Sukses

Mengenal Teori Big Bang, Penyebab Terbentuknya Alam Semesta

Mengenal lagi Dentuman Besar atau Teori Big Bang, penyebab utama lahirnya alam semesta.

Liputan6.com, Jakarta - Sudah sejak lama Teori Big Bang atau Dentuman Besar disebut sebagai penyebab terbesar terbentuknya alam semesta pada hampir14 miliar tahun lalu. Berdasarkan permodelan ledakan ini, alam semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus menerus hingga mendingin pada waktu ini.

Dalam pengukuran tahun 2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar 13,7 miliar tahun lalu, yang kemudian dijadikan sebagai referensi waktu terjadinya Dentuman Besar.

Teori ini telah memberikan penjelasan paling komprehensif dan akurat yang didukung oleh metode ilmiah beserta pengamatan. Demikian seperti dikutip dari Live Science, Kamis (20/6/2019).

Pada tahun 1924, penelitian yang dilakukan oleh Edwin Hubble terhadap jarak nebula spiral terdekat menunjukkan bahwa material itu sebenarnya merupakan galaksi lain.

Georges Lemaitre, fisikawan dari Belgia, pada 1927 menyebut bahwa resesi nebula yang disiratkan oleh "persamaan Friedmann" (serangkaian persamaan dalam bidang kosmologi fisik yang mengatur pengembangan ruang dalam model alam semesta yang homogen dan isotropik dalam konteks relativitas umum, dirumuskan oleh Alexander Friedmann pada tahun 1922) dan "relativitas umum" Albert Einstein (teori geometri mengenai gravitasi yang diperkenalkan oleh Einstein pada 1916) diakibatkan oleh alam semesta yang mengembang.

Pada 1931 Lemaitre lebih jauh lagi memaparkan, pengembangan alam semesta --seiring berjalannya waktu-- memerlukan syarat bahwa alam semesta mengerut seiring berbaliknya waktu, sampai pada suatu ketika di mana seluruh massa alam semesta berpusat pada satu titik, yaitu "atom purba", tempat waktu dan ruang bermula.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Pengenalan ke Muka Umum

Publik pertama kali diperkenalkan istilah Teori Bug Bang sebagai dasar acuan terbentuknya alam semesta karena astronom Inggris, Fred Hoyle.

Pada tanggal 28 Maret 1949, Hoyle menciptakan ungkapan kontroversial dalam siaran BBC, dengan mengatakan bahwa gagasan "semua persoalan alam semesta yang diciptakan dalam satu ledakan besar pada waktu tertentu di masa lampau" adalah tidak masuk akal.

Setelah Perang Dunia II, terdapat dua model kosmologis yang memungkinkan. Satunya adalah "teori keadaan tetap" ala Hoyle, yang mengajukan bahwa materi-materi baru tercipta ketika alam semesta tampak mengembang.

Sedangkan model lainnya adalah teori milik Lemaitre yang memperkenalkan "nukleosintesis ledakan dahsyat" (Big Bang Nucleosynthesis atau BBN).

Ironisnya, justru Hoyle-lah yang mencetuskan istilah Big Bang dengan merujuk pada teori Lemaitre. Hoyle kemudian memberikan sumbangsih yang besar terhadap usaha para fisikawan untuk memahami nukleosintesis bintang, yang merupakan lintasan pembentukan unsur-unsur berat dari unsur-unsur ringan secara reaksi nuklir.

Setelah penemuan radiasi gelombang mikro kosmis pada tahun 1964, kebanyakan ilmuwan mulai menerima bahwa beberapa skenario teori ledakan dahsyat memang pernah terjadi.

"Ada sebuah jendela kecil di waktu di mana nukleus dapat terbentuk," kata Glennys Farrar, seorang kosmolog di New York University. "Setelah itu, alam semesta terus mengembang dan mereka tidak dapat bertemu satu sama lain, dan sebelum (jendela) itu menjadi terlalu panas."

Plasma berawan memenuhi alam semesta selama 378.000 tahun ke depan, sampai pendinginan lebih lanjut yang membiarkan elektron dan proton membentuk atom hidrogen netral, dan kabut pun hilang.

Sinar yang dipancarkan selama proses ini, yang membentang menjadi gelombang mikro, adalah objek paling awal yang dapat dipelajari oleh para peneliti secara langsung.

Dikenal sebagai cosmic microwave background (CMB), banyak peneliti menganggapnya sebagai bukti terkuat untuk Dentuman Besar.

3 dari 5 halaman

Ditemukan Molekul Pertama yang Terbentuk di Alam Semesta Usai Big Bang

Setelah berpuluh-puluh tahun mencari di angkasa luar, para ilmuwan kini mengklaim telah mendeteksi ikatan molekul pertama yang terbentuk di awal Alam Semesta, usai Dentuman Besar atau Big Bang.

Penemuan ion helium hidrida (HeH+) di nebula NGC 7027 mengakhiri perburuan epik para astronom untuk menemukan molekul yang sulit dipahami di antariksa.

"Kurangnya bukti tentang keberadaan helium hidrida di Alam Semesta telah mempertanyakan pemahaman kami tentang kimia di awal terbentukna Jagat Raya," kata ahli astronomi Rolf Gusten kepada ScienceAlert, yang dikutip pada Jumat, 19 April 2019.

"Pendeteksian yang dilaporkan sekarang, sudah menyelesaikan keraguan semacam itu," lanjutnya.

Begitu awal Alam Semesta mendingin usai Big Bang pada hampir 14 miliar tahun yang lalu, teori menyatakan bahwa ion-ion unsur cahaya mulai bergabung kembali satu sama lain.

"Dalam lingkungan yang bebas logam dan kepadatan rendah ini, atom-atom helium netral membentuk ikatan molekul pertama Alam Semesta dalam ion helium hidrida (HeH+), melalui hubungan radiatif dengan proton," Gusten dan rekan peneliti menjelaskan dalam sebuah makalah baru.

 

4 dari 5 halaman

Cara Mendeteksi

Para ilmuwan memperkirakan HeH+ mungkin terbentuk di nebula pada tahun 1970-an, tetapi sampai sekarang mereka masih belum pernah bisa mendeteksinya.

Menurut para peneliti, hal itu disebabkan karena atmosfer Bumi pada dasarnya adalah penghalang untuk spektrometer (instrumen untuk menentukan panjang gelombang pelbagai macam sinar) yang berbasis di daratan.

Tim dari Gusten mampu mengatasi hambatan-hambatan ini secara serempak, berkat kemampuan German Receiver for Astronomy at Terahertz Frequencies (GREAT) ketika diterbangkan oleh pesawat antariksa Stratospheric Observatory for Infrared Astronomy (SOFIA) milik NASA.

Menurut Gusten, GREAT adalah satu-satunya perangkat yang dapat melakukan pengamatan semacam ini dan hanya mampu melihat helium hidrida di angkasa luar jika dilepaskan terlebih dahulu di udara.

"Seseorang atau sesuatu tidak dapat melakukan pencarian sejenis ini dari observatorium berbasis darat, karena pada panjang gelombang 149 μm, atmosfer Bumi benar-benar buram," papar Güsten.

"Jadi, kami harus pergi ke antariksa atau mengoperasikan instrumen kami dari platform dengan terbang di ketinggian tertentu, seperti SOFIA yang melayang di atas atmosfer yang lebih rendah," lanjutnya.

5 dari 5 halaman

Infografis 3 Area Wajah Sering Disentuh Tangan Rentan Covid-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini