Sukses

Kualifikasi Piala Dunia Hong Kong Vs Iran Jadi Ajang Aksi Massa Pro Demokrasi

Sekelompok massa pro demokrasi Hong Kong memanfaatkan pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 Hong Kong vs Iran sebagai ajang dari aksi protes mereka.

Liputan6.com, Hong Kong Stadium - Sekelompok massa pro demokrasi Hong Kong memanfaatkan pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 Hong Kong vs Iran sebagai ajang dari aksi protes mereka.

Peristiwa itu menjadi salah satu noktah unik pada rangkaian protes yang telah melanda wilayah administratif khusus China tersebut sejak beberapa pekan terakhir.

Satu jam sebelum kick-off pada Selasa 10 September 2019 malam waktu lokal, sejumlah massa di tribun Hong Kong Stadium meneriakan "Berjuang untuk kemerdekaan, berdiri bersama Hong Kong," demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (11/9/2019).

Beberapa dari anggota massa itu memakai pakaian hitam khas gerakan pro-demokrasi serta membawa Bendera Hong Kong berlatar hitam (warna orisinalnya adalah merah). Sementara yang lain mengenakana jersey timnas Hong Kong.

Pada saat pemain timnas memasuki lapangan untuk seremoni pembukaan, demonstran menunjukkan gelagat protes ketika lagu kebangsaan China berkumandang.

Mereka berdiri membelakangi lapangan sambil mengeluarkan seruan olok-olok --memprotes China.

"Saya di sini untuk mendukung tim Hong Kong dan Hong Kongers (demonim Hong Kong)," kata Brian Kwok (28), salah satu pemrotes.

Meski bagian dari China, Hong Kong adalah entitas independen dalam dunia olahraga, dengan para atletnya bertanding di bawah panji bendera berlogo bunga anggrek (Bauhinia blakeana) tersebut.

Namun, untuk urusan lagu kebangsaan, "March of the Volunteers" Tiongkok wajib dikumandangkan ketika atlet Hong Kong bertanding atau menaiki podium --mengingat bahwa Hong Kong secara resmi merupakan bagian kedaulatan China.

Beijing memberlakukan undang-undang lagu kebangsaan pada tahun 2017 dan memasukkannya sebagai amandemen konstitusi Hong Kong, yang mengharuskannya diumumkan secara resmi oleh Dewan Legislatif wilayah tersebut.

Undang-undang dijadwalkan berlaku pada Juli 2019. Namun, rangkaian demonstrasi telah membuat parlemen menundanya hingga Oktober 2019.

Berdasarkan undang-undang baru, siapapun yang "secara terbuka dan sengaja menghina" lagu kebangsaan dapat dihukum hingga tiga tahun penjara dan denda maksimum US$ 6.410.

Seorang pria berdiri di dekat payung-payung dukungan pelaksanaan demokrasi langsung di dekat pusat pemerintahan Hong Kong, (2/10/2014). (AFP PHOTO/Dale De La Rey)

Namun, karena itu belum menjadi hukum resmi di Hong, para pemrotes mencemooh tanpa takut hukuman, kecuali kemungkinan denda dari Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).

Sementara selama jalannya pertandingan, para penonton melambaikan telepon mereka dan meneriakkan slogan-slogan protes serentak, mengulurkan lima jari untuk mewakili tuntutan mereka terhadap pemerintah.

Bukan yang Pertama

Sejak 2015, beberapa bulan setelah Umbrella Movement atau Gerakan Payung pro-demokrasi berakhir, penggemar sepak bola telah menjadi demonstran aktif di pertandingan. Mereka telah mencemooh lagu kebangsaan Cina, termasuk pada pertandingan di mana Hong Kong berhadapan melawan China di kualifikasi Piala Dunia terakhir mereka.

Penentangan ini telah menarik beberapa denda dari FIFA yang dijatuhkan kepada Asosiasi Sepak Bola Hong Kong.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sekilas Demonstrasi Hong Kong

Rangkaian demonstrasi di Hong Kong telah berjalan selama lebih dari dua bulan, sejak dimulai pada Juni 2019 lalu.

Protes telah menimbulkan keresahan publik dan menuai ketegangan, antara para demonstran yang dikenal sebagai massa pro-demokrasi dengan pemerintah administratif Hong Kong serta pemerintah pusat China di Bejing.

Demonstrasi dipicu oleh penolakan massa terhadap RUU Ekstradisi Hong Kong, yang memungkinkan seorang pelanggar hukum untuk dikirim ke China guna menjalani proses peradilan. Massa menilai RUU itu sebagai bentuk pelunturan terhadap nilai-nilai independensi wilayah otonom eks-koloni Inggris tersebut.

Menyikapi protes berlarut, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah secara resmi membatalkan RUU tersebut.

Namun, demonstran tak puas. Protes terus berlanjut dan bermanifestasi menjadi: tuntutan-tuntutan demokratisasi secara luas terhadap Hong Kong, bahkan referendum dari China; dan penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi selama menangani massa.

Demonstrasi telah memicu bentrokan antara massa pro-demokrasi dengan aparat, serta massa dengan gerombolan pihak ketiga, yang terjadi di sejumlah titik kota dan objek vital.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.