Sukses

Ajak Siswa Perangi Hoaks, UNESCO: Harus Kritis tapi Jangan Sinis

Penasihat UNESCO mengajak siswa SMA dan SMK untuk memerangi berita palsu.

Liputan6.com, Jakarta - Seorang penasihat bidang komunikasi dan informasi UNESCO (badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan) mengajak siswa SMA dan SMK untuk memerangi berita palsu. Ia adalah Ming Lim Kuok yang menekankan kunci utama pemberantasan hoaks yakni perlunya sikap kritis dan tidak sinis.

Sikap kritis dibutuhkan untuk memverifikasi, apakah informasi yang didapat benar atau salah. Sementara tidak sinis berarti tetap percaya pada media dengan informasi yang kredibel. 

"Bahaya hoax atau disinformasi adalah orang menjadi tidak percaya pada konten jurnalisme," kata Lim Kuok kepada para peserta yang merupakan siswa Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan, dalam acara KomExpo yang digelar di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta pada Rabu (28/8/2019).

Menurut sang penasihat UNESCO itu, dengan masifnya berita palsu publik akan tidak percaya pada informasi apapun, termasuk hal-hal yang penting dan kredibel.

Jelaskan Cara Mengecek Berita Palsu

Dalam kesempatan yang sama, Lim Kuok juga menjelaskan teknik dasar dalam mengecek kebenaran informasi. Ia menyuruh para peserta mengeluarkan ponsel, lalu memotret seorang teman.

Selanjutnya, Lim Kuok menginstruksikan para siswa untuk membuka situs tineye.com, mengunggah foto tadi, lalu akan tampak penjelasan sperti "0 result" atau jumlah tertentu.

"Selamat Anda telah melakukan verifikasi (berita bohong) tingkat dasar," kata penasihat UNESCO itu kepada peserta. "Sekarang kalian bisa melakukan verifikasi sendiri dari foto (dari berita atau informasi) yang dikirim oleh ibu dan ayah Anda."

"Jika hasilnya tidak 0 (0 result), berarti perlu dicurigai," paparnya.

UNESCO memang aktif mengadakan pelatihan untuk memberantas berita palsu, salah satunya dengan menerbitkan handbook pada beberapa tahun lalu.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Peserta Mengaku Sering Mendapat Informasi Palsu

Salah satu peserta acara yang bernama Syifa Altari, mengatakan pernah mendapat informasi palsu dari media sosial.

"Kala itu disebutkan kecelakaan terjadi baru saja di matraman, namun orang lain tiba-tiba mengatakan di tempat lain," tutur Syifa. Saat itu, lantas gadis itu mengaku ragu akan kebenaran informasi.

Seorang peserta yang lain, Cintya, mengatakan sempat mendapat berita hoaks dari LINE. Saat itu mendapatkan berita Lionardo Dicaprio meninggal dunia. Ternyata yang meninggal bukan Lionardo Dicaprio artis, namun Lionardo Dicaprio yang lain.

"Jika ada berita hoaks bagaimana cara mengatasi hal itu? Saya sering mendapat berita hoaks dari Facebook, karena kadang susah untuk mengetahui apa itu hoaks atau bukan." tutur peserta yang lain.

Menurut Lim Kuok, informasi yang meragukan seperti itu harus diverifikasi salah satunya dengan cara yang tadi telah diajarkan yakni dengan tineye.com meskipun hal itu masih bersifat dasar.

Berusaha menjawab pertanyaan, Lim Kuok kembali menegaskan cara yang dapat ditempuh untuk memerangi hoaks.

"Cara yang pertama kembangkan cara untuk memverifikasi data, seperti tadi yang dilakukan tapi itu sangat dasar," kata Lim. "Kedua, baca berita yang kredibel dengan menambahkan pengetahuan kita sendiri (sikap kritis) hal itu akan menjadi semacam senjata — untuk memberantas hoaks," lanjutnya.

Selain itu, menurutnya, media mainstream juga harus berbenah diri. Yakni, memberikan informasi yang bermanfaat dan berkualitas kepada publik. Selain itu, jelaskan kepada publik apa itu jurnalisme.

Untuk diketahui, media mainstream dengan informasi yang didapat dari citizen journalism memang memiliki perbedaan. Media diikat oleh kode etik, sehingga informasi yang disampaikan harus benar-benar terpercaya.

 

3 dari 3 halaman

Perlunya Berhenti Kecanduan Medsos

Pada kesempatan itu, sang penasihat UNESCO juga mengimbau para peserta untuk mencegah kecanduan media sosial.

"Setiap kali kita mendapat like di instagram, kita akan senang. Hal itu menghasilkan dopamin. Dengan demikian kita akan kecanduan. Coba pikirkan ketika konten Anda tidak mendapat komentar atau like, kan sedih. Hal itu menghasilkan toksifikasi media sosial," tutur Lim Kuok.

"Oleh karenanya, matikan notifikasi medsos. Beberapa jam pertama mungkin akan tidak senang," katanya. "Jika benar-benar tidak bisa, berarti sudah ketagihan."

Ia lalu bertanya kepada peserta acara apakah pernah seharian tidak menggunakan medsos. Peserta pun menjawab pernah, yakni saat mati lampu seharian di Jakarta.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.