hikmahanto menyebut Indonesia tidak perlu was-was, sebab sebagai anggota tidak tetap DK PBB, adalah hak Indonesia untuk melakukannya.

"Konteksnya adalah kita sebagai anggota Dewan Keamanan PBB.  Jadi ini sebenarnya mekanisme yang ada di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konteksnya bukan Indonesia mengajukan ini tapi kita anggota DK boleh mengusulkan. Jadi tidak perlu kemudian nanti AS akan melakukan tindakan atau kita khawatirkan AS akan melakukan tindakan kepada Indonesia," tegas Hikmahanto.  

Walaupun tak memiliki campur tangan langsung dalam masalah AS dan Iran, pemerintah Indonesia mengaku prihatin dengan eskalasi yang terjadi saat ini. 

"Pertama, Indonesia melihat perkembangan yang demikian dengan prihatin karena kondisi yang ada di Timur Tengah seperti diketahui meningkat dari segi ketegangan maupun pertikaian yang ada di sana." 

"Sehingga langkah-langkah kekerasan seperti itu, kami mengharapkan untuk bisa dihindari, dicegah sehingga semakin tidak meruncingkan persoalan dan ketegangan yang ada di sana, justru tidak memberikan suasana yang kondusif bagi terciptanya kondisi yang lebih aman dan stabil," ungkap Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar.

Mahendra Siregar selaku Wamenlu RI menegaskan bahwa sikap kekerasan yang dibalas dengan kekerasan juga tidak akan ada hasilnya.

Sikap Indonesia akan selalu siap mendukung terciptanya suatu kondisi yang lebih damai dan stabil. Selain itu, Indonesia juga akan berusaha semaksimal mungkin dan berharap setiap negara bisa menahan diri dan tidak melakukan kekerasan dengan alasan apapun. 

Menyambung masalah AS dan Iran, proses perdamaian juga sedang berlangsung dalam Dewan Keamanan PBB. Sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia akan tetap berada di posisi yang sama yaitu menyampaikan pesan konsisten mengenai perdamaian.

4 dari 4 halaman

5 Serangan Drone di Dunia Sebelum Tewaskan Qasem Soleimani

Metode penyerangan menggunakan drone yang menargetkan tokoh pemimpin dunia ini bukanlah yang pertama. Berikut adalah 5 kasus serangan drone yang kebanyakan menargetkan para tokoh pemimpin dunia, sebelum insiden yang menewakan Qasem Soleimani:

1. Presiden Venezuela Nicolas Maduro

Sebuah drone meledak di tengah pidato Presiden Venezuela Nicolas Maduro di ibu kota Caracas. Tidak ada satupun korban tewas, kecuali tujuh orang tentara yang terluka.

Menteri Komunikasi Jorge Rodriguez mengatakan, insiden tersebut merupakan upaya serangan berbahaya bagi keselamatan hidup presiden.

Presiden Maduro terlihat berbicara di sebuah upacara militer, ketika dia dan pejabat lainnya tiba-tiba melihat ke atas dan terkejut oleh serangan drone yang mendadak. Sistem audio pun sempat terputus oleh kepanikan tersebut.

Puluhan tentara Venezuela terlihat berusaha melindungi presiden dan audiens yang panik menyelamatkan diri, sesaat sebelum agenda yang disiarkan secara langsung itu dihentikan sepihak.

Dalam cuplikan rekaman televisi, sempat terdengar beberapa kali suara tembakan keras dari udara, di tengah teriakan panik para hadirin.

Menteri Rodriguez mengatakan serangan itu terjadi ketika Presiden Maduro menyampaikan pidato dalam rangka ulang tahun ke-81 tentara Venezuela.

2. Wakil Pimpinan Taliban Pakistan

Pakistan mengumumkan bahwa militan seniornya, Khalid Mehsud, tewas dalam serangan drone AS pada Kamis, 8 Februari 2018. Melalui sebuah pernyataan, Mehsud dikabarkan tewas di Waziristan Utara, dekat perbatasan Afghanistan.

Mehsud merupakan wakil ketua Tehrik-e Taliban Pakistan (TTP), yang merupakan faksi Taliban Pakistan. Selama ini TTP diduga menjadi dalang atas puluhan bom bunuh diri dan serangan lainnya di Pakistan.

Pada Desember 2017, militan TTP menyerbu sebuah perguruan tinggi di Peshawar, Pakistan. Sedikitnya sembilan orang tewas dan 36 lainnya luka-luka dalam peristiwa itu.

Kematian Mehsud dinilai akan makin melemahkan Taliban Pakistan. Kelompok militan itu pun terpaksa mengurangi aktivitasnya, karena serangan militer Pakistan yang relatif berhasil dalam beberapa waktu terakhir.

Pejabat Pakistan mengklaim bahwa banyak militan TTP dipaksa berlindung di Afghanistan atas hal tersebut.

Mehsud yang memiliki nama alias Khan Said Sajna merupakan pemimpin militan terpenting yang tewas. Sebelumnya, pada Agustus 2016, pemimpin ISIS di Afghanistan dan Pakistan Hafiz Saeed Khan juga tewas dalam sebuah serangan.

Mehsud tak hanya membuat TTP melancarkan serangannya ke militer di Waziristan Selatan, tapi juga di sejumlah wilayah Pakistan lain. Ia dideskripsikan sebagai penerus dua pemimpin TTP, yakni Baitullah Mehsud dan Hakimullah Mehsud.

Pengaruhnya dapat dilihat dari bagaimana ia mengalahkan Mullah Fazlullah, yang merupakan pemimpin resmi ketiga TTP setelah Hakimullah tewas dalam serangan drone pada 2014.

3. Pemimpin Kelompok Militan Pakistan

Pemimpin kelompok militan Pakistan Jamaatul-Ahrar, Omar Khalid Khorasani, tewas di Afghanistan. Menurut juru bicara kelompok tersebut, Asa Mansoor, Khorasani tewas oleh serangan drone yang diduga milik Amerika Serikat.

Ia menambahkan, sembilan militan lainnya turut tewas dalam serangan tersebut.

"Pemimpin Jamaat-ul-Ahrar Omar Khalis Khorasani yang terluka parah akibat serangan drone AS baru-baru ini di Provinsi Pakita, Afghanistan, meninggal akibat luka tersebut pada Rabu (18 Oktober 2017)," kata Mansoor kepada AFP melalui telepon.

4. Serangan Drone AS yang Tewaskan Warga Sipil Somalia

Amerika Serikat (AS) akhirnya mengakui bahwa pihaknya telah menewaskan korban sipil dalam operasi udara di Somalia. Negeri Paman Sam mengklaim bahwa seorang wanita dan sejumlah anak terbunuh akibat serangan drone, pesawat tak berawak pada April lalu.

Pengakuan ini sangat kontras dengan bantahan AS beberapa minggu lalu atas laporan Amnesty International. Kelompok hak asasi manusia internasional itu sempat mengatakan, 14 warga sipil tewas dalam lima serangan terpisah di Somalia.

Revisi klaim Amerika Serikat datang pasca-konferensi pers pada Jumat 5 April 2019, mengutip BBC News pada Sabtu (6/4/2019). Peninjauan kembali diperintahkan oleh Jenderal Thomas Waldhauser, kepala Komando Asia Afrika (Africom). Ia sebelumnya mengatakan adanya gangguan dalam pelaporan yang membuat klaim tidak tepat terkait korban sipil.

"Kepercayaan dan kredibilitas adalah inti dari operasi kami, kata Jenderal Gregg Olson, direktur operasi Africom, mengapresiasi langkah Waldhauster.

Olson menambahkan pihaknya akan berkomitmen untuk transparan dan belajar dari insiden yang disesalkan, agar tidak terulang di masa depan.

5. Kilang Minyak Aramco di Arab Saudi

Walaupun tidak secara langsung menargetkan seseorang, serangan drone yang menyerang kilang minyak Aramco di Arab Saudi juga sempat menghebohkan publik. Pasalnya, imbas dari kejadian tersebut, harga bahan bakar hingga nilai tukar mata uang asing pun ikut terdampak. 

Dua kilang minyak utama diserang oleh drone atau pesawat tanpa awak yang membawa bom pada September 2019 lalu. Kelompok pemberontak Houthi dari Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.

Walaupun juru bicara Kementerian Dalam Negeri Arab saudi Mansour al-Turki menjelaskan bahwa tidak ada korban jiwa dalam serangan drone tersebut, Aramco jelas akan merugi dalam jumlah besar.

Saudi Aramco merupakan perusahaan minyak dan gas (migas) terbesar di dunia yang dimiliki oleh pemerintah Arab Saudi.

Ini merupakan pukulan yang cukup besar bagi perusahaan tersebut. Alasannya, Saudi Aramco berencana untuk melakukan initial public offering (IPO) atau menawarkan saham perdana. Dengan lumpuhnya dua kilang ini berakibat aset perusahaan harus dihitung ulang. (Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.