Sukses

Dewan Keamanan PBB Diminta untuk Setop Perang Saudara di Libya

Kepala Misi Dukungan PBB untuk Libya (UNSMIL) kepada Dewan Keamanan menyebut pertempuran di Libya tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Liputan6.com, New York - Pertempuran di Libya "tidak menunjukkan tanda-tanda mereda", kata kepala Misi Dukungan PBB untuk Libya (UNSMIL) kepada Dewan Keamanan pada Senin 29 Juli 2019.

Oleh karenanya, Ghassan Salamé meminta agar organ kelengkapan PBB itu segera turun tangan untuk menghentikan konflik bersenjata berlarut, yang telah membuat ratusan ribu warga sipil tercerabut dari tempat tinggalnya serta memicu krisis pengungsi baru, demikian seperti dikutip dari UN News, Selasa (30/7/2019).

Salamé menggambarkan kondisi kemanusiaan yang memburuk di negara Afrika utara tersebut, serta memperingatkan akan adanya instabilitas berkepanjangan, dengan masuknya senjata dan pasukan asing yang bisa memicu perang proksi.

Pria yang juga merupakan utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB itu mengatakan, "Perang di sekitar Tripoli telah menyebabkan hampir 1.100 orang tewas, termasuk 106 warga sipil."

"Ratusan ribu orang telah meninggalkan rumah mereka di ibukota dan distrik-distrik tetangga sebagai akibat dari pertempuran; puluhan ribu melintasi perbatasan ke Tunisia mencari keamanan untuk keluarga mereka."

Konflik meledak pada 4 April 2019 ketika kepala milisi berbasis di timur yang dikenal sebagai Tentara Nasional Libya (LNA), Jenderal Khalifa Haftar, melancarkan serangan terhadap Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui secara internasional, yang berbasis di Tripoli.

"Perang telah memperburuk kondisi kemanusiaan dan menghambat akses ke makanan, kesehatan, dan layanan penyelamatan jiwa lainnya," Salamé menekankan.

Pasukan dari Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar meluncurkan serangan hampir dua pekan lalu untuk merebut Tripoli (AFP/Mahmud Turkia)

"Para pihak, mengabaikan seruan untuk de-eskalasi, telah mengintensifkan kampanye udara, dengan serangan udara presisi oleh pesawat dan drone bersenjata."

Lingkup geografis kekerasan juga telah menyebar.

Menurut kepala UNSMIL, pada 26 Juli 2019, untuk pertama kalinya, pasukan GNA melancarkan serangan udara di pangkalan belakang utama LNA di wilayah Jufra. Dan pada tanggal 27 Juli, pasukan Jenderal Haftar meluncurkan serangan udara di pangkalan udara GNA di Misrata.

Selain senjata berat dan serangan darat, ada peningkatan tentara bayaran asing dalam konflik di Libya.

"Pasukan di kedua belah pihak telah gagal untuk mematuhi kewajiban mereka di bawah hukum humaniter internasional," keluh Salamé, menyebut "contoh paling tragis dari serangan sembarangan" yang dilakukan di pusat penahanan imigran pada 2 Juli 2019, yang menewaskan 53 orang dan melukai 87 lainnya, termasuk anak-anak.

Simak video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Fenomena Pengungsi Libya Menerjang Laut

Untuk menambah situasi yang semakin memburuk, pada 25 Juli 2019, hingga 150 migran kehilangan nyawa setelah sebuah kapal yang mereka tumpangi terbalik di pantai Libya.

Ghassan Salamé lebih lanjut menggarisbawahi adanya "kebutuhan mendesak untuk mengatasi akar penyebab masalah migran dan segera mengakhiri penderitaan," sang Perwakilan Khusus menyatakan.

Ketika badan-badan kemanusiaan PBB bekerja dengan rajin untuk mengurangi "kondisi mengerikan" di pusat-pusat penahanan yang menampung lebih dari 5.000 pengungsi dan migran --dengan 3.800 di antaranya terekspos pertempuran-- Salamé mendesak Dewan Keamanan untuk memanggil pihak berwenang di Tripoli untuk menyelamatkan mereka dan membebaskan yang ditahan.

“"UNSMIL telah menyusun rencana untuk penutupan secara teratur dan bertahap dari semua pusat penahanan dan mencari dukungan Anda untuk penerapannya," lanjutnya, mencatat bahwa sejauh ini tahun ini, hampir 4.500 pengungsi dan migran turun di Libya, "dengan risiko penahanan yang serius, penangkapan sewenang-wenang dan orang-orang yang terjebak oleh pertempuran."

Perwakilan Khusus mendesak negara-negara Eropa "untuk menanggapi permintaan Sekretaris Jenderal yang berulang kali, meninjau kembali kebijakan dan memindahkan migran dan pengungsi ke tempat yang aman."

Dia juga mencatat "dengan khawatir" mengenai meningkatnya frekuensi serangan di bandara Mitiga, yang berfungsi sebagai satu-satunya bandara yang berfungsi di wilayah Tripoli yang lebih besar, beberapa di antaranya "telah hampir saja hampir menghantam pesawat sipil dengan penumpang di dalamnya."

"Saya khawatir dengan pemboman yang hampir terjadi setiap hari, keberuntungan akan habis," katanya.

"Saya menyerukan kepada pihak berwenang di Tripoli untuk berhenti menggunakan bandara untuk tujuan militer dan bagi pasukan penyerang untuk segera menghentikan target mereka."

3 dari 3 halaman

Status UNSMIL sebagai Perpanjangan Tangan DK PBB

Karena situasi keamanan, UNSMIL harus mengurangi presensinya di Libya, tetapi belum menarik diri, yang memungkinkan PBB untuk menanggapi kebutuhan kemanusiaan, keprihatinan hak asasi manusia, mengurangi pertempuran dan melanjutkan proses politik.

Ghassan Salamé "sangat khawatir" bahwa petugas kesehatan dan fasilitas "berulang kali menjadi sasaran", mencatat bahwa banyak dokter dan petugas kesehatan telah terluka dan terbunuh, "termasuk 5 orang" akhir pekan lalu.

"Impunitas seharusnya tidak berlaku terutama bagi mereka yang menyerang rumah sakit dan ambulans," kata Salamé.

"Melindungi warga sipil dan pekerja kemanusiaan membutuhkan sanksi terhadap mereka yang melakukan kejahatan."

"Hampir tujuh puluh tahun yang lalu, PBB memutuskan untuk menciptakan Libya yang merdeka," pungkasnya.

"Hanya dengan keizinan Anda, Dewan Keamanan, kami dapat bersama-sama membantu rakyat Libya melewati episode kelam dan kejam ini menuju masa depan yang lebih penuh harapan dan menjanjikan".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.