Sukses

Serikat Buruh Migran Indonesia Pulangkan 2 Korban Perdagangan Manusia

Sampai bulan Juli 2019, SBMI telah menerima aduan kasus korban TPPO (Tindak Pidana Perdangangan Orang) bermodus pengantin pesanan ke negara China sebanyak 26 orang.

Liputan6.com, Jakarta - Serikat Buruh Migran Indonesia kembali berhasil memulangkan 2 (dua) orang perempuan korban pengantin pesanan di negara China. Sampai bulan Juli 2019, SBMI telah menerima aduan kasus korban TPPO (Tindak Pidana Perdangangan Orang) bermodus pengantin pesanan ke negara China sebanyak 26 kasus.

Sebanyak 14 orang berasal dari Kalimantan Barat, 7 (tujuh) orang dari Jawa Barat, 2 (dua) orang dari Tangerang, 1 (satu) orang dari Jawa Timur, 1 (satu) orang dari Jawa Tengah, dan 1 (satu) orang dari DKI Jakarta. Dari kasus yang masuk ke SBMI, sebanyak 7 (tujuh) orang sudah berhasil dipulangkan ke Indonesia, 2 (dua) orang berhasil digagalkan berangkat, Selebihnya masih dalam proses penanganan.

Berdasarkan pengalaman penanganan kasus korban pengatin pesanan di SBMI, para korban berada dalam situasi rentan. Situasi rentan itu antara lain:  

Sebelum Menjadi Korban TPPO bermodus Pengantin PesananDari kesaksian 26 korban TPPO bermodus pengantin pesanan diketahui mereka memiliki latar belakang ekonomi yang kurang mampu, korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh pasangannya, dan kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan.

Situasi diatas merupakan beberapa faktor pendorong yang mengakibatkan perempuan korban TPPO bermodus pengantin pesanan mudah ditipu oleh mak comblang atau perekrut dengan berbagai iming-iming.

Mengubah ekonomi menjadi lebih baik, dengan alasan suaminya nanti adalah anak orang kaya, bekerja sebagai arsitek, dengan gaji 25 juta, sehingga bisa mengirim uang kepada orang tua yang mengasuh anak dan tambahan uang untuk membangun rumah yang belum selesai.

Dari tawaran mak comblang atau perekrut menyampaikan bahwa risiko untuk korban sangat kecil. Untuk memuluskan bisnis perdagangan perempuan bermodus pengantin pesanan ini perekrut tidak segan memalsukan dokumen korban. Korban tidak menyadari bahwa dengan adanya pemalsuan dokumen pribadi (nama, umur, dan agama), maka korban rentan dihapus sejarah hidup serta sudah menjadi korban TPPO.

Sebagian dari korban merasa berdosa karena ternyata sesampai disana tidak dinikahkan. Dan jikapun menikah, maka dipaksanakan menikah dengan cara agama berbeda dari agama yang dianutnya, sementara korban tidak bisa menolak hasrat seksual dari suaminya.

Pada saat korban menolak melakukan hubungan badan, maka korban akan mendapat kekerasan (pemukulan, leher diikat dengan tali dan ditarik dari belakang, telapak tangan teriris pisau hingga berdarah, ditelanjangi oleh mertua perempuan yang ingin segera mendapat momongan, dipukul dari belakang karena korban lari untuk menghindar, suami tidak percaya penolakan korban ketika menolak dengan alasan sedang menstruasi.

Kekerasan lain juga terjadi, misal diinfus selama lebih dari seminggu padahal korban tidak merasa sakit. Akibat dari mallpraktik ini, korban mengalami pusing-pusing, hampir pingsan dan tidak bisa tidur sampai jam lima pagi, serta disuruh tidur dihalaman rumah pada musim dingin di China tanpa diberi selimut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sanksi Tidak diberi Makan

Korban kerap diberi sanksi dengan tidak diberik makan. Semua makanan dimasukkan kedalam kamar mertua dan dikunci. Sanksi ini diberikan ketika korban tidak mau bekerja menjadi buruh di home industri diluar rumah atau kerja membuat kerajinan tangan yang dikerjakan dalam rumah suami. Sanksi ini juga berlaku ketika kerja kerajinan dianggap lambat.

Korban dipaksa bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam tujuh sore, bahkan lanjut hingga jam semmbilan malam. Bekerja keras tanpa hari libur, dan upah diambil oleh keluarga suami.

Dari pengakuan para korban, ketika korban ketahuan dalam melakukan percobaan untuk kabur, korban disekap dalam kamar dan dikunci dari luar. Sehingga sebagian korban, nekat memecah kaca jendela agar bisa berhasil kabur. 

Sebagian korban yang berhasil mengadu kepada polisi, juga tidak pasti dibantu karena pemahamam polisi berbeda-beda, ada yang paham dan mengerti dengan undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), ada yang tidak. Jika pada saat mengadu polisi tidak paham, maka polisi mengembalikan kepada keluarga suaminya. Sebagian yang lain, dipenjara karena dianggap melakukan pelanggaran imigrasi (masa berlaku visanya telah habis).

Pada saat korban sudah berhasil pulang ke Indonesia, korban juga masih mendapat kekerasan antara lain: Dipaksa untuk berfoto bahagia bersama suami dan keluarga oleh agen sebelum pulang, hal ini dilakukan agar tidak tampak penderitaan korban dan terkesan baik-baik saja.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini