Sukses

Turunkan Angka Kelahiran, Program KB Bangladesh Dipuji Menteri Jerman

Menteri Pembangunan Jerman, Gerd Müller, memuji Bangladesh atas keberhasilan negara ini dalam mengendalikan angka kelahiran.

Berlin - Menteri Pembangunan Jerman, Gerd Muller, dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Deutschlandfunk, mengaku prihatin atas pesatnya laju pertumbuhan populasi di Afrika.

Ia menegaskan, benua ini perlu menurunkan angka kelahiran dengan membuka akses pendidikan untuk seluruh perempuan, serta meningkatkan layanan kesehatan dan perawatan anak.

Muller lalu menyebut Bangladesh, negara di Asia Selatan yang mayoritas Muslim dan berpenduduk lebih dari 160 juta jiwa, dianggapnya berani membuat langkah besar dalam menekan angka kelahiran selama lima dekade terakhir.

"Bangladesh telah menurunkan tingkat kesuburan dari sekitar tujuh kelahiran --oleh setiap perempuan-- menjadi 2,1 kelahiran per perempuan. Angka ini hampir setara dengan rata-rata di Eropa selama 50 tahun terakhir," ujar Muller, melansir DW Indonesia, Jumat (15/11/2019).

Ia pun menggarisbawahi pentingnya pemberdayaan kaum Hawa dalam mencapai penurunan ini. "Penentuan nasib sendiri dan hak yang sama bagi wanita, serta memastikan terjangkaunya akses pendidikan secara menyeluruh dan perawatan kesehatan bisa membawa perubahan besar."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rencana Jangka Panjang

Sejak merdeka pada 1971, Bangladesh sudah menerapkan program Keluarga Berencana (KB) guna mengawasi pertumbuhan populasi yang cepat.

Dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) domestik dan asing, pihak berwenang melakukan penyuluhan dari "pintu ke pintu" untuk meningkatkan kesadaran publik. 

"Bangladesh banyak berinvestasi dalam metode dan layanan KB. Setiap pasangan yang memenuhi syarat akan menerima informasi tentang metode KB dari petugas kesehatan setempat. Ini membantu mengurangi pertumbuhan populasi," ucap Aminul Haque, seorang profesor ilmu kependudukan dari Universitas Dhaka.

Sebuah data yang diterbitkan oleh Bank Dunia menunjukkan, jumlah rata-rata kelahiran bayi per perempuan di Bangladesh turun dari 6,9 di tahun 1971 menjadi 2,06 pada 2017.

Lebih dari 90 persen populasi Bangladesh adalah Muslim dan kebanyakan konservatif. Pada 1970-an dan 80-an, pengamat mengatakan, para pejabat dan aktivis sempat merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan para wanita tentang KB. Terlebih bagi yang sudah menikah dan tinggal di pedesaan.

"Kami menghadapi perlawanan besar dari para pemimpin agama pada masa itu. Anggota keluarga laki-laki berusaha menjauhkan kami dari perempuan," ujar Saidur Rahman, petugas KB tingkat lapangan di kota Kishoreganj.

"Tapi pemerintah mulai memberikan kursus KB kepada para pemimpin Muslim, Hindu dan agama lainnya, sebagai bagian dari upaya melibatkan mereka dalam program ini," katanya lagi.

"Pada titik tertentu, mereka menyadari bahwa keluarga kecil lebih baik jika seseorang tidak memiliki kapasitas untuk memberi makan (keluarga) yang lebih besar."

Rahman juga menggarisbawahi pentingnya akses terhadap pendidikan untuk mencapai kesuksesan program kontrol kelahiran. Peningkatan tingkat melek huruf dari waktu ke waktu juga berdampak positif pada penurunan tingkat kesuburan.

Para pakar percaya, media massa di Bangladesh --khususnya lembaga penyiaran publik-- berperan besar dalam membuat orang sadar akan manfaat memiliki lebih sedikit anak.

Media harus berani menunjukkan bahwa memiliki sedikit anak dapat membantu orang tua dalam merawat anak-anak mereka dengan lebih baik serta mengurangi beban keuangan.

3 dari 3 halaman

Kontrasepsi Gratis untuk Perempuan

Pemerintah Bangladesh telah menyediakan alat kontrasepsi gratis untuk kaum perempuan selama beberapa dekade. Pil KB menjadi sangat populer di kalangan perempuan di negara ini, dimana masih banyak pria yang memilih untuk tidak menggunakan kontrasepsi selama berhubungan seksual.

"Lebih dari 40 persen perempuan yang memenuhi syarat meminum pil KB secara teratur. Mereka lebih menyukainya daripada metode lain karena efek sampingnya lebih sedikit," kata Rahman kepada DW.

Data statistik yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Keluarga Berencana Bangladesh menunjukkan bahwa pada tahun 1975 hanya sebanyak 8 persen dari total populasi negara itu menggunakan kontrasepsi. Namun, pada 2018, angka ini naik menjadi 63,1 persen.

"Perempuan yang memilih bentuk kontrasepsi jangka panjang bisa mendapatkannya gratis berikut perawatan medis yang diperlukan sesudahnya. Kami juga memberikan mereka uang dan hadiah lain jika mereka datang kepada kami untuk solusi jangka panjang," kata Saidur Rahman.

"Perempuan di Bangladesh sangat lebih memilih untuk mengontrol kelahiran. Banyak dari mereka bahkan minum pil KB tanpa memberi tahu suami mereka yang konservatif," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.