Sukses

Belanda dan 4 Negara Ini Diprediksi Akan Lenyap

Sebuah prediksi menyebut negara-negara berikut akan lenyap. Benarkah demikian?

Liputan6.com, Jakarta - Selama ini mungkin kita berpikir, negara-negara di dunia bersifat permanen atau tidak akan hilang. Namun sesungguhnya sejarah telah mengajarkan, lenyapnya suatu negara adalah hal yang benar-benar ada.

Fenomena terkini menghilangnya negara adalah Uni Soviet yang runtuh pasca-Perang Dingin. Contoh lain yakni Astro-Hungaria dan Kekaisaran Ottoman.

Terdapat prediksi unik sejumlah negara juga dapat menghilang di masa yang akan datang, yakni tahun 2115. Berikut adalah lima di antaranya, seperti dilansir dari laman Toptenz.net dikutip Kamis (25/7/2019).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Belanda

Jika Uni Soviet pecah karena alasan sosial-politik, maka lain halnya dengan prediksi lenyapnya Belanda. Negeri Kincir Angin ini diprediksi akan menghilang karena adanya perubahan iklim, dikutip dari Toptenz.net.

Bukanlah tidak mungkin, hal itu karena Negeri Tulip Oranye dikenal dengan tanggulnya dan sebagian wilayah yang berada di bawah permukaan laut.

Sebagai negara dengan perekonomian yang kuat, Belanda dapat terus memperluas tanggulnya ke atas. Namun, jika terjadi perubahan iklim maka air laut akan terus membanjiri; mengingat es kutub mengalami pencairan.

3 dari 6 halaman

2. Korea Utara

Berbeda dengan Belanda yang diprediksi hilang karena pencairan es, Korea Utara diramalkan akan lenyap karena berpotensi bersatu dengan Korea Selatan menjadi satu "Korea", demikian melansir dari Toptenz.net. Tak ada rincian lebih lanjut.

Beberapa pakar percaya hanya masalah waktu sebelum Pyongyang bergejolak karena adanya kecurigaan. Ketika peristiwa yang tak terhindarkan itu terjadi, sekitar tahun 2115, Korea Selatan akan bersiap memperbaiki kerusakan hubungan dengan klan Kim.

Toptenz.net menyamakan hal itu dengan peristiwa bersatunya Jerman Barat dan Timur pada tahun 1990.

4 dari 6 halaman

3. Inggris Raya?

Pada awal zaman Romawi, upaya untuk menyatukan bagian utara dan selatan Inggris telah gagal. Dibuktikan dengan pembangunan tembok antara Skotlandia dan Inggris. Namun pada akhirnya, terjadi penggabungan wilayah-wilayah yang saat ini disebut sebagai Kerajaan Inggris Raya, yakni pada tahun 1707.

Namun, belakangan ini, salah satu kerajaan paling sukses dalam sejarah sedang menghadapi tantangan yang nyata. Persatuan kedua kerajaan mulai menunjukkan celah sejak 1853. Puncaknya, pada tahun 1934 para nasionalis Skotlandia membentuk Partai Nasional Skotlandia (SNP).

Referendum menyerukan pembubaran Inggris telah muncul di Skotlandia kira-kira setiap 20 tahun sejak tahun 1970-an. Yang pertama gagal karena masalah teknis. Yang kedua sangat populer, dan akhirnya menetapkan aturan rumah yang telah diperdebatkan selama hampir 150 tahun.

Sementara yang terbaru, yakni pada 2014, referendum berakhir gagal dengan margin yang kecil. Namun, enam bulan kemudian SNP menyapu perolehan pemilihan anggota parlemen. Saat ini, gerakan nasionalisme sayap kanan di Skotlandia semakin besar.

5 dari 6 halaman

4. Haiti

Haiti berulang kali bernasib buruk. Di antaranya adalah menderita kasus pembersihan etnis yang terjadi di negara tetangga Dominika pada tahun 1930-an, menderita kemiskinan parah, serta pemberontakan bersenjata.

Tak hanya itu, negara ini menjadi target berbagai bencana alam dan wabah penyakit. Masalah ini diperparah dengan perubahan iklim. Mengingat, Haiti adalah titik nol untuk setiap badai yang tidak mengarah ke Pantai Timur AS. Selain itu, perubahan iklim juga akan menaikkan permukaan air laut.

6 dari 6 halaman

5. Sudan Selatan?

Sudan Selatan adalah negara terbaru di dunia yang dibentuk berkat refrendum 2011 dengan 99 persen suara memutuskan berpisah dari Sudan. Namun hal itu bukan berarti pintu gerbang kemakmuran Juba.

Sudan Selatan kesulitan menegosiasikan perbatasan wilayahnya dengan Sudan. Saat memisahkan diri, Sudan Selatan mengambil ladang minyak. Sayang, Khartoum mempertahankan infrastruktur pengangkut. 

Sejak itu pendapatan minyak mandek karena kegagalan untuk menegosiasikan kesepakatan bagi hasil dan kedua negara memiliki proto-perang kecil tentang cara membagi sumber daya mereka .

Selain itu, Sudan Selatan juga belum beruntung. Sebanyak 9 dari 10 provinsi mengalami konflik bersenjata ketika berbagai kelompok suku dan etnis saling bertarung.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.