Sukses

Tampak Seperti Ombak, Penampakan Awan Van Gogh di Atas Gunung Virginia

Fenomena awan langka, disebut gelombang Kelvin-Helmholtz, terlihat di atas gunung Virginia, menyerupai lukisan Van Gogh.

Liputan6.com, Virginia - Seorang wanita Virginia menangkap formasi awan yang aneh di atas Smith Mountain. Di halaman Facebook pribadinya, perempuan bernama Amy Hunter itu menggambarkan mega tersebut menyerupai lukisan terkenal Van Gogh: "The Starry Night".

Hunter menyaksikan gelombang bernama Kelvin-Helmholtz itu, yang biasanya terbentuk pada hari-hari berangin karena kondisi atmosfer tertentu. Demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis, 20 Juni 2019.

Fenomena yang sangat langka ini terjadi ketika dua lapisan udara yang berbeda di atmosfer bergerak dengan kecepatan yang berbeda - yang dikenal sebagai shear.

Ketika lapisan atas udara bergerak pada kecepatan yang lebih tinggi daripada udara tingkat bawah, hal itu mungkin merupakan penyebab terdorongnya bagian atas lapisan awan menjadi bentuk-bentuk seperti gelombang air laut yang bergulir.

Salah satu contohnya adalah angin yang berembus di atas air, di mana udara yang bergerak cepat dapat menciptakan gelombang pada air yang bergerak lebih lambat.

Kejadian ini dinamai "gelombang Kelvin-Helmholtz" oleh dua ahli meteorologi bernama Lord Kelvin dan Hermann von Helmholtz, yang mempelajari fisika di balik formasi awan tersebut pada 1800-an.

Kehadiran gelombang Kelvin-Helmholtz bisa menandakan adanya ketidakstabilan atmosfer yang sering menimbulkan turbulensi pada pesawat ketika menembus awan ini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mirip Lukisan Legendaris Van Gogh

Awan tersebut telah lama menjadi daya tarik bagi mereka yang cukup beruntung untuk menyaksikannya dan diyakini telah mengilhami lukisan "Starry Night" karya Van Gogh.

Meteorolog stasiun radio KDKA, yang beroperasi di Western Pennsylvania, Ray Petelin, menjelaskan formasi awan tersebut ke CBS Local: "Itu adalah awan Kelvin-Helmholtz. Pola awan yang sangat langka yang disebabkan oleh kecepatan shear," katanya.

"Dalam kasus pola awan ini, angin bergerak lebih cepat di atas awan, daripada angin di dasar awan, seperti bagaimana gelombang diciptakan di atas air. Sementara pola awan ini sangat jarang, yang paling sering terjadi ketika cuaca berangin," pungkas Petelin.

3 dari 3 halaman

Ini Penyebab Bentuk Awan Menjadi Terpecah-Pecah di Angkasa

Sementara itu, kasus lain, awan stratocumulus yang melayang rendah di langit dan menciptakan setumpuk cakupan awan yang luas, memiliki peran besar bagi Bumi yang kian menghangat ini: puncak putihnya memantulkan kembali radiasi matahari ke angkasa.

Tetapi pelindung alami planet itu berpotensi menghilang mulai tahun ini karena dampak perubahan iklim yang ekstrem. Deretan awan stratocumulus yang kian melenyap, semakin mengintensifkan pemanasan global.

Itulah kesimpulan dari sebuah penelitian yang diterbitkan pada Senin, 25 Februari 2019 di jurnal Nature Geoscience. Studi tentang awan tersebut didasarkan pada model komputer yang memberikan peringatan baru bahwa perubahan iklim dapat memberikan kejutan di atas konsekuensi yang sudah ada dan dapat diprediksi dengan jelas.

Peneliti utamanya, Tapio Schneider, yang merupakan seorang ahli iklim di Caltech, berhipotesis bahwa tingkat karbon dioksida atmosfer yang sangat tinggi dapat menekan pembentukan rentetan awan stratocumulus.

Ia dan rekan-rekannya memodelkan pembentukan awan-awan seperti itu dan, setelah dua tahun menerapkan perhitungan komputer, menyimpulkan bahwa kenaikan kadar CO2 atmosfer dapat memicu lonjakan suhu yang mendadak, sehingga "mengusir" awan stratocumulus.

Efeknya tampak kian kuat jika karbon dioksida mencapai 1.200 bagian per juta --tiga kali lebih besar dari tingkat saat ini, yang sudah jauh lebih tinggi daripada tingkat karbon dioksida pra-industri.

Jika CO2 mencapai 1.300 bagian per juta, menurut laporan baru, suhu atmosfer Bumi akan naik 8 derajat Celcius (46 derajat Fahrenheit).

"Ini efek yang dramatis," kata Schneider kepada The Washington Post, yang dikutip dari Science Alert, Rabu, 27 Februari 2019. "Lapisan awan stratocumulus hilang total."

"Begitu deretan stratocumulus terpecah, mereka hanya terbentuk kembali begitu konsentrasi CO2 turun secara substansial di bawah level standar," menurut penelitian.

Kerry Emanuel, seorang profesor ilmu atmosfer di MIT, membenarkan teori Schneider, "Apa yang ia katakan tentu masuk akal, tetapi awan ini sangat sulit untuk disimulasikan."

Sementara itu, para ahli iklim masih berdebat tentang awan yang kerap muncul di langit luas. Awan dapat memperkuat atau dapat menghalangi pemanasan global, tergantung pada jenis, ukuran, lokasi, ketebalan, durasi pergerakan awan, dan lain-lain. Namun awan sulit dijabarkan dalam model komputer.

"Anda perlu memperkirakan fraksi kecil dari uap air yang akan mengembun menjadi awan," papar Schneider.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini