Sukses

Bukan Leci, Ini Penyebab Wabah Virus Otak yang Tewaskan 120 Anak di India

Selain racun dari buah leci, ada penyebab penting lainnya mengapa dari kasus kematian seratusan anak akibat virus otak di India.

Liputan6.com, HIchara - Banyak pihak mengatakan penyebab serangan virus otak yang menewaskan hampir 120 anak di India timur, bukan hanya karena buah leci dan gelombang panas yang memburuk.

Menurut pengamat, ada dua penyebab mendasar yang sebenarnya dapat dicegah, yakni kemiskinan dan buruknya tata kelola pemerintahan, demikian sebagaimana dikutip dari Channel News Asia pada Jumat (21/6/2019).

Sebagai contoh di kota Hichara di negara bagian Bihar, di mana wabah virus otak masih berkecamuk, tidak ada toilet, tidak ada pasokan air bersih, dan tidak ada distribusi gas dari pemerintah India. 

Kematian fatal di Bihar telah disalahkan pada Acute Encephalitis Syndrome (AES), suatu peradangan otak yang mempengaruhi anak-anak yang kekurangan gizi di bawah 10 tahun, di mana serangan itu terjadi dengan sangat cepat.

Episentrum wabah tersebut terjadi di distrik Muzaffarpur, yang selalu menjadi pusat panen leci di kala musim panas, tepat ketika penyakit virus otak melonjak setiap tahun.

Kebun-kebun yang rimbun di daerah tersebut ditumbuhi bundel buah tropis yang berair, dengan kulit merah muda yang menggoda, di mana disukai anak-anak setempat yang kelaparan.

"Ini adalah leci mentah yang menjadi masalah," kata Arun Shah, seorang dokter anak yang telah meneliti fenomena tersebut secara luas di India. 

"Ini mengandung racun dan jika dimakan oleh anak yang kekurangan gizi, itu akan menyebabkan penurunan glukosa secara tiba-tiba yang mempengaruhi otak," kata Shah kepada AFP.

Tetapi bahkan jika leci yang harus disalahkan, kematian mungkin bisa dihindari jika penduduk setempat memiliki akses ke perawatan kesehatan yang lebih baik, kata para ahli.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Diperparah dengan Buruknya Fasilitas Kesehatan

Sementara itu, di Sekolah Tinggi dan Rumah Sakit Medis Sri Krishna (SKMCH), di mana sebagian besar korban virus otak meninggal, pemadaman listrik sering terjadi, bahkan di dalam unit perawatan intensif.

Pasien berbagi tempat tidur atau tidur di lantai. Tidak ada pendingin udara, dan sampah dibuang di tempat terbuka di halaman belakang.

Dindingnya diwarnai dengan ludah sirih, serta seprai terkena banyak noda darah dan urin.

India berada di peringkat 103 dari 119 negara dalam Indeks Kelaparan Global tahun lalu.

Namun, haya satu persen dari total pendapatan nasional India yang dialokasikan untuk perawatan kesehatan, di mana menjadikannya salah satu yang terendah di dunia.

Survei Kesehatan Keluarga Nasional mengatakan hampir separuh anak balita di Muzaffarpur terhambat, yakni sekitar 60 persen menderita anemia, dan lebih dari 40 persen kekurangan berat badan.

Sebuah survei oleh kementerian kesehatan India menemukan bahwa tidak satu pun dari 103 pusat kesehatan utama Muzaffarpur --dan satu-satunya pusat kesehatan masyarakat-- yang bahkan dianggap layak untuk evaluasi, lapor Times of India.

3 dari 3 halaman

1.350 Anak Meninggal dalam Satu Dekade Terakhir

Negara bagian itu telah menyaksikan sekitar 1.350 anak-anak meninggal akibat AES dalam sepuluh tahun terakhir, termasuk 355 kasus pada 2014, meskipun sampai tahun ini kematian telah menurun tajam, demikian dilaporkan Hindustan Times.

"Malnutrisi adalah penyebab utama dan leci bertindak sebagai pemicu," kata Shah.

"Anak-anak kaya juga mengkonsumsi leci, tetapi mengapa mereka tidak meninggal?" lanjutnya mengkritik.

Shah menjelaskan, bahwa di sekitar Hichara, ada beberapa ambulans yang ongkos sewanya berkisar anatar 500 hingga 1.000 rupee, atau setara Rp 101 ribu hingga Rp 203 ribu.

Kisaran harga tersebut dianggap sangat mahal bagi penduduk setempat, yang asumsinya kemiskinannya dapat disetarakan dengan kepemilikan satu ponsel di setiap keluarga.

"Jika memilih menyusuri jalan setapak menuju jalan utama untuk naik becak motor ke rumah sakit seharga 400 rupee (sekitar Rp 81.000), membutuhkan waktu satu jam berjalan kaki," jelas Shah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini