Sukses

Uni Eropa Laporkan RI ke WTO karena Batasi Ekspor Nikel, Ini Respons Kemlu

Uni Eropa mengadu kepada WTO perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.

Liputan6.com, Brussels / Jakarta - Uni Eropa, pada 22 November 2019, resmi mengajukan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.

Dikutip dari US News pada Rabu (27/11/2019), UE menuduh bahwa pembatasan itu dirancang Indonesia untuk menguntungkan industri peleburan dan baja nirkarat sendiri.

Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di Uni Eropa mengatakan, tidak adil bahwa akses produsen UE terhadap komoditas tersebut menjadi dibatasi.

Keluhan Komisi mengatakan langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia. Negara ini adalah penambang bijih nikel terbesar di dunia dan akan melarang ekspor selama dua tahun mulai tahun 2020.

Namun China, produsen baja nirkarat terbesar di dunia, telah menimbun bijih nikel menjelang larangan pengiriman dari Indonesia.

Komisaris Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom mengatakan langkah-langkah Indonesia memicu beban lebih lanjut di sektor baja UE yang sudah berjuang menghadapi risiko.

"Terlepas dari upaya bersama kami, Indonesia telah mempertahankan langkah-langkah dan bahkan mengumumkan larangan ekspor baru untuk Januari 2020," katanya dalam sebuah pernyataan.

UE juga menentang skema yang membebaskan produsen Indonesia dari bea impor tertentu untuk meningkatkan atau membangun pabrik baru, selama mesin dan peralatan lokal membuat 30% konten. UE melihat ini sebagai subsidi ilegal.

Proses di WTO dimulai dengan periode 60 hari untuk konsultasi antara para pihak untuk menyelesaikan perselisihan. Pihak pengadu kemudian dapat meminta panel tiga orang untuk memberikan putusan. Putusan itu biasanya akan rampung setidaknya satu tahun lagi.

Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar Uni Eropa meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18% pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer.

Namun Eurofer menambahkan, metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbon dioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tanggapan Indonesia

Pemerintah Indonesia mengafirmasi gugatan yang dilakukan Uni Eropa.

"Ya kita memahami gugatan itu dan Perwakilan Tetap RI untuk WTO di Jenewa akan menyiapkan langkah-langkah tanggapan," kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar pada sela-sela agenda di Jakarta, 25 November 2019.

Sementara itu, Kantor Perwakilan Tetap RI untuk WTO di Jenewa (PTRI Jenewa) turut mengafirmasi gugatan, menambahkan bahwa langkah itu merupakan alur awal yang dilakukan UE untuk berkonsultasi perihal keluhannya dengan Indonesia di bawah payung mekanisme penyelesaian sengketa dagang WTO.

"Pada tanggal 22 November 2019, Wakil Tetap Uni Eropa (UE) di Jenewa telah mengirimkan surat kepada Wakil Tetap RI di Jenewa yang secara resmi menyampaikan bahwa UE akan mengajukan sengketa kepada Indonesia di WTO, dan menyampaikan permintaan melakukan konsultasi. Konsultasi merupakan langkah awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa WTO," kata Watap RI untuk WTO di Jenewa, Duta Besar Hassan Kleib dalam pernyataan tertulis yang diterima Liputan6.com pada Rabu (27/11/2019).

Selain mengadukan soal pembatasan ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa, UE juga mengadukan perihal:

Insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik; dan skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Organisasi multilateral Benua Biru itu mengklaim bahwa kebijakan tersebut melanggar:

  • Pasal XI.1 GATT mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor
  • Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang,
  • Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.

"Sebagai tahap pertama, Indonesia harus menjawab surat UE dalam waktu 10 hari yang isinya bersedia atau tidak bersedia melakukan konsultasi."

"Apabila bersedia, konsultasi harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya surat tersebut, atau waktu lain sesuai kesepakatan."

"Apabila Indonesia tidak bersedia untuk konsultasi, maka UE berhak langsung meminta pembentukan panel sengketa WTO."

"Jika disepakati untuk adakan konsultasi, maka Indonesia dan UE perlu menyepakati tempat, waktu, dan format pelaksanaan konsultasi tersebut," tutup Kleib.

Namun, Kleib mengatakan bahwa keputusan untuk menyepakati atau tidaknya tawaran konsultasi dari Uni Eropa "masih menunggu arahan dari Pusat (Jakarta), tentunya sebagaimana lazimnya kita terima tawaran UE untuk konsultasi dengan waktu, tempat dan format yg akan kita sepakati bersama."

"Dan, sebagaimana proses penyelesaian sengketa di WTO, jika tawaran konsultasi ditolak, maka EU berhak untuk langsung meminta pembentukan Panel WTO," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.