Sukses

Penyelidik PBB: Myanmar Melakukan Kejahatan Perang Jenis Baru

Seorang penyelidik PBB mengatakan, pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pelanggarah di negara-negara bagian barat negaranya yang bergolak.

Liputan6.com, Naypyitaw - Seorang penyelidik PBB mengatakan pada Selasa, 2 Juli 2019 bahwa pasukan keamanan Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil di bagian barat negaranya yang bergolak. Tindakan itu mungkin sama dengan kejahatan perang jenis baru, kata Yanghee Lee, pakar independen PBB.

Pasukan pemerintah Myanmar saat ini berperang melawan Arakan Army di Rakhine dan negara bagian tetangganya Chin. Arakan Army adalah kelompok separatis yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar bagi etnis Budha Rakhine.

"Dampaknya terhadap warga sipil sangat menghancurkan," kata Lee sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Rabu (3/7/2019). "Banyak tindakan dari Tatmadaw (tentara nasiona) dan Arakan Army melanggar hukum humaniter internasional dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang, serta melanggar hak asasi manusia."

Lee telah mengatakan pada pekan lalu bahwa pemerintah Myanmar mungkin telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan memutus jaringan telepon seluler.

Pada 22 Juni, pihak berwenang memerintahkan perusahaan telekomunikasi untuk menutup layanan internet di kedua negara. Telenor Group mengatakan kementerian transportasi dan komunikasi menyebut adanya "gangguan perdamaian dan penggunaan aktivitas internet untuk mengoordinasikan kegiatan ilegal".

Sebelumnya, lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, setelah tindakan keras tentara pada tahun 2017 yang disebut penyelidik PBB berniat genosidal. Kejahatan dalam kasus itu termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran yang meluas.

Pemerintah Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan kampanye militernya di Rakhine utara adalah tanggapan terhadap serangan oleh pemberontak Rohingya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Myanmar Siapkan Pemulangan Rohingya

Sementara itu, Myanmar akan mengirim delegasi tingkat tinggi ke kamp-kamp pengungsian etnis Rohingya di Bangladesh pada akhir bulan ini. Mereka akan mengerjakan sejumlah hal yang berkenaan dengan proses pemulangan pengungsi (repatriasi) Rohingya ke Negara Bagian Rakhine.

Hal itu disampaikan oleh seorang diplomat Myanmar di PBB pada Senin 1 Juli 2019.

Duta besar Hau Do Suan mengatakan dalam pertemuan Majelis Umum PBB bahwa pemerintahannya akan "mengirim delegasi tinggi pada akhir Juli, untuk memberikan penjelasan kepada pengungsi tentang pengaturan seputar repatriasi dan pemukiman kembali," demikian seperti dikutip dari The Daily Star.

Suan mengatakan bahwa sekitar 30.000 Rohingya telah mengajukan permohonan repatriasi, dan 13.200 di antaranya telah diverifikasi sebagai mantan penduduk Rakhine.

"Mereka (yang telah terverifikasi) bisa kembali ke Rakhine kapan saja," kata Suan.

Saat ini, sekitar 740.000 etnis Rohingya mendiami kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazaar, Bangladesh, menyusul gelombang kekerasan di Rakhine pada Agustus 2017 akibat konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan kelompok militan Arakan.

Para pengungsi mengaku melarikan diri dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar sebagai bagian dari operasi mereka memberangus militan.

PBB telah menggambarkan pengusiran massal Rohingya sebagai "pembersihan etnis", tetapi tentara Myanmar menegaskan kampanye itu dibenarkan untuk membasmi pemberontak Rohingya yang melakukan serangan mematikan di pos-pos perbatasan pada Agustus 2017.

3 dari 3 halaman

Proses Repatriasi yang Tersendat

Pembicaraan politik tentang proses repatriasi, terutama yang dilakukan oleh Bangladesh dan Myanmar, telah dilakukan sejak dua tahun terakhir.

Sesuai dengan perjanjian bilateral yang ditandatangani Bangladesh dan Myanmar di Naypyidaw pada 23 November 2017, proses repatriasi pengungsi Rohingya dimulai pada 22 Januari 2018 dan selesai dalam dua tahun --tepatnya pada Januari 2020. 

Namun, pelaksanaannya tersendat.

Dhaka menuduh Naypyidaw tak serius dalam memenuhi syarat-syarat repatriasi (seperti memberikan penjaminan repatriasi yang sukarela, aman dan bermartabat) serta sengaja mengulur-ngulur waktu.

Burma menolak tuduhan Bangladesh, mengatakan bahwa mereka telah menyiapkan segala hal yang diperlukan bagi repatriasi Rohingya ke Rakhine, termasuk mendirikan pemukiman baru yang sebelumnya hancur akibat konflik bersenjata.

Di sisi lain, komunitas internasional telah mendesak Myanmar agar rencana repatriasi turut diiringi dengan pemenuhan hak-hak mendasar bagi Rohingya, termasuk, hak atas status kewarganegaraan yang selama puluhan tahun belakangan telah diabaikan oleh Naypyidaw.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini