Sukses

Ilmuwan: Iklim Terbentuk Oleh Aktivitas Gunung Berapi Sejak Zaman Dulu

Benarkah gunung berapi menciptakan iklim berbeda di Bumi?

Liputan6.com, Jakarta - Lima letusan gunung berapi dahsyat terjadi pada awal Abad ke-19. Peristiwa ini menyebabkan pendinginan suhu di Bumi dan --seperti yang ditunjukkan oleh penelitian dari University of Bern-- kekeringan di daerah-daerah dengan musim hujan, gletser pun tumbuh di Pegunungan Alpen.

Studi tersebut menunjukkan bahwa iklim pra-industri tidak konstan. Aktivitas dari gunung berapi di daerah tropis menjadi tak terkendali antara 1808 dan 1835.

Mislanya, Gunung Tambora yang tidak hanya meletus di Indonesia selama periode waktu yang singkat, tetapi ada juga empat letusan besar setelahnya.

Serangkaian letusan gunung berapi yang tidak biasa itu menyebabkan kemarau yang berlangsung lama di Afrika dan berkontribusi pada keadaan gletser di Pegunungan Alpen selama Zaman Es Kecil (Little Ice Age).

"Letusan besar gunung berapi sering menyebabkan pergeseran sistem iklim global," kata Stefan Bronnimann, kepala tim peneliti internasional yang menemukan dampak dari serangkaian letusan di lautan dan pada sirkulasi atmosfer, seperti dikutip dari situs www.thegwpf.com, Kamis (1/8/2019).

Bronnimann adalah Profesor Klimatologi di University of Bern dan anggota Oeschger Centre for Climate Research (Pusat Penelitian Iklim Oeschger). Riset mereka telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Geosciences.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sedikit Hujan di Afrika dan India, Banyak Hujan dan Salju di Eropa

Untuk melakukan investigasi, para peneliti menganalisis rekonstruksi iklim baru yang mencakup sirkulasi atmosfer dan membandingkan hasilnya dengan data berbasis observasi.

Simulasi model tersebut akhirnya membantu menjabarkan peran lautan dalam perubahan iklim di awal Abad ke-19 dan menunjukkan bahwa model tersebut tidak dapat pulih dari dampak letusan selama beberapa dekade.

Konsekuensi itu antara lain melemahnya sistem hujan di Afrika dan India secara terus-menerus, dan pergeseran sirkulasi atmosfer di atas Atlantik-Eropa. Hal ini menyebabkan peningkatan sistem tekanan rendah yang melintasi Eropa Tengah.

Pembentukan gletser di Pegunungan Alpen dari tahun 1820-an hingga 1850-an adalah konsekuensi lain dari meningkatnya curah hujan, karena sirkulasi berubah ketika berkombinasi dengan suhu rendah.

Namun, suhu global meningkat lagi dari akhir Abad ke-19 dan seterusnya. Zaman Es Kecil akhirnya digantikan oleh fase pertama pemanasan global, yang memuncak pada tahun 1940-an dan dengan 'kontribusi' manusia yang signifikan.

3 dari 3 halaman

Kenaikan Suhu

Studi baru itu tidak hanya menjelaskan iklim global pada awal Abad ke-19, tetapi juga relevan untuk waktu sekarang.

"Mengingat perubahan iklim besar yang terlihat pada awal Abad ke-19, sulit untuk menentukan iklim pra-industri," jelas pemimpin penulis Stefan Bronnimann.

Itu semua memiliki konsekuensi untuk iklim target yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan, yang ingin membatasi kenaikan suhu global paling banyak antara 1,5 dan 2 derajat Celcius.

Dengan bergantung pada periode referensi, iklim telah memanas jauh lebih signifikan daripada yang diperkirakan dalam diskusi iklim.

Alasannya, iklim yang ada sekarang, biasanya dibandingkan dengan periode referensi antara tahun 1850 dan 1900 --untuk menghitung pemanasan akhir-akhir ini.

Suhu global rata-rata telah meningkat sebesar 1 derajat.

"1850 hingga 1900 tentu merupakan pilihan yang baik. Namun, bila dibandingkan dengan paruh pertama Abad ke-19 ketika iklim Bumi secara signifikan lebih dingin karena letusan gunung berapi, diketahui bahwa kenaikan suhu sudah sekitar 1,2 derajat Celcius," kata Stefan Bronnimann.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.