Sukses

Mikhail Gorbachev: Peradaban Bisa Hancur Jika Amerika dan Rusia Perang

Mantan pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev, berkata perang AS dan Rusia harus dihindari.

Liputan6.com, Moskow - Mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev angkat suara soal hubungan Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Gorbachev yang kini berusia 88 tahun memberi peringatan keras akan bahaya terjadinya perang dingin lagi.

Dalam wawancara bersama CNN, Gorbachev menyebut perang dingin tidak boleh dibiarkan terjadi, sebab kali ini bisa berujung pada "perang panas". Jika itu terjadi, ia khawatir peradaban akan hancur.

"Perang dingin baru tidak boleh terjadi. Ini bisa saja berubah menjadi sebuah perang panas. Itu berarti kehancuran seluruh peradaban. Ini tidak boleh dibiarkan," ujar Gorbachev seperti dikutip Senin (2/12/2019).

Gorbachev cukup lega bahwa isu perang dingin ini sudah dibicarakan oleh banyak pihak di seluruh dunia. Para politikus pun diingatkan agar paham betapa pentingnya mencegah perang dingin.

Lebih lanjut, mantan Sekretaris Jendral Partai Komunis Uni Soviet ini menyayangkan bahwa AS dan Rusia telah sama-sama meninggalkan Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah yang ia tandatangani bersama Presiden Ronald Reagan pada 1987.

Perjanjian itu bertujuan agar AS dan Rusia sama-sama melenyapkan seluruh stok misil berjarak menengah yang diluncurkan dari darat. Kedua negara pun bisa mengawasi langsung penghancuran misil satu sama lain.

Presiden Donald Trump mensuspens traktat ini pada Februari lalu dan Rusia juga melakukan langkah serupa. Gorbachev pun berharap traktat itu bisa kembali dibangkitkan.

"Semua perjanjian yang ada perlu dijaga dan jangan dihancurkan," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pasukan di Afghanistan

Ketika wawancara dengan CNN berlangsung, Presiden AS Donald Trump juga sedang mengunjungi pasukannya Afghanistan. Trump diketahui berusaha agar pasukan AS bisa angkat kaki dari negara tersebut.

Uni Soviet dulu punya pengalaman serupa ketika prajuritnya angkat kaki dari Afghanistan.

Pada tahun 1989, AS dan Soviet bertikai di Afghanistan. Soviet mendukung Presiden Mohammad Najibullah, sementara AS mendukung mujahidin yang ingin melengserkan petahana.

Namun, Soviet runtuh pada tahun 1991, sehingga pasukan mereka juga ditarik mundur. Gorbachev selaku pemimpin Soviet ketika runtuh mengaku tidak menyesali penarikan mundur tersebut karena intervensi negara besar ia anggap tidak bijak.

"Mereka harus ditarik mundur. Itu alasan utamanya. Kau tahu, ini seperti korek. Koreknya terbakar, apinya menyebar. Dan dengan ada bentrokan-bentrokan, saat negara-negara terbesar di konflik ini terus melibatkan diri, mereka membahayakan negara-negara lain," ujar Gorbachev.

3 dari 3 halaman

AS Kembali Lanjutkan Dialog Damai dengan Taliban

Presiden Donald Trump mengatakan, Amerika Serikat telah memulai kembali perundingan damai dengan Taliban ketika dia melakukan kunjungan diam-diam ke pangkalan militer AS di Afganistan saat libur Thanksgiving.

Perjalanan pertama Trump ke negara Asia Selatan pada Kamis 28 November kemarin adalah yang pertama sejak dirinya menjabat sebagai presiden AS.

Kunjungan juga dilaksanakan seminggu setelah pertukaran tahanan antara Washington dan Kabul yang telah meningkatkan harapan untuk kebangkitan kembali pembicaraan damai.

"Taliban ingin membuat kesepakatan dan kami akan bertemu dengan mereka dan kami mengatakan itu harus menjadi gencatan senjata, namun (dulu) mereka tidak ingin melakukan gencatan senjata. Tapi sekarang mereka ingin melakukan gencatan senjata, saya percaya. Itu mungkin akan berhasil," katanya kepada wartawan di Bagram Air Base, seperti dilansir Al Jazeera.

Awal tahun ini, AS mencapai kesepakatan secara prinsip dengan kelompok Taliban untuk menarik pasukan dari negara itu dan mengakhiri perang terpanjang AS dengan imbalan jaminan keamanan.

Namun Trump membuat langkah mengejutkan pada September 2019 lalu, menggambarkan perundingan yang telah berlangsung selama setahun terakhir telah "mati", dan menarik undangan kepada kelompok itu untuk bertemu di dekat Washington menyusul pembunuhan seorang tentara AS di Afghanistan.

Tapi kini, sang Presiden AS baru-baru ini menyarankan bahwa negosiasi dapat berlangsung lagi.

Taliban telah menolak untuk bernegosiasi secara resmi dengan pemerintah Afghanistan, tetapi upaya diplomatik terus dilakukan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.